x

Iklan

Deni Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Februari 2020

Selasa, 4 Februari 2020 06:31 WIB

Buya Hamka Sang Otodidak

Jasa dan pengaruh Hamka dalam memartabatkan agama Islam masih terasa hingga kini. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang dihadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungi Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjita kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……..

Hamka terlahir pada 14 Muharam 1326 H bertepan dengan 16 Februari 1908 di Ranah Minang tepatnya di Kampung Molek, Nagari Sungai Batang Maninjau, kecamatan Tanjung Raya Sumbar. Hamka kecil yang bernama Abdul Malik tumbuh di lingkungan yang agamis yang taat menegakan sunnah Rosul, selain ayahnya yang seorang ulama, ibunya yang bernama Siti Safiyah binti Gelanggar juga seorang yang terkenal dan bergelar Bagindo nan Bertuah.

Hamka sempat bersekolah dasar di Maninjau hingga kelas dua selanjutnya beliau mempelajari agama dan mendalami bahasa arab di Sumatera Thawalib yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang, ayahnya Karim Amrullah atau dikenal dengan Haji Rasul adalah seorang pelopor gerakan pembaharuan (tajdid) Minangkabau dan juga Indonesia, bersama Abdullah Ahmad dari Padang, Karim menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir karena kepakarannya dalam ilmu fiqih.

Selain gemblengan dari ayahnya, Hamka belia gemar mengikuti pelajaran dan kajian agama baik di masjid dan surau-surau. Saat itulah Hamka mulai mengenal dan belajar dari ulama-ulama seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.

Hamka selain rajin membaca juga gemar bertukar pikiran tentang permasalahan yang banyak dialami kaumnya pada masanya termasuk tema-tema seputar keislaman dan kebangsaan. Hamka yang otodidak senantiasa tidak pernah puas menggali ilmu di berbagai bidang seperti filsafat, sastra, sosiologi hingga politik.

Proses belajar otodidak sangat ditunjang dengan kemampuannya dalam bahasa terutama bahasa arab. Sebagai seorang otodidak Hamka tidak saja mampu menyelidiki karya ulama dan pujangga besar dari Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husein Haikal, beliau juga meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Tonynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Kesungguhan Hamka dalam belajar telah menjadikannya sebagai seorang yang pandai dalam banyak hal serta mampu pula menumbuhkan bakatnya sebagai seorang ahli pidato.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar.  Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta  pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr.  Mukti Ali  melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.

Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doktor Honoris Causa  Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Ikuti tulisan menarik Deni Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB