x

cover buku Chan-Pi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 19 Oktober 2020 22:13 WIB

Chan-Pi: Kisah Kerukunan Beragama di Tanah Melayu

Kisah kerukunan antara Budha dan Islam di Tanah Melayu abad 11 yang dibalut dalam kisah percintaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Chan-Pi Hikayat Cinta Negeri Melayu

Penulis: Berlian Santosa

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Koekoesan & Benny Institue                                                                

Tebal: viii + 328

ISBN: 978-602-99686-9-9

 

Novel ini menyodorkan betapa Nusantara mempunyai kearifan dalam mengelola agama. Keharmonisan kehidupan beragama sudah ada sejak sebelum Nusantara menjadi Indonesia. Mengambil latar belakang sebuah kerajaan kecil bernama Chan-Pi di Sumatra, Berlian Santosa menggambarkan keharmonisan kehidupan Islam – Budha melalui hubungan percintaan dua insan beragama Islam di Tanah Melayu yang saat itu dominan beragama Budha.

Chan-Pi adalah sebuah kerajaan kecil di muara Sungai Batanghari. Kerajaan Melayu ini memiliki kota pelabuhan bernama Zabaq. Pelabuhan yang sangat strategis, karena lokasinya tepat di muara sungai dan angin laut berhenti di pantainya, membuat Kota Zabaq menjadi kota pelabuhan yang ramai. Para pedagang dari berbagai negeri singgah untuk berdagang di Zabaq. Ada pedagang dari Tiongkok, Arab, ParsiTurki dan India.

Selain dari kota pelabuhan, Chan-Pi juga memiliki sebuah universitas yang terkenal. Universitas ini sejajar dengan Universitas Nalanda di India. Universitas yang dijalankan oleh para biksu dan bikhuni Budha ini menerima mahasiswa dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai agama. Universitas Mo Lo Yeu mempunyai pengajar multi-etnis, termasuk beberapa biksu dari Tiongkok.

Tokoh utama novel ini adalah Rakai, seorang gadis Melayu dan Tsampa, seorang pemuda dari kaki Himalaya. Rakai adalah seorang budak yang tugasnya membersihkan kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Zabaq. Meski seorang budah, Rakai memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia juga bercita-cita untuk bisa belajar di Universitas Mo Lo Yeu. Rakai mulai belajar dari barang-barang yang diberikan oleh para pemilih atau penungpang kapal kepadanya. Barang-barang tersebut kadang berupa naskah. Ia belajar bahasa dan huruf dari berbagai negeri asal para penumpang kapal/para pedagang tersebut. Ia mempunyai teman seorang pedagang yang bisa membantunya untuk mempelajari naskah-naskah tersebut.

Suatu hari Rakai mendapatkan naskah dari seorang pedagang Parsi. Temannya tidak bisa membacakan naskah tersebut. Akhirnya Rakai belajar langsung kepada sang Pedagang Parsi tersebut. Ternyata teks yang diberikan kepadanya adalah cuplikan dari Al Quran. Setelah mulai bisa membaca Bahasa Arab, Rakai mendapatkan sebuah Al Quran dari sang Pedagang Parsi. Rakai rajin mempelajari Quran dan menerapkan ajaran-ajaran yang ada dalam kehidupannya sehari-hari.

Suatu hari Rakai dibeli oleh Patih Sipin dari Kerajaan Chan-Pi. Ia tinggal di rumah Patih Sipin. Karena kerajinannya dan sikapnya yang baik, Patih Sipin menganggap Rakai sebagai anaknya sendiri. Padahal Patih Sipin telah mempunyai dua anak perepuan. Salah satu anak dari Patih Sipin bernama Putri Lolo. Perangai Putri Lolo yang cantik itu sangat buruk. Patih Sipin sangat ingin Rakai mengajari Putri Lolo supaya perangainya berubah menjadi baik. Sayang Putri Lolo malah membencinya karena menganggap Rakai telah merebut cinta ayahnya kepadanya.

Patih Sipin melihat kesungguhan Rakai untuk belajar. Maka ia memfasilitasi supaya Rakai bisa belajar di Universitas Mo Lo Yeu. Rakai belajar dari para pengajar. Rakai sangat rajin belajar tentang ilmu pengobatan. Itulah sebabnya ketika sitri Patih Sipin sakit, Rakai berhasil menyembuhkannya.

Sedangkan Tsampa adalah seorang pedagang dari Hindustan yang beragama Islam. Ketika sampai di Zabaq, Tsampa tertarik untuk belajar ke Universitas Mo Lo Yeu. Saat menuju ke Universitas Mo Lo Yeu dengan menggunakan perahu kecil, Tsampa mengalami musibah. Untunglah Rakai berhasil menyelamatkannya dari tenggelam di Sungai Batanghari.

Rakai dan Tsampa bertemu di Universitas Mo Lo Yeu dan menikah. Sayang sekali, saat Rakai melahirkan anak pertamanya, ia meninggal. Ia terlambat mendapatkan obat karena hanya dia yang tahu tanaman apa yang bisa mengobatinya. Sang suami tidak paham akan jenis-jenis tanaman obta. Meski Rakai meninggal, tetapi Rakai sempat membuat catatan tentang berbagai jenis tanaman obat yang ditelitinya selama menjadi mahasiswa.

Novel ini menggambarkan hubungan yang harmonis antaragama di Chan-Pi. Berlian Santosa memasukkan beberapa adegan bagaimana sejuknya kehidupan beragama di Zabaq. Berlian Santosa juga menggunakan persitiwa pernikahan antara Tsampa dengan Rakai sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa Budha dan Islam saling toleran dan malah bekerjasama untuk membantu Tsampa dan Rakai membangun rumah tangga.

Berlian Santosa menggunakan alur cerita yang sederhana saja. Kisahnya tidak rumit dan kesan saya agak hitam putih. Meski kisahnya sederhana, Berlian Santosa berhasil membangun satu tokoh yang menurut saya sangat menari. Tokoh penyerta tersebut bernama Met. Met adalah seorang budak perempuan dengan luka di wajahnya. Namun Met adalah seorang yang rela mengorbankan diri untuk menolong sesamanya. Saat Rakai akan diperkosa oleh majikannya, Met rela membuat sandiwara sehingga Rakai lolos dan Met yang akhirnya menjadi korban kebiadaban sang majikan.

Tokoh Met juga dipakai oleh Berlian Santosa untuk menunjukkan kasih antar umat yang berbeda agama. Persahabatan dan pengorganan Met untuk Rakai adalah kisah yang menurut saya sangat memukau yang ada di buku ini.

Hal lain yang menarik dari novel ini adalah kejelian Berlian Santosa memasukkan buah-buahan khas Tanah Melayu dalam cerita yang dibangunnya. Duku dan durian menjadi bumbu yang mengkontekskan cerita dengan wilayah ini. Namun sayang, Berlian Sentosa kurang jeli terhadap jenis-jenis tanaman import yang belum lazim di zaman terjadinya kisah ini. Berlian Sentosa memilih abad 11 sebagai kala terjadinya cerita. Padahal kopi sebagai bahan minuman baru dikenal di sekitar Ethiopia dan sekitar Arab pada abad 9. Baru pada abad 15 kopi sampai di konstantinopel. Artinya pada abad 11, tentu kopi belum menjadi minuman umum masyarakat. Sebab di Indonesia sendiri, termasuk di Sumatra, kopi baru memasyarakat karena dibawa oleh VOC sebagai tanaman perkebunan pada abad 17. Mungkin tuak lebih tepat jika mau dipakai sebagai minuman rakyat saat itu.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler