x

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin mengajak masyarakat untuk mengutamakan pembayaran zakat melalui badan atau lembaga amil zakat.

Iklan

Elena

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 Maret 2020

Kamis, 11 Juni 2020 09:54 WIB

Sinergi Perbankan Syariah dan Lembaga Amil Zakat dalam Optimalisasi Pengelolaan Dana ZIS di Masa Pandemi Covid-19

Zakat termasuk masalah ibadah, namun di masa pandemi seperti saat ini, apakah sebaiknya pendistribusiannya dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga amil zakat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bank syariah memiliki peran sebagai lembaga perantara (intermediary) anatara unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus units) dengan unit-unit lain yang mengalami kekeurangan dana (deficit units). Melalui bank, kelebihan tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan sehingga memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Eksistensi bank syariah pada awalnya didorong oleh keinginan tersedianya jasa keuangan yang sesuai prinsip syariah dengan mewujudkan sistem perbankan yang terhindar dari praktek bunga (yang dianggap identik dengan riba), perjuadian (maysir) dan ketidakpastian (gharar) dan praktek-praktek lainnya yang tidak sejalan dengan prinsip syariah (haram). Selain itu, perkembangan perbankan syariah juga didorong keinginan umat muslim untuk menata aktivitas ekonomi dan keuangan sehari-hari sesuai dengan tuntunan syariah, serta sebagai respon terhadap fenomena krisis berulang yang dipicu oleh perilaku buruk dalam berekonomi yang mengabaikan etika, agama dan nilai-nilai moral, yang tidak hanya diajarkan dalam agama Islam tapi juga secara esensial ada pada ajaran agama-agama lainnya. Sebagaimana yang jamak terjadi di negara lain, lokomotif dari ekonomi syariah adalah sektor keuangan, khususnya perbankan. Baik di Pakistan, Malaysia, maupun negara-negara di kawasan Teluk, awal berkembangnya ekonomi syariah dimulai dari keberadaan perbankan syariah.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia terus menggeliat dari waktu ke waktu. Kiprah bank syariah di Indonesia sudah memasuki dekade ketiga dimana pada awal mulanya ditandai oleh dirintisnya Bank syariah pertama pada tahun 1992 yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Hal ini tidak terlepas dari cerahnya prospek di sektor keuangan syariah khususnya perbankan syariah di Indonesia. Bank syariah terbukti mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi hempasan badai krisis keuangan tahun 1998 dan 2008. Bank syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi nasabahnya. Terinspirasi dengan tegarnya Bank Muamalat menghadapi krisis tahun 1998, maka berdirilah Bank Syariah Mandiri (BSM), bank syariah kedua di Indonesia. Semenjak saat itu mulai bermunculan pendirian bank syariah lain dimana menurut data OJK hingga tahun 2019 jumlah bank syariah di Indonesia berjumlah 189 bank syariah yang terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Bank syariah di Indonesia sendiri terus menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2014-2018, perbankan syariah mampu mencatat Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compounded Annual Growth Rate/ CAGR) sebesar 15 persen, lebih tinggi dari industri perbankan nasional yang mencatat CAGR sebesar 10 persen pada periode yang sama. Saat ini jumlah nasabah bank syariah sudah mencapai 31,89 juta orang atau mencapai sekitar 12 persen dari total populasi Muslim di Indonesia. Dengan terus bertumbuhnya perbankan syariah, maka secara otomatis kontribusi terhadap ekonomi nasional juga tetap terjaga, dimana gerak perbankan syariah selalu berbasis pada 2 (dua) sektor, yaitu sektor riil dan UMKM.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam rangka menjaga kontinuitas upaya pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil, terutama di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini, perbankan syariah perlu meningkatkan sinergi dengan lembaga pengelola zakat/ lembaga amil zakat. Hal ini selaras dengan fungsi dan peran yang menjadi ciri yang melekat pada keuangan syariah, yakni bank syariah juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan dan mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan memberikan peluang berusaha yang lebih besar, terutama kelompok masyarakat terdampak, untuk diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif sehingga terciptanya kemandirian usaha. Selain itu, dalam undang-undang telah ditegaskan bahwa bank syariah dapat melakukan fungsi sosial berupa penerimaan dana zakat, infak, sedekah dan hibah, serta menyalurkannya kepada lembaga pengelola zakat.

Dengan potensi dana ZIS yang begitu besar, bank syariah perlu melihat hal ini sebagai peluang untuk membangun interkoneksi antara keuangan sosial syariah dengan keuangan komersil syariah. Optimalisasi penghimpunan dan pengelolaan dana ZIS yang tergolong dana murah karena sifatnya yang non komersial perlu dilakukan untuk mendorong perubahan struktur pendanaan dan segmen pembiayaan bank syariah sekaligus untuk meningkatkan integrasi fungsi sosial dalam kegiatan usaha bank syariah. Penempatan dana ZIS dapat dimanfaatkan sebagai dana murah sehingga dapat menurunkan biaya dana perbankan syariah dan mendorong pembiayaan yang lebih murah yang pada kahirnya akan mendorong pengembangan ekonomi syariah yang lebih besar. Di sisi lain, lembaga pengelola zakat juga harus proaktif untuk bekerja sama dengan perbankan syariah melalui pemanfaatan jaringan kerja perbankan yang luas dan fasilitas layanan yang relatif lengkap seperti jaringan ATM, SMS banking, internet banking, mobile banking, fasilitas auto debet serta layanan digital seperti QR Code yang dapat memudahkan masyarakat untuk melakukan pembayaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) dimanapun dan kapanpun sehingga penyerapan dana ZIS masyarakat lebih optimal.

Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial (Huda & Heykal, 2010:304). Dengan menggunakan lembaga zakat, maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena dengan adanya substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup di tengah masyarakat yang beradab, memiliki nurani, kepedulian dan juga tradisi saling tolong menolong. Dari tinjauan ekonomi, tidak ada bukti yang menunjukkan zakat menjadikan masyarakat menjadi melarat. Ketentuan zakat tidak saja mengedepankan keadilan tetapi pada kemaslahatan. Selain itu, secara ekonomi, zakat juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Dengan adanya berbagai implikasi sosial dan ekonomi, maka zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kukuh serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat.

Di sebagian kalangan umat Islam timbul berbagai pendapat berkaitan dengan masalah distribusi zakat dikarenakan zakat termasuk masalah ibadah, maka pendistribusiannya bisa dilakukan secara individual. Pandangan ini kurang tepat apabila mengingat QS. At-Taubah ayat 60 dan 103 serta hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz ibn Jabal tentang distribusi zakat dan beberapa tugas berkenaan dengan zakat, maka terlihat jelas bahwa sistem pengelolaan zakat harus dilembagakan. Pendapat ini juga diungkapkan Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Musykilat al-faqr wa Kaif A’alajaha al-Islam”. Menurutnya, apabila setiap umat Islam berpegang pada syariah maka pengeluaran zakat harus dibayarkan sepenuhnya kepada amil. Pendapat ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad melalui riwayat Jabir ibn Atik yang menerangkan: “Jika mereka (amil) adil, maka pujilah mereka. Dan jika mereka curang, maka merekalah yang memikul dosanya. Kesempurnaan zakat tergantung pada keridhaan mereka”. Selain itu, terdapat beberapa alasan yang menegaskan bahwa pendistribusian zakat harus dilakukan melalui lembaga amil zakat, yaitu: (1) menjamin ketaatan pembayaran; (2) menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahiq ketika berhubungan dengan muzaki; (3) efektivitas dan efisiensi pengalokasian dana zakat; (4) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan; dan (5) caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antara agama dan negara, karena zakat juga termasuk urusan negara.

Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesajhteraan masyarakat sehingga perlu diatur untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam. Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No.23 tahun 2011 (menggantikan Undang-Undang No.38 Tahun 1999) tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia adalah Badan Amil Zakat yang dikelola oleh Pemerintah/ negara serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh masyarakat/ swasta. Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, lembaga pengelola zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpolitik (praktis), dan tidak bersifat diskriminatif.

Sampai saat ini, BAZNAS dan LAZ telah membantu penanganan risiko kesehatan melalui bantuan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis, pembagian masker, hand sanitizer, penyemprotan disinfektan di area publik, pembagian paket sembako dan makanan siap saji, edukasi masyarakat, dan sebagainya. Berdasarkan Forum Zakat (FOZ) sampai pada 10 April 2020, dalam rangka respon Covid-19, organisasi pengelola zakat yaitu BAZNAS Pusat, BAZNAS (BAZIS) DKI dan LAZ dengan dukungan 108 jaringan organisasi telah mendistribusikan dana ZIS dan dana sosial keagamaan lainnya sebesar Rp43,5 miliar. Sementara itu, untuk BAZNAS Pusat di luar Rencana Aksi Nasional (RAN) sampai saat ini telah menyalurkan sekitar Rp 8-9 miliar untuk bantuan kemanusiaan penanganan wabah Covid-19. Semua lembaga pengelola zakat perlu memprioritaskan pendistribusian dana ZIS dan dana sosial keagamaan lainnya secara langsung untuk meringankan beban hidup, menjamin kebutuhan pokok dan menjaga daya beli masyarakat terutama di masa pandemi saat ini.

Dengan meningkatnya sinergitas perbankan syariah dan lembaga pengelola zakat dalam penghimpunan dan pengelolaan dana ZIS di masa darurat Covid-19 saat ini, diharapkan potensi dana zakat di Indonesia sebagaimana yang dijelaskan BAZNAS mencapai Rp233,8 Triliun dapat terserap dengan optimal dan difokuskan secara total untuk membantu penanganan Covid-19 terutama bagi para mustahik darurat kesehatan (seperti: pembagian masker dan hand sanitizer, penyemprotan disinfektan, penyediaan wastafel sehat di berbagai fasilitas publik, penyediaan APD, penyediaan ventilator di rumah sakit) dan juga bagi para mustahik darurat ekonomi (seperti: pembagian sembako, penyaluran zakat fitrah, dan bantuan tunai). Selain itu, sinergi bank syariah dan lembaga pengelola zakat dalam optimalisasi pengelolaan dana ZIS masyarakat, juga mampu meningkatkan peran perbankan syariah dalam memberikan pendanaan/ pembiayaan yang murah bagi pelaku UMKM terdampak Covid-19 sehingga dapat menopang dan menghidupkan kembali perekonomian rakyat.

Referensi :
Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019. Departemen Perbankan Syariah: Jakarta.
Insight Buletin Ekonomi Syariah. (2020). Trend Konversi ke Bank Syariah Tingkatkan Efisiensi dan produktivitas Bisnis. Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS): Jakarta.
Nurul Huda & Mohammad Heykal. (2010) . Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Heri Sudarsono. (2015) . Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deksripsi dan Ilustrasi. Penerbit Ekonisia; Yogyakarta.
https://www.cnbcindonesia.com/syariah/20190608180708-29-77170/5-tahun-rerata-pertumbuhan-industri-perbankan-syariah-15
https://republika.co.id/berita/q8vt9v430/pengelola-zakat-banyak-bantu-atasi-masalah-covid19

Ikuti tulisan menarik Elena lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler