Mengenal Keunikan Budaya Jawa yang Selaras dengan Ajaran Agama

Selasa, 14 September 2021 07:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para leluhur kita dahulu menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan mengemas beberapa tradisi dalam kehidupan masyarakat dengan makna yang tersirat (sanepo). Hal itu terlihat dari beragam ritual tradisi, hingga dalam pranata sosial seperti hukum waris. Anda pernah mendengar "aturan" seperti segendhong-sepikul?

oleh: M. Nur Kholis Al Amin

Di era dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi seperti sekarang, jamak orang menyebutnya era modern atau kekinian, jika tidak mengikuti zaman artinya gak gaul, gaptek, kuper, kolot dan macam-macam sebutan lainnya. Pasti, tetep ada sisi positif dari era modern. Namun, ada juga dampak negatifnya. Saking asiknya terbuai kemoderenan, bisa membuat lupa dampak negatif tersebut.

Memangnya apa, sih, dampak negatif akibat yang semakin progresif? Sebagian besar budaya adat yang telah diajarkan leluhur bisa semakin terlupakan. Bahkan sejarahpun enggan mencatat, ataupun mengarsipkannya.

Sahabat semua yang asli Jawa pasti tau, atau minimal pernah mendengar dari saksi hidup yang dulu bercengkerama ala era tahun 90-an, saat masih seusia Sekolah Dasar suka bermain tembak-tembakan terbuat dari pelepah daun pisang. Ada juga yang bermain ketapel terbuat dari perpaduan bungkus permen dengan karet. Alhasil, jadilah tembak-tembakan ala ketapel dengan peluru dari biji-bijian, bisa kacang, kedelai, ataupun biji pohon tetehan. '

Lalu permainan lain yang ngetren saat itu, antara lain, permaianan kelereng, dan gambaran. Kebanyakan permainan melibatkan banyak anggota teman-teman sehingga kental nuansa sosial. Barangkali Karenabelum ada gadget. Uniknya, saat anak-anak sedang terbuai permainan, di luar jam sekolah, kalau bertemu guru maka timbul rasa malu-malu. Bahkan takut, juga. 

Kebiasaan lain ketika saat bersepeda dan melewat di depan orang sepuh, anak-anak tidak enggan turun dan menuntun sepedanya. Itu dilakukan untuk sekedar menghormati mereka yang lebih sepuh tersebut. Biasnaya sambil berucap say hallo-nya anak zaman dulu: Kulo nuwun, dherek langkung, atau nuwun sewu. Budaya unik seperti itu kemana, ya, sekarang? Tergerus oleh zaman ataukah sejarah dengan tidak sengaja telah melupakannya?

Dari sisi agama pun, tradisi yang berupa ritual terkadang divonis sebagai perbuatan bidah. Dan setiap bidah itu dhalalah. Lalu ketika sudah dhalalah itu kembalinya ke neraka. Please dong, tidak  semua tradisi yang berbau ritual atau bahasa di dalam Islamnya dikenal dengan “ibadah” itu dhalalah. Di dalam tradisi Jawa, para leluhur kita yang dahulu telah menyebarkan Islam di tanah Jawa mengemas beberapa tradisi yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat dengan penuh syarat makna tersirat (sanepo).

Misalnya, ritual yang menggunakan ingkung (masakan ayam dengan tanpa memisah-misahkan anggota tubuhnya). Ada makna dibalik penamaan dan tata cara dari memasak ingkung. Ingkung mempunyai arti ilengo karo Pengeran kang Maha Agung, kowe besok bakale di telikung, mula aja kumalungkung. Kalimat itu artinya: Ingatlah kepada Allah yang Maha Agung, kamu kelak akan dibalut dan diikat dengan kain kafan, maka janganlah kamu sombong.

Tradisi lain terlihat dengan adanya gapura di setiap setiap desa. Kata gapura diambil dari bahasa Arab ghafuuran yang memiliki makna ketika seseorang masuk melalui gapura tersebut akan diampunilah dosa-dosanya oleh Allah Zat Yang Maha Pengampun.

Hal ini juga mempunyai hubungan sangat kental dengan tradisi sekaten, diambil dari bahasa syahadatain yakni ritual yang harus dilakukan oleh setiap muslim dengan bersyahadat atau mengucapkan dua kalimat syahadat agar dosa-dosanya diampuni oleh yang Allah Maha Agung.

Dalam tradisi hukum warisan pun masyarakat Jawa membuat beberapa aturan kewarisan yang mudah untuk dimengerti dan dipraktikkan dalam pembagiannya. Semisal lahirnya adagium segendong lan sepikul. Gendong adalah hanya disatu sisi saja sedangkan mikul itu dalam dua sisi (depan dan belakang) yakni bagian satu dan dua. Satu bagi anak perempuan dan dua bagi anak laki-laki (1:2) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Q.S An-Nisa (4); 176; falidzdzakari mitslu hadhdhi al-untsayaini. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)—yang merupakan sebagian dari hukum materiil Peradilan Agama merumuskan bahwa bagian harta waris anak perempuan apabila bersamaan dengan anak laki-laki adalah satu banding dua.

Pembagian harta waris dalam realita masyarakat adat Jawa cenderung menjunjung arti pentingnya musyawarah mufakat, sehingga dalam pembagian harta waris pun dikenalkan dengan asas kekeluargaan dalam kewarisan. Harta kewarisan tersebut dapat dibagi berdasarkan kesepakatan antar ahli waris. Setelah mengetahui bagiannya masing-masing, yang dalam KHI, kemudian terumuskan pada Pasal 183.

Keunikan lainnya adalah penamaan alat-alat keseharian yang digunakan oleh masyarakat Nusantara. Pada saat itu sebagai masyarakat agraris yang cenderung memenuhi kebutuhannya dengan cara bertani, salah satu alat tersebut adalah pacul (bahasa Indonesia; Cangkul). Di mana pada dasarnya cangkul terdapat tiga bagian utamanya, yakni: 1. Pacul; bagian yang tajam untuk mengolah lahan pertanian, 2. Bawak; lingkaran tempat batang doran, dan 3). Doran; batang jkayu untuk pegangan cangkul. Ketiga bagian tersebut harus bersatu untuk dapat digunakan oleh petani, di mana dari masing-masing dari bagian tersebut memiliki arti masing-masing. Pacul mewakili arti ngipatake barang kang muncul, maksudnya adalah menyingkirkan bagian yang tidak rata, yang arti lebih jauhnya adalah manusia harus menyingkirkan sifat-sifat yang tidak rata, seperti berlebih-lebihan, egois, cepat marah, mau menang sendiri dan sifat-sifat jelek yang lainnya.

Sedangkan bawak memiliki arti obahing awak atau gerak tubuh, yang maksudnya adalah manusia dalam kehidupannya diwajibkan untuk berikhtiar mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu diiringi pula dengan nyembah maring Gusti ing sekabehane kahanan (menyembah Tuhan dimanapun kita berada). Inilah potret arti ikhtiar yang sebenarnya. Yang ketiga adalah doran (ojo adoh maring Pengeran), yakni jangan menjauhi Tuhan.

Karena suatu keunikan dari sebuah tradisi dan adat budaya dalam suatu masyarakat tertentu, maka dalam perkembangannya hukum Islam pun menelurkan salah satu kaidah fikih yang terkait dengan adat, yakni kaidah al-adatu al-muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa dijadikan suatu hukum). Tentunya adat-adat kebiasaan yang syarat dengan nilai-nilai positif (baik).

Demikian sekelumit budaya dan tradisi Jawa yang mempunyai keunikan. Semoga sejarah tidak melupakannya. Semoga tradisi yang unik tersebut bisa menjadi tutur tinular, yakni sebagai pitutur, wejangan ataupun nasihat yang mampu menular (memberikan dampak) positif bagi masyarakat Nusantara. Amin

Bagikan Artikel Ini
img-content
M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

RidhoMu-Ya Rabbi

Minggu, 8 Oktober 2023 08:11 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler