x

Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) bersama sejumlah aktivis 98 saat menghadiri Halal bihalal Presiden bersama Aktivis 98, di Jakarta, Ahad, 16 Juni 2019. ANTARA/Aprillio Akbara

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 15 Februari 2021 12:43 WIB

Jokowi dan Kita (1); Si Kerempeng, Sang Media Darling

Saya merespon tulisan wartawan senior Supriyanto Martosuwito di Facebook yang ingin saya beri tanggapan kritis. Reformasi memberi banyak pelajaran yang menyadarkan saya sebagai rakyat, juga sebagai jurnalis, hal-hal yang semoga bisa saya paparkan dalam seri tulisan saya ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
SIAPAKAH Joko Widodo bagi kita rakyat Indonesia? Dia seperti anak yang kita kuliahkan dengan menjual kebun dan sapi. Dengan harapan besar akan jadi sarjana yang cemerlang. Ternyata kemampuannya biasa-biasa saja. Nilainya tiap semester ya rata-rata C saja. Tapi tak apa, kita biayai lagi dia untuk lanjut kuliah S2-nya. Yang penting lulus saja, tak usah bagus-bagus amat nilainya. Asal jangan DO saja.
 
Lalu ada lembaga kaya pemberi bea siswa. Sebutlah namanya Yayasan Oligarki. Joko Widodo tentu saja mengambil kesempatan emas itu. Dia kini lebih banyak bekerja atas arahan dan kepentingan yayasan tersebut. Tentu saja kita kecewa, tapi sekali lagi tak apa, dia tetap anak kita yang kita antar ke gerbang istana, kita bangga pernah mendukung dan memilihnya.
 
Tapi kenapa kita harus jual kebun dan sapi untuk mendukung Joko Widodo? Kita kembali ke 2014. Kita kecewa dengan Presiden SBY dan partainya Partai Demokrat yang bunuh diri politik dengan korupsi kader-kadernya. Alhasil, perolehan suaranya pun anjlok dari 20,4 persen (1999) menjadi hanya 10,19 persen (2014). Itulah hukuman terbaik untuk partai korup. Tinggalkan. Jangan pilih.
 
Partai Demokrat mati kutu. Tak punya moral dan juga suara yang cukup untuk mengusung calon presiden. Meskipun berhasil menggelar konvensi yang antara lain diikuti oleh Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Tak ada juga partai yang mau diajak atau mengajak berkoalisi. Pokoknya mati kutu. Lalu kita harus menjagokan siapa?
 
Sementara itu, ada seorang Prabowo Subianto politikus eks-militer yang berasal dari lingkaran inti Orde Baru yang ambisius. Ia telah mencoba untuk kembali ke pusat ke kuaasaan. Ia mula-mula mencoba lewat konvensi calon presiden Parti Golkar, pada 2004, lolos hingga putaran akhir, lalu kalah dari Wiranto.
 
Pada 2008, Prabowo mengambil jalan lain, ia dirikan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Gerindra menjual romantisme Prabowo dan Orde Baru. Ternyata lumayan laku.
 
Ini kerja politik yang bagus, di Pemilu 2009 partainya meraih 4,46 persen. Cukuplah buat modal bertarung di pilpres. Pada 2009 itu, lewat tawar-menawar yang alot, hingga disepakati Prabowo menjadi wakil untuk calon presiden Megawati Soekarnoputeri. Dokumen perjanjian Batu Tulis memperlihatkan pada kita rakyat Indonesia bagaimana parpol dan politisi mengatur pembagian kuasa bila menang.
 
Lalu pasangan "Mega-Pro" itu kalah. Kekalahan pertama bagi Prabowo. Kekalahan kesekian bagi Megawati, sang pemimpin abadi PDIP itu sudah dipecundangi oleh poros tengah (Amien Rais and the gang pada 1999), kalah dari SBY - menterinya pada 2004, dan kalah lagi di 2009 itu.
 
PDIP dan Megawati, yang merasa sebagai pemilik paling berhak atas reformasi itu, pemenang pemilu berkali-kali itu, harus memperpanjang puasa berkuasa, setelah sedikit kesempatan menggantikan Gus Dur yang dilengserkan.
 
Politik di tahun 2014 adalah resultante dari situasi itu. Ada Megawati yang masih berambisi untuk menjajal lagi menjadi presiden. Ada keyakinan di kalangan PDIP bahwa ambisi itu harus ditahan, karena pasti akan kalah lagi, seperti kekalahan dua kali dari SBY. Ada Prabowo yang makin percaya diri maju karena Gerindra makin dapat dukungan terbukti suaranya naik sangat signifikan menjadi 11,58 persen!
 
Hingga tahun-tahun itu bagi rakyat Indonesia, reformasi adalah harapan perubahan. Dan Orde Baru adalah antitesis yang harus dilawan. Prabowo adalah antitesis dari reformasi. Ia sosok yang lahir dari rahim Orde Baru. Gerakan reformis menyatukan tenaga untuk menahannya, tapi Prabowo sah untuk bertarung di pilres, moralnya sedang bagus, modalnya pun kuat.
 
Siapa yang bisa melawan Prabowo? Jangan sampai Megawati maju lagi. Jangan! Maka dicarilah sosok yang baru, yang beda dari pilihan-pilihan yang ada: bukan militer (dua periode SBY ternyata hanya bisa banyak mengajak rakyat prihatin saja), tidak terkait dengan rezim lama (Prabowo terang-terangan memanfaatkan kerinduan pada stabilitas Orba), tidak berpotensi menjadi otoriter (Prabowo tak menutupi watak militernya, dan dia tak bisa mengelak dari rangkaian peristiwa Reformasi 1998 yang membuat dia diberhentikan dari militer), punya jejak politik yang bersih.
 
Joko Widodo sedang beruntung, momentumnya bagus. Dua periode di Solo sebagai wali kota, lalu baru saja (2012) menang di kontestasi pilgub Jakarta. Digembar-gemborkanlah apa yang disebut "Efek Jokowi". Apa itu? Kalau PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai capres sebelum Pilres 2014, maka suara PDIP akan bisa mencapai 26 persen. Mendekati perolehan suara PDIP di 1999 (33 persen). Di pilpres 2009, suara PDIP hanya 14 persen, turun berturut-turut dalam dua kali pemilu. Di Pilpres 2004 PDIP dapat 18 persen, (dikalahkan Golkar, musuh politik bebuyutan PDIP itu)
 
Kekuatiran pada kembalinya kekuatan Orde Baru lewat Prabowo membuat mayoritas rakyat Indonesia seakan tersatukan. Pers, ormas, kelompok-kelompok sipil nonparpol, satu suara mengusung Joko Widodo. Jokowi adalah kita, menjadi jargon yang merdu.
 
Lalu kita ingat, didampingi Puan Maharani, Megawati mengumumkan pencalonan Joko Widodo, dengan mata sembab dan satu frasa terkenal "petugas partai". "Pak Jokowi sampeyan ta' jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," kata Megawati di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada suatu hari di tahun 2014 itu.
 
Kenapa Joko Widodo? Megawati teryakinkan oleh popularitas si kerempeng. "Kenapa sih si kerempeng Jokowi namanya sangat terkenal? Sampai puncak gunung Papua sana kenal? Itu karena dia memang rajin mengunjungi rakyatnya, sama media difoto, diliput, jadi dia populer. Tapi dia tidak pernah mencari nama. Saya tahu dia orangnya tidak begitu. Saya kenal dia, dari saat di Solo juga memang sudah begitu orangnya," kata Megawati.
 
Ya, si kerempeng adalah media darling. Dia besar dan ikut dibesarkan oleh media.(bersambung)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler