x

Foto bunk ham

Iklan

Bunk ham

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Januari 2020

Selasa, 7 Januari 2020 06:04 WIB

Kampus Sarang Kapitalisme

Ekonomi kapitalis, pendidikan ekslusif, atau kesenjangan sosial (sosial unjustice).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau kita menyuntik persoalan kampus, maka yang tergiang dalam memori ialah bagaimana persoalan kebodohan, kekalutan, kemelaratan, atau keterpurukan negeri dan bangsa ini bisa dibersihkan kembali. Cerdas dan bodohnya suatu bangsa tergantung sarang dan produk apa yang mereka pakai dalam dunia kampus.

Kampus itu, kalau kita memakai istilah modern, yakni rumah mewah dan nyaman untuk tidur. Atau lebih ekslusif kita sebut Mall Epicentrum, hotel-hotel atau gedung-gedung pencakar langit. Jadi mahasiswa tidak merasa heran lagi kalau kuliah glamor, hidup mewah, mobil ekslusif atau jaminan siap kerja adalah peran kami; mahasiswa.

Tetapi kalau masuk kampus sekarang diistilahkan sebagai sarang kapital yang dimana produk dan outputnya, yaitu pengisapan dan pengambilan hak-hak mahasiswa secara paksa. Distorsi semacam ini yang dipakai oleh mesin kampus untuk mengikat dan mengolah pikiran mahasiswa. Sehingga Sebagian besar mahasiswa menganggap dirinya sedang dikekang, dikunci dan dibius oleh mesin kampus.

Bagi kampus mereka akan diatur pikirannya berdasarkan skill dan kualitasnya masing-masing. Ada standar pengukuran yang dipakai oleh kampus untuk melihat sejauh mana mutu dan kualitas kemampuan mahasiswa mampu dibutuhkan oleh pasar. 

Wadu! Ko, kampus, pasar, mahasiswa, bagaimana ini? 

Sangat kaprah, atau ngawur sekali! Jika persoalan pasar dipakai dalam istilah persoalan kampus. Lain definisi dan Lain motifnya. Kalau pendidikan standar ukuran dan motifnya kecerdasan, maka tanggung jawab besarnya kampus, yaitu tuntaskan kebodohan dan memanusiakan manusia.

Pasarkan hanya berfungsi bagaimana melihat transaksi dan nilai produktifitas harga itu meningkat, atau menurun berdasarkan sistem, kententuan dan pendapatan nilai. Baik berupa barang maupun jasa.

Sedangkan mahasiswa tolak ukuranya apa?
 
Coba kita analisis antara standar peningkatan nilai harga barang dengan standar volume kecerdasan mahasiswa. Kira-kira yang memberikan dampak, atau effect berpotensi kecendrungan besar mana?

Coba kita lihat lagi! 

Sekarang salah satu kerumitan yang dihadapi oleh mahasiswa ialah biaya hidup meningkat, (nilai pasar), standar ekonomi lemah, (pendidikan) dan kondisi keterpurukan menurun semakin kebawah. Sedangkan kampus berperan bagaimana mencetak mahasiswa berbasis nilai dan harga pasar meningkat. 

Contoh sederhana saja, terkait biaya hidup misalnya. Harga baju ditahun 2015, pasti akan berbeda ditahun 2016/17. Harga makanan dijogja sangat berbeda dengan harga makanan di Papua. Dan Harga beras di Lombok sangat berbeda dengan harga beras di Jakarta.

Dan begitu pula biaya pendidikan di Papua pasti berbeda dengan biaya pendidikan di Jakarta, jogyakarta, Bandung, Malang atau daerah-daerah lainya. Dan begitu pula persoalan kemanusian adalah persoalan keterpurukan manusia yang mengalami tricke down effect atau kelas pengaruh "memburuk" dampak kebawah.

Semuanya itu atas dasar pengendalian pasar, bukan negara. Maka pertanyaan saya kemudian: dimanakah peran, tugas ataupun fungsinya suatu negara? 

Apakah pasar yang menguasai negara? 

Pasar itu manifestasi produk yang diolah oleh kampus untuk sebagai biang perkumpulan perbudakan, dan pembodohan masal. Semua sistem diatur dan dibungkus oleh elit-elit penguasa dengan tujuan dasar "kebodohan hanya milik engkau bukan kami."

Buktinya! Kenapa Thomas Alfa Edison sebagai seorang pertama penemu lampu pijar diasingkan dari sekolahnya? Karena pikirannya terlalu tinggi, otentik untuk dibodohin maka lebih baik gurunya mengeluarkan saja dia dari pendikannya.

Belum lagi anak siswa SMK asal Indonesia penemu "air tawar" bisa digantikan bahan bakar kenadaraan. Tetapi itu tidak dipakai dalam sistem pendidikan national kita. Karena efektifitasnya akan perpengaruh pada perusahaan dan penghasilan negara. 

Sungguh miris negeri ini! 

Coba kita bayangkan sedikit ya! Untuk apa kita, sekolah, atau kuliah di kampus, toh, ujung-ujungnya kampus bukanlah standar jaminan kita untuk sukses atau cerdasnya suatu bangsa. Paling banter kita akan jadi tumpukan pengangguran. Coba baca Buku Eko Prasetio, Anak Miskin Dilarang Sekolah. 

Di dalam isi dan sub-sub judul buku itu terlihat bagaimana sistem sekolah, pendidikan harus berbasis ketentuan nilai dan harga pasar. Artinya kecerdasan akal, pikiran dan pengetahuan kita adalah sistem kapitalisme pasar yang dikendalikan oleh kampus untuk mengembangkan sistem pendidikan mampu bersaing, berkompetitive global, atau bisa siap untuk bekerja.

Lalu pertanyaan kemudian, dimanakah negara berfungsi sebagai pengendalian pasar? Katanya Negara berupaya mencerdaskan bangsa, memanusiakan manusia dan meneteskan kemiskinan; UU No 27 tahun 2003. Sementara kita mengakui bahwa kampus itu adalah titik-temunya ide untuk menukar pikiran dan pengetahuan.

Lainya motifnya! Pasar itu garis vertikalnya mahasiswa bukan horizontal negara. Negara hanya berfungsi untuk memastikan bahwa pasar berada dibawah pengendalian negara. Bukan maleh, negara membalik tajuk penghianatan yang dibebaskan oleh pasar.

Itu lucu sekali namanya! Kampus dikendalikan oleh pasar dan bukan pasar dikendalikan oleh negara. Kalau itu terus terjadi maka negara tidak segan-segan mendidik produk pembodohan masal. 

Sehingga muncul ekonomi kapitalis, pendidikan ekslusif, atau kesenjangan sosial (sosial unjustice).

Ikuti tulisan menarik Bunk ham lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler