x

Iklan

Meri Ana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Juli 2020

Rabu, 30 September 2020 17:14 WIB

Nikel, Logam Penentu Kehidupan Mobil Listrik Eropa

Sebagai salah satu negara terbesar yang memiliki cadangan Nikel, Indonesia patut bangga. Pasalnya, selama puluhan tahun Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir nikel terbesar dunia yang menguasai sekitar 27% pasar global. Sayangnya, di tahun 2019 Indonesia sempat membuat negara ‘penikmat’ Nikel, Uni Eropa, kegerahan lantaran Indonesia mengambil langkah menyetop ekspor bijih nikel mentah. Uni Eropa bahkan saat itu berencana menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020 silam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai salah satu negara terbesar yang memiliki cadangan nikel, Indonesia patut bangga. Pasalnya, selama puluhan tahun Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir nikel terbesar dunia yang menguasai sekitar 27% pasar global. 

Sayangnya, di tahun 2019 Indonesia sempat membuat negara ‘penikmat’ nikel, Uni Eropa, kegerahan lantaran Indonesia mengambil langkah menyetop ekspor bijih nikel mentah. Uni Eropa bahkan saat itu berencana menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020 silam. 

Pelarangan ekspor mineral mentah ini mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama puluhan tahun, Indonesia telah menjadi produsen dan eksportir dari nikel. Namun, Indonesia selama ini hanya mengekspor nikel mentah, sedangkan produsen nikel lainnya di luar sana juga cukup banyak. Sebut saja di Amerika Serikat, Australia, Bolivia, Brasil, China, dan beberapa negara Afrika. 

Ekonom PT Bank UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, dilansir dari Harian Kompas (18/11/2019) memaparkan bahwa nikel adalah mineral berharga di masa depan karena adanya perkembangan kendaraan listrik. Nikel merupakan logam terbesar yang terkandung di dalam pembuatan baterai listrik. 

Sedangkan, di masa depan, revolusi mobil listrik membutuhkan keberadaan baterai lithium-ion yang terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel adalah komponen logam yang mendominasi komposisi baterai listrik, khususnya katoda. 

"Selama dua dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah," tutur Enrico.

Bahkan dengan teknologi baterai lithium-ion yang semakin berkembang seiring pengembangan kendaraan listrik, kandungan nikel diprediksi akan semakin besar karena memiliki penyimpanan daya yang dinilai lebih baik. Semakin banyak kandungan nikel dalam komposisi baterai maka meningkatkan kepadatan energi. Sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih jauh. 

Di awal tahun 2019, produsen baterai mobil listrik di China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) telah berhasil memasarkan baterai Lithium Nickel Cobalt Manganese (NCM) 811 (80 persen nikel, 10 persen kobalt, 10 persen mangan) dengan kandungan nikel yang lebih tinggi dari pendahulunya. 

Pangsa pasar NCM 811 ini menempati posisi kedua terbesar di China (setelah NCM 523), meningkat menjadi 13% pada Agustus 2019 dari 1% di bulan Januari dan 4% di bulan Juni 2019. Baterai NCM 811 telah menjadi terobosan di China dan diprediksi akan segera dikomersilkan secara luas kepada produsen mobil listrik seperti BMW, Volkswagen, dan General Motors (GM). 

Tidak hanya NCM 523 dan NCM 811, upaya meningkatkan kandungan nikel pada baterai mobil listrik terus dilakukan oleh produsen melalui beberapa inovasi. Salah satunya adalah baterai NCM 90 yang mengandung 90% nikel, 5% kobalt, dan 5% mangan yang rencananya dirilis pada tahun 2025 atau lebih cepat. Melihat hal ini, Indonesia tentu dapat melihat bahwa nikel merupakan komoditas mineral yang strategis di pasar dunia berbarengan dengan timah serta batubara. 

Indonesia harusnya memiliki keuntungan yang jauh berlipat karena memiliki industri pengolahan bijih nikel berupa peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, harganya dapat meningkat dari 55 dollar AS per ton menjadi 232 dollar AS per ton. Sebuah nilai tambah yang naik hingga 400 persen. 

Menurut data Indonesia, nilai ekspor bijih nikel di Indonesia ke Uni Eropa mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2017. 

Yang menarik perhatian, China adalah salah satu negara yang memiliki cadangan nikel besar. Selama puluhan tahun lebih banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia dan negara produsen lainnya. China menyerap lebih dari 50% produksi nikel dunia untuk kebutuhan industrinya. 

Negara ini telah lama sudah mengamankan pasokan feronikel dengan cara menanam banyak modal untuk pembangunan smelter di Indonesia. Baik Eropa maupun China, sejak beberapa tahun terakhir ‘hobi’ untuk membangun industri kendaraan berbasis listrik yang ramah lingkungan.

Ikuti tulisan menarik Meri Ana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler