x

cover buku Orang LSM Naik Haji

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 26 Mei 2020 06:04 WIB

Orang LSM Naik Haji

Perenungan seorang aktifis LSM yang naik haji.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Orang LSM Naik Haji

Penulis: Soekirman

Tahun Terbit: 2006

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: BITRA Indonesia                                                                                     

Tebal: xxxii + 222

ISBN: 979-9679-4-1

 

 

 

Saya mengenal Soekirman pada tahun 1992. Tahun itu, saat pertama kali saya bergabung dengan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, saya mendapat tugas ke Sumatra Barat dan kemudian lanjut ke Sumatra Utara, saya bertemu dengan beberapa tokoh LSM di Medan. Salah satunya adalah Soekirman. Sejak pertemuan pertama tersebut, perkawanan saya dengan Soekirman semakin akrab. Apalagi di tahun yang sama, saya diajaknya ke Ibus-Ibus, sebuah desa binaan Yayasan Bitra, di dekat Pantai Cermin. Harus saya akui bahwa Soekirman adalah salah satu senior yang menjadi mentor ke-LSM-an saya.

Sebagai seorang yang berlatar belakang teknis (Ilmu Hama) saya tentu tidak paham bagaimana kehidupan LSM saat itu. Soekirmanlah yang mengenalkan kepada saya bahwa orang LSM itu hidup toleran, egaliter dan saling membantu. Toleran karena orang-orang LSM terdiri dari orang-orang dari berbagai agama, berbagai keseriusan beragama dan ada juga yang tidak lagi percaya agama. Namun mereka bisa bekerja bersama dan saling menghargai relijiusitas masing-masing. Kami hampir tak pernah mempermasalahkan keyakinan masing-masing.

Egaliter karena kami tak membedakan cara berkomunikasi dan dalam bekerja dengan berbagai tingkatan sosial. Kami menyampaikan pendapat apa adanya kepada pejabat, kepada tokoh masyarakat dan kepada orang biasa. Kami tak canggung berdiskusi di loby hotel atau di pematang sawah. Bagi orang LSM, semua manusia sama saja. Pembedanya adalah perilaku terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

Orang-orang LSM saling membantu. Jika ada yang sedang kesulitan keuangan misalnya, tak segan kami membantunya. Meski cara membantunya sedikit jorok, yaitu dengan memberi proyek yang sebenarnya kurang bermutu, tetapi semangat saling membantu saya rasakan sangat tinggi di kalangan orang LSM.

Jadi, mengapa Soekirman saya jadikan mentor? Sebab ia menunjukkan karya dalam kiprahnya di LSM. Ia membuktikan bahwa ia berbuat sesuatu yang bisa dilihat hasilnya, seperti irigasi di Ibus-Ibus itu. Bekas tapaknya juga terlihat dalam perjuangannya untuk lingkungan di Sumatra.

Selain dari karya nyata, ia juga menunjukkan toleransi dan sikap egaliter. Meski ia senior dan menganut agama Islam, tetapi ia mengakui bahwa ia belajar dari orang LSM lain, bahkan kepada juniornya. Ia bukan saja belajar kepada orang LSM yang seagama, tetapi ia secara terbuka mengatakan bahwa ia belajar juga dari Eliakim Sitorus, Sabastian Saragih dua aktifis LSM yang berasal dari suku Batak dan beragama Kristen. Bahkan Soekirman mengakui kekagumannya kepada seorang temannya seorang anak pendeta yang lebih memilih menjadi orang LSM daripada memenuhi harapan keluarganya untuk menjadi pendeta.

Mengapa Soekirman bisa menjadi seorang yang tidak terkurung pada suku dan agamanya? Dalam buku ini Soekirman menjelaskan bahwa masa kecilnya dihabiskan di desa dimana penduduknya mayoritas adalah orang Batak yang Kristen. Ia merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas.

Apakah orang LSM memang semuanya sebaik itu? Tentu saja tidak. Pada tahun 1990-an, kesan LSM sebagai pihak yang jorok juga sangat marak. Banyak pihak yang berpendapat bahwa LSM itu sekuler, tukang palak, koruptor, penjual kemiskinan dan sebagainya.

Karena buku ini berkisah tentang seorang LSM (Soekirman) yang berhaji, maka perlu sedikit mengungkap keislaman Soekirman. Ia mengakui bahwa modal keislamannya sangat miskin, yaitu Islam yang berbasis kampung Kristen, Langgar Tengah, Masjid Jamik dan Masjid Haji Ali (hal. 36). Ia mengenal Islam dari sisi sosial daripada dari sisi ritual. Sebab M.M Billah, seorang aktifis LSM yang kuat keislamannyalah yang mewarnai Soekirman. Ia memilih untuk membaca terjemahan Al Quran daripada membaca teks Arab-nya. Sebab pemahaman baginya lebih penting daripada penuntasan membaca ayat. Itulah sebabnya ia memilih berdakwah Bilhal daripada menjadi mubaliq.

Nah, bagaimana Soekirman dengan keislaman yang pas-pasan naik haji? Seperti halnya dengan orang-orang yang pas-pasan ilmu agamanya saat naik haji, Soekirman yakin bahwa ibadah haji adalah sebuah panggilan dari Allah. Fellow Asoka ini berangkat berhaji bersama sang istri. Ia mengakui bahwa hal yang tersulit adalah dalam menghafal doa-doa dalam bahasa Arab (hal. 54). Namun, sebagai seorang yang selalu belajar, Soekirman secara sungguh-sungguh menyiapkan diri untuk berhaji.

Seperti halnya para muslimin dan muslimah yang memenuhi panggilan Allah untuk berhaji, Soekirman juga merasakan berbagai godaan, ujian dan cobaan saat menunaikan rukun Islam kelima ini. Melalui catatan harian yang ditulisnya sejak manasik sampai dengan terbang kembali dari Bandara King Abdul Azis diceritakan pengalaman-pengalamannya.

Perjumpaannya dengan seorang pengusaha yang memandang LSM sebagai musuh membuat Soekirman merefleksikan diri. Pada tanggal 25 Januari 2002, di sebuah loby hotel ia berjumpa dengan Pak Rum, seorang pengusaha yang begitu buruk pandangannya tentang LSM. Sang pengusaha ini menyampaikan betapa buruknya ulah orang-orang LSM. “Saya sudah betul-betul muak melihat keadaan semacam itu,” ungkap Pak Rum terhadap kejengkelannya karena dipalak oleh orang LSM. Ungkapan ini tentu membuat Soekirman terkejut bukan main. Ternyata benar bahwa ada banyak orang yang menggunakan nama LSM untuk kepentingan pribadinya. Perjumpaan dengan seorang pengusaha ini membuat Soekirman merefleksi diri. “Apakah aku dengan kegiatan LSM telah benar-benar merampok? Atau mungkin Tuhan ingin memberi peringatan bahwa LSM sekarang telah berubah dari pelayan menjadi minta dilayani? Dulu memberi sekrang menghisap? Dulu tanpa pamrih, sekarang materi? Masya Allah” (hal. xi).

Apa yang didapat Soekirman dari berhaji?

Sepulang berhaji Soekirman semakin yakin bahwa jalur LSM adalah jalan dakwah baginya. “Dan, ketika LSM yang kugunakan sebagai jalur pengabdian itu diidentifikasi dengan pisau religi, makin terkuak keyakinan bahwa aku berjalan dalam tuntunan haqiqat.

Soekirman juga semakin yakin bahwa pluralitas adalah hal yang sudah digariskan oleh Allah. Bahkan di jaman Nabi, keberagaman dan toleransi telah dipraktikkan.

Selamat melanjutkan pengabdian Haji Soekirman sahabat dan mentorku.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler