x

Bendera bergambar Che Guevara. Wikipedia

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 15 Juni 2021 15:06 WIB

Euro 2020 dan Copa America, Simpati pada Perlawanan Tim Tertindas

Sampai kemenangan abadi nanti. Hasta la victoria siempre! Setiap turnamen sepak bola pentng digelar, seperti Euro 2021 dan Copa America kali ini, saya mesti bersiap-siap dicekoki mantra itu oleh kawan saya. Dia begitu memuja Che Guevara, pencetus semboyan itu. Che, lahir di kota yang sama dengan Lionel Messi, juga pernah melatih sebuah tim kecil di Latecia, Kolombia. Perlawanan dimulai!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai kemenangan abadi nanti. Hasta la victoria siempre! Setiap turnamen sepak bola pentng digelar, seperti Euro 2021 dan Copa America kali ini, saya mesti bersiap-siap dicekoki mantra itu oleh kawan saya. Dia begitu memuja Che Guevara, pencetus semboyan itu, sekaligus pendukung fanatik tim-tim kecil di setiap turnamen bal-balan.

 

Dia pernah mengatakan, tim-tim pupuk bawang itu adalah serupa pejuang yang tengah menentang kemapanan kesebelasan besar. Mereka kebanyakan berasal dari negara yang terpinggirkan dalam percaturan ekonomi global, dan sepak bola membuka peluang mengatrol harga diri. Saya berfikir, ah, sang kawan ini masih saja terpesona pada teori-teori ketergantungan, yang pernah marak diimani kalangan aktivis mahasiswa pada dekade 80-an silam.

Tapi ceramahnya belum selesai. Dan mulailah ia mengaitkan romantisme perlawanannya  itu kepada Che Guevara. Inilah sosok anti penindasan yang mengobarkan perlawanan di seantero bumi Amerika Latin. Che yang juga mencanangkan bahwa revolusi tak akan pernah usai sebelum seluruh Amerika Latin bebas dari cengekeraman kaum imperialis.

Dan, bukan kebetulan, Che Guevara adalah pecinta dan pemain bola yang rajin. Lelaki kelahiran kota Rosarrio (juga tempat kelahiran Lionel Messi) itu pernah melatih sebuah kesebelasan di Latecia (Kolombia). Ia juga melatih kaum kuli di Peru. Dia pula yang menginisiasi pertandingan antara penderita lepra dan non-lepra di negara itu.

Dalam petualangan bersepeda motor blusukan ke penjuru Amerika Latin, sepak bola adalah salah satu alat komunikasinya dengan warga lokal. “Sepakbola adalah senjatanya revolusi,” kata kawan mengutip fatwa tokoh idolanya.

Saya mencoba memahami jalan fikirannya, juga semangatnya yang menggebu itu. Jadi, ia mengidentifikasi dukungnnya pada kesebelasan underdog, sebagai wujud semangat perlawanan yang pernah digelorakan Che Guevara. Sebuah ghirah tak henti untuk mengikis kekuatan mapan yang terus mendominasi peta sepakbola dunia.  Hasta la victoria siempre! Hanya satu kata: Lawan!

Saya kagum dengan semangatnya itu. Sebab, belum pernah sekalipun tim kacangan mampu menjadi kampiun di Piala Dunia. Di Piala Eropa, ada satu tim kategori ini yang pernah mengangkangi tim-tima besar, yakni Yunani. Tetapi temanku terus berjuang. Ia tak henti memberikan yel-yel pada tim-tim pinggiran. Ia akan berdebat dengan siapa saja dengan bekal argumentasi setebal jenggot Guevara.

Dan ketabahannya tak sia-sia. Dalam hampir setiap Piala dunia, selalu ada kejutan yang berhasil dicetak tim semenjana. Pada Piala Dunia 1982, adalah Aljazair yang berhasil memberikan kebanggaan bagi rakyat dunia ketiga. Di babak grup mereka sukses mempermalukan Jerman Barat 2-1, dan Chili 3-2. Rabah Majer, kapten tim Aljazir menjadi sensasi yang membuat Piala Dunia kian berwarna. Aljazir gagal maju ke babak berikutnya, karena kalah selisih gol.

Empat tahun kemudian giliran Ghana mengobrak-abrik  kemapanan tim atas. Mereka berhasil menjuarai babak grup setelah menundukan Portugal 3-2, lalu menahan imbang Inggris dan Polandia. Di babak kedua, Ghana takluk 0-1 oleh Jerman Barat.

Aksi tim kecil belum berakhir. Wakil Asia, Saudi Arabia, pernah membuat mata dunia menoleh. Pada 1994 mereka berhasil lolos ke babak kedua dengan menghempaskan Maroko dan Belgia. Langkah mereka dihentikan Swedia di babak kedua.

Masih banyak cerita perlawanan lain. Beberapa diantaranya: Korea Utara pada 1966  yang berpetualang hingga perempat final, Kamerun (1990) sampai perempatfinal, Kroasia (1998) ke babak kedua, Sanegal (2002) yang nyaris meringsek ke semifinal, dan tentu saja Korea Selatan (2002) bertahan hingga semifinal.

Ah, berondongan data itu mulai menggoda saya. Sepertinya asyik juga melakukan hal yang berbeda dengan cara mendukung tim non-unggulan di Euro 2021 dan Copa America kini. Memang, apa istimewanya menjagoi tim besar yang hampir pasti menang melawan kesebelasan “wong cilik”? Dan, aduh, saya mulai kercunan gagasan si kawan, bahwa berada di barisan pro tim kecil akan kian bermakna jika dibumbui semangat anti kemapanan ala Che Guevara!

Saya meneliti daftar tim “tertindas” dalam Euro 2021 ini dan juga di Copa America. Di Copa ada Bolivia (grup A) yang secara statistik kurang menonjol di banding rivalnya, yakni Argentina, Chili, dan Paraguay. Main di grup yang sama, tentu kelak Bolivia akan bertarung melawan Argentina.  Wah, padahal Argentina adalah tim favorit sejak 1978 lampau. Ini dilema, tentu. Lagipula, Argentina adalah negara tempat kelahiran Che Guevara. Dilema pun menerjang.

Saya mencari sang kawan untuk minta pertimbangan. Tapi entah kemana dia kabur tadi...

 

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler