x

Kiefer Shuterland sebagai Tom Kirkman dalam serial Designated Survivor. Foto: designated-survivor.fandom.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 21 Oktober 2021 11:02 WIB

Pelajaran Kepemimpinan dari Tom Kirkman

Kepemimpinan bukanlah perkara menjadi presiden, menteri, gubernur, ketua parlemen, atau jabatan-jabatan lain, melainkan perkara nilai dan prinsip baik yang diyakini, dipegang teguh, serta diperjuangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Apakah aku layak jadi presiden?”

--Tom Kirkman dalam Designated Survivor

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam sebuah adegan serial drama politik Netflix, Designated Survivor, Presiden Tom Kirkman mengaku kepada adik iparnya bahwa ia kerap sulit tidur malam karena ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya: “Apakah aku layak menjadi presiden?” Menyusul peristiwa peledakan Gedung Capitol, Tom—yang semula Menteri Pekerjaan Umum—disumpah menjadi Presiden AS, sebab ia satu-satunya orang dalam kabinet yang masih hidup. Ia tidak punya pilihan kecuali menerima amanah konstitusi.

Menghadapi tudingan bahwa ia lemah serta beragam intrik yang menyerang dari berbagai penjuru, Tom berusaha keras untuk mempertahankan nilai dan prinsip yang ia yakini. Ia tidak mau menjadi politisi layaknya elite penghuni Washington, DC. Ia tidak mau memanfaatkan kelemahan dan kesalahan lawan politik demi keuntungan dirinya. Tom tak ingin menjadi orang yang berbeda dalam nilai dan prinsip hanya karena ia telah menduduki jabatan tertinggi.

Memegang teguh nilai dan prinsip baik yang diyakini, itulah yang menjadi pedoman pemimpin tangguh di manapun, yang mengabdi kepada orang-orang yang dipimpinnya, yang menempatkan tugas melayani rakyat di atas kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Desakan, kritik, intrik, hingga rayuan tidak hanya datang dari lawan politik, tapi datang pula dari sekutu politik, termasuk orang-orang dekat yang membantu presiden.

Di saat semua itu menerpa pemimpin, kapan saja dan di mana saja, di saat situasi krisis maupun tenang, maka nilai dan prinsip itu yang akan menyelamatkannya dari kegagalan sebagai pemimpin. Godaan untuk menikmati kekuasaan, secara sadar maupun tidak, akan selalu menyertai detik per detik, sebab banyak orang ingin ikut menikmati kekuasaan dengan memberi masukan yang mungkin malah menjerumuskan si pemimpin.

Betapapun sibuknya, pemimpin tidak boleh berdalih sibuk karena ingin menghindari suatu urusan, kecuali ia telah mendalami bahwa urusan itu bisa diserahkan kepada orang lain. Pemimpin tidak layak mengelak dengan berkata bahwa jangan setiap urusan diserahkan kepada saya, kecuali ia telah memeriksa bahwa urusan itu bisa didelegasikan karena tidak menyimpang dari nilai dan prinsipnya.

Ketika sebuah urusan yang terlihat sepele namun dalam penilaiannya telah melanggar nilai dan prinsip yang ia yakini, maka ia wajib terlibat di dalamnya. Ia tidak patut menutup mata dan telinga seolah-olah tidak tahu apa-apa. Ia tidak layak berdiam diri, mengelak dan berdalih, apa lagi membiarkan. Dengan bersikap diam, mengelak, dan membiarkan, ia telah melanggar nilai dan prinsip yang ia yakini. Ia telah menggerogoti integritas kepemimpinannya sendiri.

Boleh jadi, pemimpin melakukan pembiaran karena ia memperoleh keuntungan dari urusan itu, sementara tangannya terlihat masih tetap bersih karena orang lain yang menanganinya. Sebagai pemimpin, ia telah mengingkari nilai dan prinsip yang semula ia yakini sembari melupakan bahwa nilai dan prinsip itulah sesungguhnya yang menjadikannya pemimpin bagi rakyatnya, bukan pengabdi kekuasaan. Seorang pemimpin yang peka akan tergerak manakala melihat hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan prinsip yang ia yakini, bukan malah membiarkannya.

Kekuasaan hanyalah sarana, alat, instrumen untuk mewujudkan cita-cita baik kemanusiaan, dengan nilai dan prinsip baik sebagai rambu-rambu yang memandu pemimpin untuk mewujudkan cita-cita itu. Hanya dengan berpegang pada nilai dan prinsip yang baik, kekuasaan akan memiliki makna bagi kemanusiaan. Jika nilai dan prinsip baik itu dikubur, maka kepemimpinan hanya akan jadi pengabdi kekuasaan yang terus-menerus haus dan lapar.

Kepemimpinan bukanlah perkara menjadi presiden, menteri, gubernur, ketua parlemen, atau jabatan-jabatan lain, melainkan perkara nilai dan prinsip baik yang diyakini, dipegang teguh, serta diperjuangkan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler