x

Pemimpin

Iklan

الطالبة ١٥

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2020

Jumat, 18 Desember 2020 11:50 WIB

Akhlak Nabi Muhammad SAW Terhadap Penguasa

Tulisan ini tentang akhlak Nabi Muhammad SAW terhadap penguasa. Meneladani akhlak Nabi SAW adalah pilihan penting untuk menghadapi kondisi umat yang terpecah belah ini. Alih-alih saling mencela satu sama lain kerap terjadi saat ini. Padahal Islam melarang dari perbuatan saling mencela. Di sini juga dijelaskan, sepatutnya apa saja solusi menghadapi pemimpin tanpa harus memberontak. Karena untuk memberontak pemimpin, pemimpin itu harus memenuhi kriteria untuk layat diberontak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia saat ini sedang dilanda banyak konflik. Konflik yang paling menonjol yaitu konflik politik. Berbagai permasalahan di negeri tercinta ini seperti memecahkan kesatuan berbangsa kita. Perpecahan ini rasanya di mulai dari pemilihan presiden 2019 lalu, masyarakat terbagi menjadi dua. Lalu kebijakan-kebijakan yang di anggap merugikan buruh, dan lainnya yang menjadi penyebab terpecahnya persatuan berbangsa kita. Lagi-lagi dengan kabar hangat baru-baru ini. Sosial media diguncangkan dengan kabar tentang kematian 6 laskar fpi yang masih menjaddi pertanyaan kubu manakah yang bersalah.

Ditengah ricuhnya negeri ini. Apakah kita akan mengikuti kericuhan atau diam karena tidak peduli terhadap negeri ini? Karena kericuhan ini. Banyak sekali postingan-postingan di social media yang saling mecela ssatu sama lain. Apakah inipantas?

Kebenaran dan kebatilan, memang tidak akn pernah bersatu. Akan tetapi, setiap kita bissa memilih dan memilah cara apa yang seharusnya dilakukan untuk memberantas kebathilan dan ketidak adilan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai umat islam, Nabi Muhammad SAW adalah teladan untuk kita semua. Setiap ucapannya adalah wahyu dari sang pencipta alam semesta. Perbuatannya adalah qudwah untuk kita semua. Bagaimana akhlak nabi Muhammad SAW terhadap penguasa?

Sebuah kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW membuktikan hal itu. Pada tahun keenam hijriah, Rasulullah SAW bermaksud memperluas pengaruh Islam ke berbagai wilayah di luar Madinah dan Makkah. Untuk itu, beliau memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk menulis surat yang ditujukan kepada raja-raja, baik Arab maupun non-Arab. Isinya adalah imbauan agar mereka memeluk Islam.

Salah seorang pemimpin yang dikirimi surat tersebut ialah Tsumamah bin Utsal. Petinggi Bani Hanifah itu dikenal luas memiliki karakter keras kepala. Apa pun yang menjadi perintahnya harus diikuti seluruh rakyatnya. Sikapnya sejalan dengan kerja kerasnya dalam memakmurkan negeri.

Terbukti, kaum Hanifah cenderung hidup lebih makmur dibandingkan penduduk kota-kota tetangga. Bahkan, denyut perekonomian di Hijaz bisa dikatakan bergantung pada distribusi komoditas dari sana.

Akhirnya, Tsumamah menerima surat kiriman Rasulullah SAW. Dengan cepat surat tersebut dirobeknya. Ia lalu mengancam akan menyerbu Madinah dan membunuh beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika, Tsumamah bermaksud melaksanakan umrah ke Makkah sesuai dengan adat jahiliyah. Tak disangka, rombongannya dicegat sepasukan patroli kaum Muslimin di sekitar perbatasan Madinah. Begitu tahu ada gembong Bani Hanifah di antara kafilah tersebut, Muslimin pun menangkapnya.

Sesampainya di Madinah, Tsumamah diikat pada tiang di depan masjid. Rasulullah SAW kemudian menemuinya. Sebagai tawanan, nasib raja Kaum Hanifah itu sesungguhnya di ujung tanduk. Bisa saja Rasul SAW memerintahkan orang-orang untuk membunuhnya.

Ternyata, beliau memperlakukannya dengan baik. Para sahabat diperintahkannya untuk tidak menyakiti Tsumamah. “Sediakan makanan dan susu. Kirimkan kepada Tsumamah bin Utsal yang sedang ditahan di depan masjid!,” kata Rasulullah.

Karena keputusan Nabi SAW itu, Tsumamah mendapatkan berbagai fasilitas yang bagus untuk seorang berstatus tawanan.

Karena keputusan Nabi SAW itu, Tsumamah mendapatkan berbagai fasilitas yang bagus untuk seorang berstatus tawanan. Malahan, kaum Muslimin memberikan kepadanya kurma dan susu dengan kualitas bagus, seperti yang biasa dimakannya di kota asalnya. Bedanya, kini ia mengonsumsi itu semua dengan tangan terikat. Seorang sahabat Nabi SAW menyuapinya setiap tiba waktunya makan.

Selama beberapa hari, Tsumamah dikurung di depan masjid. Saat waktu luang, ia memperhatikan bagaimana keadaan penduduk Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Lima kali sehari, seruan datang dari masjid. Lama kelamaan ia menyadari, itulah tanda Muhammad SAW dan para pengikutnya melaksanakan ibadah.

Dari arah masjid, suara beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang sedang menggelar majelis ilmu pun terdengar olehnya. Secara tak langsung, penguasa yang berhati keras itu mulai memahami sedikit tentang Islam.

Secara tak langsung, penguasa yang berhati keras itu mulai memahami sedikit tentang Islam.

Suatu pagi, Rasulullah SAW menemui Tsumamah. “Apa kabar, hai Tsumamah?” sapa beliau dengan ramah.

“Baik, ya Muhammad!,” jawab Tsumamah.

“Jika engkau membunuhku, berarti engkau membunuh orang yang pasti akan dituntut bela kematiannya oleh kaumnya. Jika engkau mengampuniku, engkau mengampuni orang yang tahu terima kasih. Jika engkau minta tebusan, mintalah! Kuberi berapa pun yang engkau mau!,” kata pemimpin Bani Hanifah itu lagi.

Mendengar perkataan Tsumamah, Nabi SAW hanya tersenyum dan berlalu meninggalkannya.

Keesokan harinya, Rasulullah SAW kembali mendatangi Tsumamah. “Apa kabar, wahai Tsumamah?” sapa Rasulullah.

“Tidak ada kabar selain seperti yang sudah kusampaikan kemarin. Jika engkau membunuhku, berarti engkau membunuh orang yang pasti akan dituntut bela kematiannya. Jika engkau mengampuniku, engkau mengampuni orang yang tahu terimah kasih. Jika engkau minta tebusan, mintalah!”

Rasulullah kembali tersenyum seraya berlalu meninggalkan tawanannya itu.

Hari berikutnya, Nabi SAW kembali menemui Tsumamah dan berbicara kepadanya, “Apa kabar, wahai Tsumamah?”

“Baik, ya Rasulullah!” jawab Tsumamah. Orang musyrik itu pun menyampaikan persis seperti dua hari lalu.

Kali ini, Nabi SAW tidak meninggalkannya begitu saja. Beliau menyuruh beberapa sahabatnya untuk membebaskan Tsumamah. “Lepaskan tali yang mengikat tangan Tsumamah. Biarkan ia pergi ke manapun ia suka!”

Tsumamah terkejut dan terheran-heran. Mengapa dirinya dibebaskan begitu saja tanpa dimintai tebusan?

Rasul SAW kemudian memberinya seekor kuda yang kekar dan perbekalan secukupnya. Tsumamah dipersilakan menggunakannya untuk kembali kepada kaumnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun melenggang pergi ke luar Madinah. Namun, belum sampai di kampung halamannya, Tsumamah kemudian berbalik arah. Ia bergegas kembali, menemui Rasul SAW.

Di depan masjid, ia berseru lantang, “Asyhaduan la ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah!”

Kita bisa meneladani akhlak nabi Muhammad saw melalui kisah ini, agaimana beliau memperlakukan raja bani hanifah itu dengan penuh kelembutan. Sehingga ia bisa mendapatkan hidayah untuk memasuki Islam.

Rasulullah saw tidak melawan musuhnya dengan celaan dan menhujat Raja itu. Akhlak beliau inilah yang harusnya kita teladani. Sungguh Rasulullah saw melarang kita untuk saling mencela satu sama lain, apalagi sampai mengeluarkan ucapan-ucapn kotor yang tak pantas diucapkan. muslim dengan muslim lainnya pada hakikatnya kita adlah saudara seagama.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim “ (QS. Al Hujuraat :11)

Larangan ini bersifat umum, mencakup celaan terhadap segala hal. Imam At Thabari rahimahullah menjelaskan, “Allah menyebutkan secara umum larangan untuk mencela orang lain, sehngga larangan ini mencakup seluruh bentuk celaan. Tidak boleh seorang mukmin mencela mukmin yang lain karena kemiskinannya, karena perbuatan dosa yang telah dilakukannya, dan yang lainnya.” (Lihat Jaami’ul Bayan).

Lalu bagaimana dengan mencela pemerintah?

Mencela penguasa di dalam Islām merupakan pelanggaran syariat, dan ini adalah termasuk sesuatu yang dilarang didalam agama kita dan bahkan ini adalah termasuk penghinaan terhadap penguasa sebagaimana yang datang di dalam sebuah hadīts, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang menghina sultan Allāh (menghina seorang sultan/ menghina seorang penguasa/ menghina seorang pemimpin) di bumi, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menghinakan orang tersebut. “

(Hadīts Shahīh riwayat Tirmidzi nomor 2224)

⇒ Menunjukan kepada kita tentang diharāmkannya dan dilarangnya seseorang mencela penguasa.

Kemudian mencela penguasa adalah termasuk benih fitnah dan ini adalah awal dari sebuah kerusakan dan awal terjadinya sesuatu yang lebih besar dari itu yang dinamakan dengan pemberontakan terhadap penguasa.

Mencela seorang penguasa bukan jalan yang benar, untuk mengatasi dan memperbaiki sebuah keadaan, Islām telah mengajarkan umatnya bagaimana mereka memperbaiki keadaan,

→ Memperbaiki keadaan penguasa
→ Memperbaiki keadaan rakyat

Apabila seseorang melihat kesalahan dari seorang penguasa atau pemerintah maka hendaklah dia terlebih dahulu husnudzan, terlebih dahulu dia berbaik sangka kepada pemerintah tersebut.

Kemudian apabila dia ingin menasehati, maka hendaklah dia menasehati dengan baik dan bukan dengan cara yang kasar, demikian pula diusahakan supaya nasehat tersebut adalah nasehat yang rahasia, yang tidak mengetahui kecuali dia dan penguasa tersebut.

Demikian pula diantara adab seorang rakyat, di dalam memperbaiki keadaan penguasa hendaklah dia berdo’a kepada Allāh, berdo’a kepada Allāh dengan do’a yang ikhlās.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memperbaiki penguasa dia.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepadanya.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan ketaqwaan kepadanya.

⇒ Demikianlah seorang Muslim, berdo’a kepada Allāh supaya Allāh memperbaiki penguasa.

Demikian pula memohon kepada Allāh supaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan penguasa tersebut adalah:

√ Penguasa yang lemah lembut terhadap rakyatnya.
√ Menegakan agama Allāh Azza wa jal.

⇒ Bukanlah sikap seorang Muslim yang baik mendo’akan kejelekan kepada seorang penguasa, mendo’akan kejelekan dengan melaknat dia atau mendo’akan supaya dia mendapatkan kehancuran didunia dan juga diakhirat. Tidak!

Inilah yang membedakan antara seorang ahlulsunnah waljama’ah dengan yang lain, mereka senantiasa menjaga ucapan mereka dari mencela penguasa, mencela pemerintah. Karena keumuman firman Allāh Azza wa jal, ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan tentang persaudaraan diantara orang-orang yang berimān.

Selama penguasa (pemerintah) tersebut adalah seorang Muslim maka mereka adalah saudara kita, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

(QS Al Hujurāt: 10)

Dan diantara hak seorang Muslim atas Muslim yang lain dilarang kita saling menghinakan, dilarang kita saling mencela satu dengan yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

“Wahai orang-orang yang berimān, janganlah sebagian kaum menghina sebagian yang lain, mungkin mereka lebih baik daripada mereka”.

(QS Hujurāt: 11)

Seorang Muslim harām atas Muslim yang lain, apanya?

√ Hartanya
√ Darahnya
√ Kehormatannya

Tidak boleh seorang muslim mencela kehormatan muslim yang lain, dan telah datang dari sebagian shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu (sebagian salaf) seperti Anas bin Mālik Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga yang lain, beliau mengatakan:

كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاءِ

“Dahulu para pembesar shahābat nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kami untuk mencela para penguasa.”

(Hadīts Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam At-tamhid)

Ini menunjukan bagaimana sikap para shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum yang mereka adalah panutan kaum Muslimin, bahwasanya mereka melarang kita semua untuk mencela para ‘umara mencela para penguasa kita.

Berdasarkan paparan di atas, sungguh sangat jelas bahwa mencela sesame muslim itu tidak diperbolehkan dan juga mencela pemimpin. Kita sebagai kaum muslim layaknya meneladani apa yang diajarkan oleh baginda kita Nabi Muhammad SAW. Dan menunjukkan akhlak nabi yang mulia. Mencela satu sama lain adalah bukan solusi, itu akan menjadi pengaruh besar padda terpecahnya umat.

https://www.republika.id/posts/11190/akhlak-nabi-mengubah-musuh-jadi-kawan

 https://muslim.or.id/22332-jangan-kau-cela-saudaramu.html

https://bimbinganislam.com/larangan-mencela-pemerintah/

Ikuti tulisan menarik الطالبة ١٥ lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB