x

ilustr: Sinode GKJ

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Maret 2021 22:10 WIB

Akankah Elite Mewariskan Politik Tanpa Etika?

Salah satu tanggung jawab elite politik ialah menunjukkan praktik etis dalam berpolitik. Kita tidak cukup hanya mempunyai DPR, partai politik yang banyak, maupun menyelenggarakan pemilu berulang kali dan kemudian mengatakan negara kita demokratis. Semua itu akan berdiri di atas fondasi yang rapuh bila kita tidak membangun etika berpolitik sebagaimana dikatakan Bung Hatta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kekuasaan memang sangat menggoda, penuh daya pikat, dan membius mereka yang terpesona tanpa sikap waspada. Mereka yang sudah masuk ke dalam kekuasaan cenderung ingin menikmati segala hal yang ada di dalamnya. Sebutlah kehormatan di mata manusia lainnya, kemegahan, fasilitas dan kemudahan, bahkan banyak juga yang menikmati rasa takut rakyatnya.

Semakin lama berada di dalam kekuasaan, sang penikmat semakin menginginkan lebih banyak lagi kenikmatan. Ibarat santap malam, penikmatnya tidak kunjung kenyang, ingin lebih banyak, ingin lebih lezat dan nikmat, dan ingin lebih sering mencapai puncak kuasa. Bahkan, andaikan langit lapis ketujuh bisa dicapai, ia akan mendaki dengan cara apapun agar sampai ke sana. Mereka akan melakukan apa saja yang bisa dilakukan asalkan itu mengantarkan mereka pada kenikmatan kuasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenikmatan kuasa itu membuai, sehingga penikmatnya tidak merasa ada yang keliru dalam setiap hal yang ia lakukan. Para pembantunya, para penyokongnya, para pendukungnya, bahkan juga para pendompleng kenikmatan kuasa, akan menyampaikan bisikan-bisikan yang semakin membuai. Tak ada yang mengingatkan tentang kekeliruan keputusannya, keburukan kebijakannya, maupun sepak terjangnya, sehingga penikmat kuasa semakin terlena.

Mereka semua menjadi penikmat kuasa yang tidak lagi peduli pada etika dan nilai-nilai yang membuat manusia itu disebut manusia. Mereka bukan lupa pada etika, tapi memang tidak menghiraukannya. Ini perkara kekuasaan, bukan filsafat, khususnya etika dan moral; begitu kata mereka. Mereka akan berusaha menguasai apapun yang bisa dikuasai.

Di abad ke-15, Niccolo Machiavelli (1469-1527) menulis bahwa tidak ada hubungan antara kuasa dan moral, dan tidak ada hubungan antara politik dan etika. Namun, negeri ini dibangun bukan di atas filsafat Machiavelian, melainkan di atas apa yang oleh Bung Karno dinamai Pancasila. Dengan menerima nilai-nilai Pancasila, menurut Franz Magnis-Suseno, bangsa Indonesia sudah menerima adanya hubungan antara kuasa dan moral. Di dalamnya terdapat nilai moral ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, permufakatan, dan keadilan sosial—dan inilah landasan berpolitik dalam konteks Indonesia. Karena itu, upaya mempertahankan kekuasaan dan aktivitas berpolitik pun harus tetap menjunjung nilai-nilai moralitas.

Bagi negarawan sekelas Bung Hatta, moralitas dalam politik bukanlah sesuatu yang absurd, melainkan kebutuhan objektif. Moralitas bahkan menjadi prinsip dasar perjuangan politik Bung Hatta, sehingga bagi Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden bukanlah kemustahilan karena nilai-nilai moralitas yang ia pegang tidak lagi mampu memberi toleransi pada penyalahgunaan kekuasaan dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Sila pertama Pancasila, menurut Bung Hatta, merupakan dasar moral yang paling kuat dalam menopang politik bernegara. Tulis Bung Hatta: “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.” Menurut Bung Hatta, sila pertama ini bukan sekedar ihwal saling menghormati agama masing-masing, melainkan juga dasar bagi tindakan keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Itulah yang akan membentuk manusia berintegritas tinggi, jujur, dan bertanggungjawab kepada masyarakat.

Dalam konteks sekarang, salah satu tugas dan kewajiban elite politik dan pejabat publik ialah menunjukkan praktik etis dalam berpolitik. Kita tidak cukup hanya mempunyai DPR, partai politik yang banyak, maupun menyelenggarakan pemilu berulang kali dan kemudian mengatakan bahwa kita negara yang demokratis. Semua itu akan berdiri di atas fondasi yang rapuh bila kita tidak membangun etika berpolitik sebagaimana dikatakan oleh Bung Hatta.

Bagaimana demokrasi yang sehat akan terbangun apabila defisit moralitas dan etika berpolitik kita biarkan dan tidak coba kita hentikan? Politisi dan elite politik seyogyanya memahami bahwa membangun kultur politik yang bermartabat dan etis merupakan tanggungjawab dan kewajiban mereka. Kultur politik yang bermartabat dan berdiri di atas nilai-nilai etika itulah yang mestinya diwariskan kepada generasi mendatang, dan bukan mewariskan yang sebaliknya: politik nir-etika. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu