x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 25 November 2020 07:15 WIB

Bagaimana Demokrasi Mati dan Peringatan Sejarawan Snyder

Adalah salah mengasumsikan bahwa penguasa yang menaiki kursi kekuasaan melalui institusi demokratis tidak akan mengubah atau menghancurkan institusi itu. Nazi hanya memerlukan waktu satu tahun untuk mengonsolidasi kekuasaan dan pada akhir 1933 Jerman pun menjadi negara satu partai. Seluruh institusi negara direndahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Unggahan foto Anies Baswedan yang sedang membaca buku begitu cepat jadi viral. Keriuhan itu terjadi agaknya karena judul buku yang sedang dibaca Anies membuat banyak orang terusik: How Democracies Die. Foto itu jadi mirip endorsement gratis Anies bagi buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Belum jelas benar apakah ‘endorsement gratis’ itu berefek pada penjualan buku yang di Indonesia sudah terbit dengan judul Bagaimana Demokrasi Mati.

Banyak orang membuat tafsir atas foto yang diunggah di media sosial itu, padahal Anies tidak menulis apapun mengenai buku itu kecuali sapaan: ‘Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi.’ Namun, keriuhan respons dan tafsir itu barangkali tak lepas dari konteks situasi saat ini ketika suhu politik di Jakarta terasa lebih hangat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak kurang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri ikut menanggapi keriuhan itu. Seperti dipublikasi oleh tempo.co, Selasa, 24 November 2020, terpampang judul berita seperti ini: ‘Firli Bahuri Sebut Telah Membaca Buku yang Dibaca Anies Sejak 2002’. Dalam beritanya, tempo.co mengutip ucapan Firli pada acara serah terima aset negara dari KPK, yang disiarkan di YouTube, Selasa, 24 November 2020: “Kalau kemarin saya lihat ada di media Pak Anies membaca How Democracies Die. Bukunya ada Why Nation Fail, itu sudah lama saya baca, tahun 2002 sudah baca buku itu. Kalau ada yang baru baca sekarang, kayaknya baru bangun. Makanya banyak yang mengkritisi kan, sudah lama buku itu.”

Pernyataan Firli itu mungkin membingungkan bahkan jika yang ia maksudkan ia sudah membaca buku Why Nation Fail, sebab karya Daron Acemoğlu dan James A. Robinson ini pun terbit bukan pada 2002, melainkan pada 2012. Sedangkan yang lagi ramai dibicarakan adalah buku How Democracies Die, yang terbit 2018. Jadi buku mana yang sudah dibaca Firli pada 2002? Namun akhirnya Ketua KPK itu mengakui bahwa buku yang ia baca adalah Why Nation Fail pada 2012.

Sudahlah, lupakan soal itu; kita kembali ke pokok bahasan Levitsky-Ziblatt dalam bukunya itu. Kedua sarjana itu membeberkan catatan historis bahwa kematian demokrasi tidak selalui dimulai oleh kudeta militer. Kematian demokrasi bisa diawali dari proses demokratis yang disebut pemilihan umum.

Seperti yang sebenarnya sudah sering disebut oleh banyak sarjana sebelumnya, Levitsky-Ziblatt mencontohkan bahwa Adolf Hitler dan Benito Mussolini naik ke panggung kekuasaan melalui pemilu setelah mereka melakukan kudeta yang gagal. Levitsky-Ziblatt menambahkan nama Hugo Chavez sebagai figur yang relatif baru. Secara agak dramatis, Levitsky-Ziblatt menggambarkan perubahan dari demokrasi menuju otoritarian itu: “Tak ada tank di jalanan. Konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada. Rakyat masih memberi suara. Autokrat hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya.”

Persoalan kematian demokrasi secara perlahan-lahan sehingga warga penghuninya tidak merasakan proses itu juga dibahas oleh Timothy Snyder, profesor sejarah di Yale University, AS, dalam bukunya yang terbit pada 2017, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Sambil menguraikan 20 pelajaran berharga yang dapat dipetik dari masa-masa totaliter di masa lampau, Snyder mengingatkan warga untuk melakukan sejumlah hal agar demokrasi dapat dipertahankan. Di antaranya ialah mempertahankan institusi. Institusi akan ambruk bagai kartu domino bila masing-masing institusi itu tidak dipertahankan oleh warga sejak awal.

Snyder mengingatkan, banyak rezim otoriter memperoleh kekuasaan secara gratis—Hitler, ia mencontohkan, memperoleh kekuasaan dengan mudah lewat pemilihan yang demokratis. Karena merasa bahwa pemerintahan yang terpilih merupakan buah dari pemilu yang demokratis, warga kemudian melakukan berbagai hal tanpa diminta oleh otoritas. Kesediaan warga inilah yang kemudian dimanfaatkan penguasa untuk mengurangi kebebasan secara bertahap tanpa disadari oleh warga.

Di awal abad ke-20, menurut Snyder, demokrasi Eropa menyediakan panggung bagi siapapun untuk berkuasa, termasuk Hitler di Jerman dan Partai Komunis di Cekoslowakia. Harapan akan kemakmuran dan keadilan ditantang oleh visi baru politik massa yang disodorkan pemimpin atau partai yang mengklaim mewakili kehendak rakyat. Rakyat, yang terbuai oleh janji-janji baru, tidak berhitung terlalu lama untuk menerima penguasa baru dan menyerahkan nilai serta prinsip mereka. Masyarakat pun terpecah.

Pengalaman Eropa itu mengajarkan, tidak ada jaminan bahwa masyarakat di negara demokrasi sekalipun akan terus menikmati kebebasan. Snyder mengingatkan pentingnya masyarakat mempertahankan berbagai institusi yang penting bagi tegaknya demokrasi. Tulis Snyder: “Pilih institusi yang kamu peduli—pengadilan, suratkabar, hukum, serikat pekerja—dan pertahankan mereka.” Ia mengingatkan bahwa institusi tidak akan mampu mempertahankan dirinya sendiri, wargalah yang harus melakukannya.

Adalah salah, kata Snyder, mengasumsikan bahwa penguasa yang menaiki kursi kekuasaan melalui institusi demokratis tidak akan mengubah atau menghancurkan institusi itu. Nazi hanya memerlukan waktu satu tahun untuk mengonsolidasi kekuasaan dan pada akhir 1933 Jerman pun menjadi negara satu partai. Seluruh institusi negara direndahkan. Penguasa baru mengadakan pemilihan parlemen tanpa oposisi dan menggelar referendum untuk meneguhkan kekuasaan orde baru.

Baik Levitsky-Ziblatt maupun Snyder menunjukkan sejumlah pelajaran penting dari ambruknya demokrasi Eropa dalam perangkap otoritarianisme, fasisme, maupun komunisme. Snyder menyebutkan tanda-tanda yang menyertai perubahan dari masyarakat demokratis menuju otoriter, di antaranya ketika jargon dan semboyan digemakan oleh warga yang tak lagi punya keberanian untuk mengutarakan pikiran sendiri dan dengan caranya sendiri. Begitu pula, ketika pemimpin atau penguasa mengemas kata-kata dengan begitu meyakinkan sehingga rakyat menerimanya sebagai kebenaran sekalipun itu mengingkari fakta.

“Menanggalkan fakta adalah menanggalkan kebebasan,” tulis Snyder. Jika tidak ada kebenaran, tidak seorang pun dapat mengritik kekuasaan, sebab tidak ada dasar untuk melakukannya. Sayangnya, penguasa punya beragam cara untuk meringkus kebenaran dan punya keberanian untuk membuka permusuhan terhadap realitas yang dapat diuji kebenarannya dengan menyajikan kebohongan seolah-olah fakta. Kebohongan yang diulang-ulang akan melekat di benak rakyat dan dianggap sebagai kebenaran. “Pasca-kebenaran [post-truth] adalah pra-fasisme,” tulis Snyder. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu