x

Banjir Jakarta

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Kamis, 15 Oktober 2020 22:03 WIB

Sepuluh Aturan Emas Pengelolaan Risiko Banjir (10 Golden Rules of Flood Risk Management)

Dalam Undang Undang No 17 tahun 2017 tentang Sumber Daya Air (SDA), pada Bagian Keempat Pasal 35, pengertian “Pengelolaan Banjir” adalah “Pengendalian Daya Rusak Air”. Pasal 35 ayat (1) Pencegahan Daya Rusak Air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan; Ayat (3) Pencegahan Daya Rusak Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mencegah terjadinya bencana yang diakibatkan Daya Rusak Air. Penjelasan Pasal 35 ayat (3) Yang dimaksud Daya Rusak Air antara lain, berupa: a. banjir (banjir adalah peristiwa meluapnya air melebihi palung sungai atau genangan air yang terjadi pada daerah yang rendah dan tidak bisa terdrainasikan – SNI 2415-2016); b. erosi dan sedimentasi; c. tanah longsor; d. banjir lahar dingin; e. perubahan sifat dan kandungan kimiawi, biologi, dan fisika Air; g. terancam punahnya jenis tumbuhan dan/atau satwa; h. wabah penyakit; i. tanah ambles; j. intrusi, dan/atau; k. perembesan. Beberapa kecenderungan (trend) “Pengelolaan Risiko Banjir” yang berkembang di Eropa, China dan Australia ditulis oleh Sayer et.al 2012 sebagai 10 Golden Rules of Flood Risk Management. Saudara Ir. Slamet Budi Santoso Dipl. HE (Pengamat: persungaian terkait banjir, kekeringan dan pencemaran) telah menyadur tulisan Sayer et.al 2012 tersebut, dan sekaligus mengaitkannya dengan kondisi dan praktek penanganan Banjir di Indonesia. Melihat tantangan permasalahan Banjir ke depan yang semakin berat dan meluas akibat masifnya alih fungsi tutupan lahan dan hutan DAS hulu, ditambah perubahan iklim; Penulis menilai pemahaman Aturan Emas terkait Risiko Banjir ini penting sebagai referensi bagi para akademisi, tenaga ahli dan pengamat banjir di Indonesiana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Undang Undang No 17 tahun 2017 tentang Sumber Daya Air (SDA), pada Bagian Keempat Pasal 35, pengertian “Pengelolaan Banjir” adalah “Pengendalian Daya Rusak Air”. Pasal 35 ayat (1) Pencegahan Daya Rusak Air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan; Ayat (3) Pencegahan Daya Rusak Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mencegah terjadinya bencana yang diakibatkan Daya Rusak Air.

Penjelasan Pasal 35 ayat (3) Yang dimaksud Daya Rusak Air antara lain, berupa: a. banjir (banjir adalah peristiwa meluapnya air melebihi palung sungai atau genangan air yang terjadi pada daerah yang rendah dan tidak bisa terdrainasikan – SNI 2415-2016); b. erosi dan sedimentasi; c. tanah longsor; d. banjir lahar dingin; e. perubahan sifat dan kandungan kimiawi, biologi, dan fisika Air; g. terancam punahnya jenis tumbuhan dan/atau satwa; h. wabah penyakit; i. tanah ambles; j. intrusi, dan/atau; k. perembesan. 

Kejadian banjr tidak mungkin dikendalian secara absolut, melainkan hanya untuk tingkat keamanan atau debit banjir maksimum tertentu saja yang disebut debit banjir rencana. Misalnya S. Ciliwung di AWLR Gatot Subroto,  Debit  Banjir Rencana adalah Debit Banjir Periode ulang (return period) 50 tahun, yaitu  Q 50 = 570 m3/det. Kemungkinan (probability) sama atau dilampawi suatu debit (570 m3/det) dengan periode ulang Tr = 50 tahun, ialah sama dengan 1/periode ulang = 1/Tr = 1/50. Kota Jakarta yang dilalui S. Ciliwung karena sudah sangat berkembang nilai assetnya tinggi / mahal, seyogianya aman terhadap banjir Tr = 100 tahun (Q 100).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya S. Citanduy di perbatasan Jabar – Jateng selatan karena masih daerah pertanian, tinggi tanggulnya dibangun aman terhadap Debit Banjir Rencana Tr = 25 tahun (Q 25) = 1900 m3/det. Sebagai gambaran lain, Ketinggian Tanggul Laut yang melindungi polder (daerah di bawah elevasi permukaan laut) di Negeri Belanda, didesain untuk  periode ulang Tr = 10.000 tahun. Jadi kemungkinan gelombang laut menyamai atau melebihi ketinggian tanggul laut di Negeri Belanda tersebut adalah amat kecil P = 1/10.000. 

Karena itulah dalam 20 tahun terakhir pengertian “Pengendalian Banjir” bergeser menjadi “Pengelolaan Banjir Terpadu” (WMO dan Associated Programme 0n Flood Management), kemudian menjadi “Pengelolaan Risiko Banjir” (Flood Risk Management), terkadang ditambah bencana menjadi “Pengelolaan Risiko Bencana Banjir”. Dalam laporan Asian Water Development Outlook 2016 (AWDO) tentang Assessing National Water Security, bencana banjir disebut “Water Reladed Disaster”. Selanjutnya dalam Draft Diagnostic Report, Indonesia: The Path to Water Security oleh World Bank, “Pengelolaan Risiko Banjir” dinamai “ Managing Water Related Risk”. 

Beberapa kecenderungan (trend) “Pengelolaan Risiko Banjir” yang berkembang di Eropa, China dan  Australia ditulis oleh Sayer et.al 2012 sebagai 10 Golden Rules of Flood Risk Management. Saudara Ir. Slamet Budi Santoso  Dipl. HE (Pengamat: persungaian terkait banjir, kekeringan dan pencemaran) telah menyadur tulisan Sayer et.al 2012 tersebut, dan sekaligus mengaitkannya dengan kondisi dan praktek penanganan Banjir di Indonesia.

Melihat tantangan permasalahan Banjir ke depan yang semakin berat dan meluas akibat masifnya alih fungsi tutupan lahan dan hutan DAS hulu, ditambah perubahan iklim; Penulis menilai pemahaman Aturan Emas terkait Risiko Banjir ini penting sebagai referensi bagi para akademisi, tenaga ahli dan pengamat banjir di Indonesiana. Berikut adalah Sepuluh Aturan Emas dimaksud. 

  1. Tidak pernah ada pengendalian banjir yang absolut. Selalu ada resiko debit rencana terlampaui, persiapkan terjadinya residual risk. Bangunan-bangunan juga dapat gagal berfungsi karena berbagai sebab misal jebol, terlambat  nutup pintu, sistim peringatan dini dan evakuasi tidak berjalan baik dll sehingga perlu dipersiapkan keadaan jika terjadi banjir.

Kondisi kita saat ini: Banyak di antara kita yang belum paham tentang Flood Risk (Existing, Future dan Residual Flood Risk). 

  1. Sediakan dan persiapkan dataran banjir sebagai daerah penampung banjir. Dataran banjir adalah lahan yang subur berfungsi untuk pertanian dan layanan ekosistem, selain itu juga sebagai ruang alami untuk menampung banjir. Hubungan antara sungai dan dataran banjir yang terputus perlu dibuka kembali agar fungsi-fungsi tersebut dapat hidup .

Kondisi kita saat ini: Dataran banjir sering tak dikenali dan tak teridentifikasi dalam RTRW dan RDTR.  

  1. Pengambilan keputusan harus didasarkan pada data dan informasi yang semakin baik. Pengelolaan banjir merupakan proses yang iterative dengan informasi dan pemahaman tentang resiko dan ketidakpastian yang semakin baik dan benar.

Kondisi kita saat ini: Informasi selalu tertinggal di belakang perubahan sehingga kita selalu terlambat selalu menjumpai keadaan yang telah memburuk. Data dan informasi terkait banjir tersedia tersebar di banyak pihak/instansi dengan banyak format, perlu ada mekanisme sharing dan konversi format yang terbuka antar para pihak /instansi.

  1. Kondisi masa yang akan datang berbeda dengan masa yang lalu. Dunia berubah, iklim, demografi, kondisi sosial budaya sehingga proses2 perencanaan juga harus berubah. Ini penting agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari akibat penerapan sesuatu yang sudah tidak nyambung dengan keadaan sekarang dan yang akan datang.

Kondisi kita saat ini: Perencanaan pengendalian banjir masih tetap seperti dulu sangat teknikal (bahkan mengalami penurunan). Analisis tentang kondisi lingkungan dan social sangat kurang. Akibatnya perubahan penutup lahan dan pola pencemaran yang memicu pembesaran debit dan peningkatan beban pencemaran pun luput dari antisipasi sehingga hasil perencanaan sebentar saja sudah tidak valid karena perubahan tersebut.

  1. Jangan pernah mengandalkan hanya solusi tunggal, perlu banyak serangkaian peran dan tanggung jawab (portofolio) para pihak. Pengelolaan banjir terpadu melibatkan banyak aktivitas di banyak sector terkait yang cukup luas, meliputi kegiatan mengurangi kemungkinan (probability) terjadi bencana, mengurangi keterpaparan dan kerentanan bencana banjir.

Kondisi kita saat ini: Solusi teknis amat mendominasi, kalau bukan satu2nya. Berdasarkan analisis hidrologi (dengan data yang minim) dan hidraulika (steady non uniform flow) analisis terfocus untuk menurunkan muka air. Solusi teknis yang banyak mengandung keterbatasan seperti ini mengandung banyak kelemahan dan mengabaikan peran para pihak yang terkait dengan perubahan demografi, tata ruang, peran stakeholders, aspek-aspek lingkungan dan budaya.

  1. Gunakan sumber daya yang terbatas secara efisien dengan mempertimbangakan aspek lingkungan, ekonomi, dan social secara mendalam. Analisis standar berdasar aspek teknis semata harus sudah ditinggalkan.

Kondisi kita saat ini: Proses pemilihan program definitive pengendalian banjir amat jauh dari segi kelayakan teknis, ekonomi, lingkungan dan social. Karena tidak didahului proses-proses analisis stakeholders dan visioning, seringkali kegiatan antar sektor saling tabrak atau saling meniadakan sehingga capaian pengurangan resiko banjir amat rendah atau hanya berlangsung beberapa waktu saja. Kasus Cengkareng Drain adalah salah satu kasus yang klasik yang terjadi di mana-mana.

  1. Pembagian peran dan tanggung jawab serta dukungan pendanaan harus jelas. Peran tiap tingkat jenjang pemerintah mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan lokal dalam hal tanggung jawab dan dukungan pendanaan dalam kerangka kolaboratif perlu dinyatakan spesifik secara tertulis. Demikian halnya dengan dunia swasta dan organisasi kemasyarakatan, LSM atau komunitas, sehingga masing-masing memahami peran dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan ‘shared responsibility and fiscal support’.

Kondisi kita saat ini: Shared responsibility tidak dikenal. Bahkan didoktrin bahwa secara hukum Balai Wilayah Sungai (BWS), Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) adalah satu-satunya instansi yang bertanggung jawab tentang masalah-masalah SDA dan sedihnya memang Undang-undang mengamanatkan seperti itu. Paling-paling hanya dikatakan bahwa penyebab masalah-masalah SDA itu terletak di sector-sektor di luar SDA, tanpa mendorong adanya upaya pembenahan. Ini jelas pandangan yang amat kuno dan sangat naïf yang perlu segera diperbaiki.

  1. Komunikasikan resiko banjir secara efektif dan meluas. Pengambil keputusan di semua tingkat yang terkait dengan perizinan dan tata ruang secara periodik perlu saling berbagi pengetahuan dan informasi terkait resiko yang dapat timbul di wilayah tanggung jawab kerja mereka. Selain itu gunakan semua jalur komunikasi secara efektif agar dapat menjangkau komunitas dan masyarakat luas. Komunikasi yang efektif dapat membuat komunitas dan perorangan mengerti peran dan tanggung jawab mereka dalam membantu mengurangi resiko banjir dan juga membuat mereka mengerti mengapa suatu tindakan tertentu perlu dilakukan untuk mencapai visi bersama mengurangi resiko banjir.

Kondisi kita saat ini: Pemilik kepentingan belum terkomunikasi tentang peran dan tanggung jawabnya secara benar. Oleh karena itu posisi pemilik kepentingan yang seharusnya menjadi bagian dari penyelesaian masalah bahkan justru menjadi bagian dari penyebab membesarnya masalah. 

  1. Tingkatkan keikutsertaan pemilik kepentingan dalam pengambilan keputusan. Pemilik kepentingan adalah pemilik legitimasi. Setiap keputusan pada dasarnya diambil dengan mengatas namakan mereka. Jadi pengelolaan risiko banjir yang efektif perlu melibatkan pemilik kepentingan dalam seluruh proses pengambilan keputusan yaitu secara bersama mengelola risiko banjir, bukan menghilangkan / melawan banjir.

Kondisi kita saat ini: Karena pemilik kepentingan belum teridentifikasi maka selalu tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Padahal merekalah yang seharusnya berperan dan bertanggung jawab dalam setiap masalah yang timbul. Pemerintah tampaknya juga telah merasa nyaman dengan kondisi ini karena tiap tahun juga sudah sibuk dengan pembelanjaan DIPA melalui proyek-proyek. Namun dengan keadaan yang telah disampaikan di atas, sebetulnya masalah yang dihadapi tidak kunjung selesai bahkan terus membesar

 

  1. Perlu keterpaduan konteks lokal dengan proses perencanaan (planning) lain yang lebih besar. Setiap strategi adalah mencerminkan penanganan masalah spesifik setiap lokasi, sehingga detil tiap strategi dapat berbeda-beda. Meskipun begitu kerangka analisis dan evaluasinya harus cocok untuk setiap situasi.                                                          Kondisi kita saat ini:  Pengelolaan risiko banjir tidak jelas hirarkinya. Dulu (sebelum th 1994) setiap fungsi SDA (p3sa, irigasi, flood control, pengembangan rawa, air tanah) ada Masterplan dan Feasibility Study. Sekarang dari Pola dan Rencana SDA langsung lompat ke kegiatan Pengendalian Banjir tanpa analisis detil tentang pilihan-pilihan kegiatan yang mungkin dilakukan dengan tinjauan kelayakannya, selain itu pendekatannya juga sangat teknikal.               Demikian yang dapat disampaikam semoga bermanfaat adanya. SEKIAN

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB