x

Iklan

Puji Handoko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2020

Minggu, 2 Mei 2021 07:11 WIB

Memanfaatkan Anugerah Luar Biasa dengan Meloloskan Regulasi yang Ramah bagi Perusahaan Negara

Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengakui ada permasalahan teknis dan komersial dari pemanfaatan panas bumi ini. Beberapa proyek panas bumi dengan tarif listrik yang sudah ditetapkan dalam proses lelang dinilai tidak lagi ekonomis setelah dilakukannya proses eksplorasi dan ditemukannya cadangan panas bumi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Fakta yang tak terbantahkan jika Indonesia kaya sumber panas bumi, namun pemanfaatannya sama sekali belum optimal. Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) kompak mengungkapkan tarif listrik panas bumi menjadi penyebab belum tergarapnya potensi energi panas bumi di Tanah Air. Persoalan tarif inilah yang membuat panas bumi kurang seksi untuk dilirik.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat (AS) yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW. Tapi sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih belum optimal, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.

 

Kabar baiknya, Pemerintah sedang merancang peraturan terkait harga listrik energi baru terbarukan (EBT), termasuk tarif listrik panas bumi, guna memperbaiki isu tarif yang telah diatur saat ini. Peraturan terkait harga listrik EBT, termasuk tarif listrik panas bumi, ini berupa Peraturan Presiden (Perpres). Saat ini Rancangan Perpres tersebut masih ada di Kementerian Keuangan untuk dikaji ulang.

 

"Perpres EBT masih di Kementerian Keuangan, masih di-review," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, Rabu 28 April 2021.

 

Tarif listrik panas bumi yang akan diatur di Perpres itu berupa harga patokan tertinggi (ceiling price) dengan dibagi ke dalam dua tahap, yakni 10 tahun pertama harga listrik akan mempertimbangkan faktor lokasi, dan pada tahap kedua setelah 10 tahun pertama sejak beroperasi, tarif listrik akan turun.

 

"Harga geothermal menggunakan ceiling price, harga dibagi dua tahap. Sepuluh tahun pertama mempertimbangkan faktor lokasi," jelas Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris.

 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga patokan tertinggi pada tahap pertama atau 10 tahun pertama PLTP ini berlaku untuk semua kapasitas dengan mempertimbangkan faktor lokasi. Faktor lokasi maksudnya mempertimbangkan tingkat kesulitan implementasi proyek berdasarkan wilayah. Selain itu, ketentuan harga pembelian tenaga listrik akan dievaluasi paling lama tiga tahun.

 

Adapun aturan terkait harga listrik panas bumi saat ini masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No.50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Berdasarkan regulasi tersebut, tarif listrik panas bumi yang dibeli PLN dikaitkan dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di lokasi setempat. Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

 

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengakui ada permasalahan teknis dan komersial dari pemanfaatan panas bumi ini. Beberapa proyek panas bumi dengan tarif listrik yang sudah ditetapkan dalam proses lelang dinilai tidak lagi ekonomis setelah dilakukannya proses eksplorasi dan ditemukannya cadangan panas bumi.

 

Oleh karena itu, pihaknya juga berupaya menyelesaikan isu ini dengan bantuan dari pemerintah, agar keekonomian proyek tetap terjaga dan tidak merugikan pihak lainnya.

 

"Kita selesaikan permasalahan komersial, yakni di mana ada beberapa proyek dari panas bumi nggak ekonomis. Untuk itu, kita minta ada bantuan pemerintah, sehingga tarif dan keekonomian bisa dijaga," tuturnya dalam acara CNBC Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin 26 April 2021.

 

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam proses lelang wilayah kerja panas bumi di masa lalu, harga listrik yang paling murah akan ditunjuk sebagai pemenang. Namun, begitu dilakukan sebuah perencanaan, mulai dari eksplorasi dan lainnya, ternyata harga lelang tersebut terlalu murah.

 

"Memang di dalam proses lelang di dulu masa lalu itu the lowest price winning, harga terendah yang jadi pemenangnya. Begitu dilakukan suatu perencanaan, eksplorasi dan lainnya, waduh ternyata harga yang dilelang kemurahan," ungkapnya.

 

Dampaknya, keekonomian proyek menjadi kurang bagus dan tak jarang proyek menjadi mangkrak. Pihaknya saat ini sedang mencoba mencari solusi untuk Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi yang sudah dilelang 10-15 tahun lalu itu.

 

"Ini semua sedang kita petakan, ini perjalanan bagaimana WKP dilelang sudah 10-15 tahun lalu nggak jalan-jalan, karena komersial jadi kurang bagus," paparnya.

 

Upaya untuk mengoptimalkan panas bumi harus didukung segenap pihak, terutama oleh pemerintah dalam hal membuat regulasi yang tidak membuat PLN sesak napas. Dengan adanya regulasi yang ramah itu, potensi pemanfaat panas bumi yang demikian bisar bisa dilakukan. Hal itu tentu saja sebagai upaya untuk tidak menyia-nyiakan anugerah yang demikian besar pada Indonesia, dan agar bisa digunakan untuk kepentingan orang banyak.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Puji Handoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler