Seorang filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, dalam sebuah bukunya, ia pernah merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia.
Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri,dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya.
Para pemerkosa jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka.
Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akhirnya, banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini.
Di dalam teori Marxis, pola pikir ini biasa disebut juga sebagai reifikasi. Reifikasi artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran dan pemerkosaan tentu tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini.
Sesungguhnya, semua itu bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa, pelacur, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan.
Pertanyaan selanjutnya, masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa semacam itu?
Masyarakat pemerkosa adalah masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan dan kepatuhan buta, daripada pengertian dan berpikir kritis.
Masyarakat yang suka memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat.
Masyarakat yang lebih mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses.
Masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua yang mesti di penjara, supaya tidak mengundang nafsu laki-laki. Masyarakat seperti ini, biasa kita kenal dengan masyarakat patriarki.
Itulah masyarakat pemerkosa yang saya maksudkan. Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai mimbar dan media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah.
Perubahan cara berpikir
Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan di sini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup beragama.
Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang semata harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola.
Hanya dengan begitu, pemerkosaan bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita. Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga.
Ikuti tulisan menarik honing lainnya di sini.