x

Iklan

عبد اليزيد

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Oktober 2020

Kamis, 3 Desember 2020 07:41 WIB

Mengenal Aliran Mu'tazilah

Dalam sejarah pemikiran Islam, telah tumbuh dan berkembang berbagai mazhab atau aliran keagamaan, baik di bidang politik, hukum maupun akidah/kalam. Di bidang yang terakhir ini, tercatat dalam sejarah adanya aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Salafiyah dan Wahabiyah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengenal Aliran Mu’tazilah

Oleh : Abdullah Yazid

Dalam sejarah pemikiran Islam, telah tumbuh dan berkembang berbagai mazhab atau aliran keagamaan, baik di bidang politik, hukum maupun akidah/kalam. Di bidang yang terakhir ini, tercatat dalam sejarah adanya aliran-aliran seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Salafiyah dan Wahabiyah. Aliran-aliran tersebut masih tetap berkembang hingga sekarang, kecuali aliran Mu’tazilah yang sudah tidak berkembang lagi. Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mengagungkan kemampuan akal, sehingga pemikiran Kalam/teologi yang mereka kembangkan bercorak rasional dan liberal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lahirnya Aliran Mu’tazilah

Persoalan teologis yang cukup hangat diperbincangkan oleh para ulama pada penghujung abad I hijrah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut kemudian muncul pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri (21-110 H/642-728 M) di masjid Bashrah.

Masalah status mukmin yang berdosa besar tersebut muncul di forum ketika dipertanyakan oleh seorang peserta kepada Hasan al-Bashri di pengajiannya. Disaat Hasan al-Bashri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan salah seorang peserta pengajian yang bernama Washil ibn Atha (80-131 H/699-749 M) memberikan jawaban. Menurut pendapat saya. katanya, orang mukmin yang berbuat dosa besar maka statusnya tidak lagi mukmin sempurna namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang disebutnya al-Manzilah bayn al- Manzilatain (tempat di antara dua tempat).

Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Washil ibn Atha langsung meninggalkan forum pengajian Hasan al-Bashri dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di dalam masjid tersebut.

Melihat tindakan Washil dan temannya itu, Hasan al-Bashri pun berkomentar dengan kata : I’tazala ‘Anna Washil, (Washil telah memisahkan diri dari kita). Semenjak itulah Washil dan kawannya- kawannya dinamai dengan sebutan Mu’tazilah.1

Peristiwa yang diceritakan di atas dinilai oleh banyak ahli sejarah sebagai faktor utama penyebab lahirnya aliran Mu’tazilah. Mu’tazilah inilah yang kemudian menjadi salah satu aliran Kalam dalam pemikiran Islam.

Tokoh-tokok Pendukung Aliran Mu’tazilah

Dalam perkembangannya, aliran Mu’tazilah  tidak hanya berpusat di kota Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.

Tokoh-tokoh yang ada di Bashrah :

  1. Washil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah. Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu’tazilah wa Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu’tazilah 12
  2. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf. Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha.13
  3. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan sebutan Al-Nazhzham.
  4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba’i dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

Itulah empat tokoh besar Mu’tazilah di Bashrah. Selanjutnya tokoh-tokoh yang berdomisili di Bagdad adalah :

  1. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri Mu’tazilah di Bagdad.
  2. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn Al-Rawandy.
  3. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075- 1144 M). Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
  4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al- Hamazani al-Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al- Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa kemunduran Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu’tazilah melalui karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid..

Metode Pemikiran Kalam/teologi

Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalm masalah-masalah yang tidak dapat dijngkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.16

Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya ada dua yaitu :

  1. Mereka menemukan di dalam filsafat Yunani keserasian dengan kecenderungan pikiran mereka. Kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir yang membuat mereka lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi.
  2. Ketika para filosof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasar- dasar ajaran Islam dengan argumentasi-argumentasi logis, Mu’tazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi dan debat mereka.

Kaum Mu’tazilah memang banyak mempelajari filsafat untuk dijadikan senjata mengalahkan serangan para filosof dan pihak lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah adalah filosof- filosof Islam.

Dalam menemukan pemikiran akidahnya, Mu’tazilah menggunakan metode logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nas-nas al-Quran. Jika kelihatan adanya pertentangan antara paham mereka dan nash al-Qur’an yang mereka baca, maka nas itu mereka takwilkan sehingga tidak bertentangan dengan paham mereka sekaligus tidak bertentangan dengan makna al-Qur’an.

Di dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dibanding aliran-aliran teologi lainnya. Hal ini sebagaimana dikatakan di atas karena mereka banyak dipengaruhi filsafat dan logika. Dalam membahas dan memecahkan masalah-masalah teologi mereka lebih banyak menggunkan kemampuan akal. Karenanya maka teologi yang mereka kembangkan lebih bercorak rasional dan liberal. Mereka pun dinamakan juga dengan sebutan “kaum rasionalis Islam”19.

Lima Doktrin Pokok (al-Ushul al-Khamsah)

Kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar.

  1. Al-Tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Dalam mengesakan Tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri di luar zat, karena akan berakibat banyaknya yang qadim. Mereka juga menolak sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfisme) bagi Tuhan karena akan membawa tajsim dan tasybih.
  2. Al’Adlu, yaitu keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan menurut amu’tazilah mengandung arti bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi hamba-Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan wajib menepati janji Tuhan wajib berbuat sesuai norma dan aturan yang ditetapkan-Nya, dan Tuhan tidak akan member beban dluar kemampan hamba.
  3. Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu janji dan ancaman. Kaum Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas perbuatan hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian dari keadilan Tuhan.
  4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain, yaitu tempat di antara dua tempat. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia berada di antara keduanya. Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.
  5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar., yaitu perintah melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar. Ini merupakan kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu’tazilah.

Menurut salah seorang pemuka Mu’tazilah, Abu al-Husain al- Khayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah menganut kelima doktrin tersebut.

Perkembangan Aliran Mu’tazilah

Pada awalnya Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah kerajaan Abbasiyah. Melihat hal demikian, khalifah Al-Makmun (813-833 M) putera Harun al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara.21 Sejak itu resmilah aliran Mu’tazilah menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

 

Kemunduran Aliran Mu’tazilah

Aliran ini kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap, disebabkan oleh antara lain :

  1. Karena mereka terlalu mengagungkan akal, berpikir rasional dan liberal, sehingga terkesan mengabaikan wahyu dan sunnah sebagai sumber utama akidah/teologi. Hal ini akhirnya menimbulkan ketidak senangan kaum muslimin..
  2. Terjadinya tindak kekerasan bahkan pemenjaraan terhadap sejumlah ulama menambah timbulnya kebencian masyarakat terhadap aliran ini, sehingga mereka pun meninggalkannya.
  3. Mulai berkembangnya aliran yang dipelopori Imam al-Asy’ari, yang lebih bercorak tradisional dan moderat. Teologi ini kemudian banyak mendapat simpati kaum muslimin.
  4. Intervensi penguasa dalam bentuk pencabutan aliran resmi Negara, sekaligus pelarangan menganut aliran Mu’tazilah, turut melemahkan posisi aliran ini, sehingga akhirnya lenyap dari dunia Islam.

 

Ikuti tulisan menarik عبد اليزيد lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler