x

Presiden RI Joko Widodo saat melantik anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat 20 Desember 2019. Dewas KPK adalah entitas baru dalam tubuh lembaga antirasuah di mana pembentukannya didasari pada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK. TEMPO/Subekti.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 22 Desember 2019 16:03 WIB

Sangkar Emas untuk Dewan Pengawas?

Akankah para anggota Dewan Pengawas itu hanya bakal menjadi peredam kegelisahaan rakyat? Ataukah mereka sungguh-sungguh mampu mengelola wewenangnya untuk, dalam istilah Prof Syamsudin Haris, menyelamatkan KPK? Ataukah mereka secara tidak sadar tengah memasuki sangkar emas?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam foto yang dipublikasikan Majalah Tempo edisi pekan ini, tampak kelima anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] melambaikan tangan, mungkin kepada para jurnalis yang sedang memotret pelantikan mereka. Senyum mereka merekah: pertanda baikkah bagi kelanjutan pemberantasan korupsi?

Ada yang menyebut bahwa figur yang dipilih Presiden Jokowi itu memang dikenal berintegritas tapi berada di tempat yang salah. Salah satunya, Prof. Syamsudin Haris, dikenal sangat kritis terhadap undang-undang KPK hasil revisi. Tempo memuat cuitan Twitter Profesor LIPI ini karena begitu bernas isinya: “Beristirahatlah dalam damai @KPK_RI, semoga kematianmu yg dijemput paksa oleh para oligarki membahagiakan mereka, para koruptor, maling berdasi, pebisnis hitam, loyalis Orde Baru, dan saudara tuamu sendiri, yg sejak lama tdk suka kehadiran dan kinerjamu yg membanggakan Ibu Pertiwi.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa Prof Haris ternyata mau menerima pinangan Istana untuk duduk di Dewan Pengawas KPK—organ baru yang dibentuk berdasarkan undang-undang revisi yang ia tentang? Bukankah dengan menerima pinangan itu, ia dengan sendirinya mengakui keabsahan undang-udang itu? Apakah ia berkeinginan membangunkan kembali ruh KPK yang sangar terhadap koruptor? Mungkinkah? Atau ia hanya akan memberi sekedar harapan agar rakyat tenang dan tidak protes lagi?

Dalam video yang beredar luas, Prof Haris menjelaskan mengapa ia menerima posisi itu. “Karena bisa menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan KPK,” ujarnya. Rupaya, ia percaya bahwa KPK masih bisa diselamatkan asalkan Dewan Pengawas diisi oleh tokoh-tokoh berintegritas. Salah seorang di antaranya, ya Prof Haris sendiri. Entah alasan empat tokoh lainnya, termasuk Prof Artidjo Alkostar.

Di sebuah media dikabarkan bahwa pak Artidjo, penisunan hakim agung dan pengajar UII Yogyakarta, ini semula sudah tinggal di rumah dan sesekali mengajar. Jika sekarang ia menerima pinangan Istana untuk duduk di Dewan Pengawas KPK, apa alasannya? Mungkinkah pak Artidjo tertantang untuk, seperti alasan Prof Haris, menyelamatkan KPK dan mengikis skeptisme masyarakat luas akan masa depan pemberantasan korupsi?

Alasan itu mungkin saja, sebab ketika ditawari untuk menjadi hakim agung pada masa pemerintahan SBY, pak Artidjo dikutip media telah mengatakan tidak bersedia karena dunia hukum sudah bobrok. Lantas ia ditantang oleh Prof Yusril untuk membenahi jika memang bobrok. Kelak kemudian, pak Artidjo bersedia menjadi hakim agung. Kiprahnya di MA memang membikin banyak orang keder. Tapi, sepeninggal pak Artidjo karena pensiun, seperti diberitakan tempo, para hakim MA memberi banyak diskon masa hukuman kepada para koruptor.

Jika disimpulkan secara sederhana, kehadiran pak Artidjo tidak mampu memperbaiki MA sebagai sebuah sistem. Ia lebih disegani sebagai individu penegak hukum yang mungkin memengaruhi sikap dan perilaku para hakim agung lainnya ketika ia berada di dalamnya, tapi tidak berdampak pada perubahan sistem dan kultur organisasi setelah ia meninggalkannya. Akankah hal serupa juga terjadi di KPK nanti?

Prof Haris mengatakan bahwa Presiden berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi, lantas bagaimana Prof Haris mengartikan sikap Presiden yang responsif dalam menanggapi surat DPR untuk persetujuan revisi UU KPK? Bukankah surat persetujuan revisi dikirim sehari setelah Istana menerima surat DPR? Mudah-mudahan saja Prof Haris yang benar.

Masalahnya, orang bisa diganti kapan saja, termasuk figur-figur yang di mata masyarakat berintegritas tersebut, termasuk Prof Haris dan pak Artidjo. Pokok soalnya terletak pada sistem yang diganti melalui perubahan perundangan, aturan main yang dirombak sama sekali, yang membuat masyarakat cemas. 

Akankah para anggota Dewan Pengawas itu hanya bakal menjadi peredam kegelisahaan rakyat? Ataukah mereka sungguh-sungguh mampu mengelola wewenangnya untuk, dalam istilah Prof Haris, menyelamatkan KPK? Ataukah mereka secara tidak sadar tengah memasuki sangkar emas? Apakah jurus ‘merangkul kritikus’ tetap ampuh dan membuat figur berintegritas itu kemudian merasa nyaman dan betah berada dalam sangkar emas? Sekalipun dipilih oleh Presiden, mudah-mudahan saja mereka mampu bersikap independen.

Rakyat tentu saja berharap sangat bahwa para warga senior masyarakat itu membawa selalu hati nurani rakyat, apapun keputusan yang mereka buat. Tentu saja, sembari mengawasi sepak terjang Dewan Pengawas. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler