Etika, Fungsi, Pajak Sepeda Bermerek dan Mahal

Selasa, 16 Juni 2020 10:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepeda bermerek dan mahal, kini sudah berseliweran di +62, namun para penggunanya masih banyak yang sekadar "pansos", jauh dari etika. Sepeda mahal ini seharusnya juga dikenai pajak.

Dalam kondisi pandemi corona, bersepeda memang menjadi momentum yang pas bagi masyarakat dalam rangka menjaga kesehatan dan imunitas tubuh. Sebab itu, sebelumnya saya sudah menulis artikel di media ini tentang sejarah sepeda, Hari Sepeda Dunia (HSS), bersepeda sebagai tren dan gaya hidup, serta rekomendasi sepeda yang cocok dan sesuai isi kantong orang Indonesia pada umumnya.

Memang dalam artikel tersebut sudah saya singgung, bahwa bersepeda jangan untuk gaya-gayaan dan harus beretika. Karenanya, saya pun menampilkan dalam cover artikel ini, perbedaan dua gaya bersepeda dari kelompok masyarakat kita.

Pesepeda, hedonisme, krisis karakter

Ternyata hanya berselang sehari setelah artikel itu saya tulis, saya langsung membaca berita tentang pesepeda yang memiriskan hati. Tak bertata krama dan tak beretika. 

Ini akibat dari hedonisme yang terus tumbuh subur di +62 dan diinisiasi oleh para pemimpin bangsa,  baik di parlemen dan pemerintahan, oleh orang-orang kaya baru (OKB) yang hanya berpandangan, menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

Tutup mata, telinga, dan hati tak peduli bahwa kehidupan ini sedang krisis karena corona, namun mereka tetap asyik dalam krisis moral dan karakter.

Sebelum gaya hidup bersepeda, selama ini masyarakat juga sudah kenyang disuguhi gaya hedonis dengan lalu-lalu lalangnya para voorijder yang menjadi "pelayan" para penunggang moge (motor gede). 

Kini, trend sepeda mahal, semakin menunjukan kegilaan kaum hedonis yang butuh pengakuan.

Faktanya, dalam unggahan video yang menampilkan sejumlah orang membawa sepeda Brompton masuk ke dalam cafe di Semarang, menjadi pembicaraan warganet Sabtu (13/6/2020). 

Tak pelak, unggahan video itu pun viral di media sosial Twitter dan Instagram. Unggahan video tersebutpun disukai ribuan kali, dibagikan ribuan kali, ditonton oleh puluhan ribu orang.

Bahkan komentar dalam twit pun unik. "Pit brompton larang? salah."
"Pit sg paling larang ki pitutur sing apik lan kelakuan sg becik."

Atas perilaku tak etik dan tak simpatik para pesepeda itu, saya kutip dari Kompas.com, Sabtu (13/6/2020),, Pesepeda lipat dari Jogja, salah satu pendiri Brompunk, sebuah social movement untuk membuat aktivitas bersepeda lestari, Debyo Surya Setiyawan menanggapi para pesepeda yang membawa masuk sepedanya ke cafe. "Iya benar (mereka kurang sopan)," ujarnya.

Masalah bersepeda yang kini banyak dilakukan dengan tidak sopan dan tidak etis ini, sebenarnya bukan hanya masalah membawa masuk sepeda ke dalam cafe, namun juga termasuk perilaku bersepeda  kaum hedonis yang tidak tertib di jalan raya.

Bila sampai ada sepeda yang dibawa masuk ke dalam cafe, tentu dasar pemikirannya, karena harga sepedanya mahal dan takut hilang bila di parkir di tempat yang sudah disediakan. Kalau begitu, mengapa ke cafe harus bawa sepeda mahal, hayoo?

Di jalan raya pun, karena yang ditunggangi sepeda mahal, maka juga berlaku seenaknya dan tak tertib di jalan raya. Jadi, apa tujuannya bersepeda kalau begitu? Untuk pamer sepeda mahal dan gaya-gayaan, pun takut sepedanya hilang.

Fungsi sepeda dan pajak sepeda

Bila ditilik dari sejarah lahirnya sepeda, fungsi utama sepeda dibuat adalah untuk alat transportasi. Bukan untuk gaya-gaya an dan pamer sepeda mahal tapi takut hilang dan tak sopan saat mengendarai di jalan.

Setelah itu, setelah perubahan dan perkembangan zaman, maka fungsi sepeda bertambah, menjadi alat kesehatan dan olah raga karena akhirnya ada lomba dan kejuaraan balap sepeda.

Saat zaman terus berkembang, fungsi sepeda pun bertambah menjadi alat untuk berkumpul, bersosialisasi, dan komunitas. Tidak ada fungsi sepeda untuk gaya-gayaan dan dikendarai dijalan raya dengan seenak hati, sebab semua fungsi sepeda ada etika dan aturannya sendiri.

Saat fungsi sepeda menjadi alat transportasi, siapa pun rakyat yang memiliki sepeda, wajib membayar pajak sepeda. Karena sepeda adalah barang mewah. Istilahnya pada saat itu, pajak sepeda dikenal dengan sebutan "peneng" yaitu berujud stiker yang di tempel di bagian bodi sepeda. 

Berlakunya pajak sepeda terbilang cukup lama. Yang saya ingat, bila pulang sekolah (saat itu saya masihSD dan SMP), kalau musim razia peneng sepeda oleh petugas pajak, maka informasi cepat beredar, dan para pemilik sepeda yang belum ada peneng karena belum bayar Pajak, akan mencari jalan tikus, menghindari razia. 

Razia pajak sepeda zaman dulu, teknik dan caranya persis seperti razia kendaraan bermotor oleh polisi saat ini. 

Untuk itu, karena sepeda di zaman ini juga menjadi barang mewah dan harganya juga sebanding dengan harga motor dan mobil, maka pemerintah pun seharusnya kembali menerapkan pajak sepeda. Khususnya untuk sepeda-sepeda yang harganya sama dengan harga sepeda motor/mobil. Jadi, ada pajak khusus untuk sepeda bermerek dan harga mahal. Ada kategori. Namun, bukan sepeda harga kantong rakyat.

Etika di tempat umum dan jalan raya

Menghindari kejadian, sepeda masuk cafe, maka semua masyarakat yang kini memgambil momentum kembali atau baru bersepeda, wajib menjunjung tinggi etika. 

Sepeda tak ubahnya seperti sepeda motor atau mobil. Maka bila sedang tidak di pakai, ya, wajib diparkir di tempat parkir, bukan di dalam cafe atau lainnya.

Bila sadar yang dibawa sepeda mahal, tidak perlu pansos (mencitrakan diri sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi). Sadar dirilah, sebab masyarakat yang melihat bila Anda pansos, malah akan antipati.

Berikutnya, tidak perlu pansos di jalan raya pula. Tetaplah menjadi warga pengguna jalan raya yang tertib.

Ayo tetap  bersepeda, namun tahu fungsi dan etika bersepeda.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler