x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Selasa, 9 November 2021 06:16 WIB

I Gede Andika Wira Teja: Membuka Jendela Literasi Negeri

Dalam dekade terakhir, generasi Z mendapat perhatian besar di banyak negara, termasuk Indonesia. Generasi ini terlahir dengan gaya hidup yang sudah akrab bersama keajaiban teknologi usai kelahiran internet di tahun 1990. Pantas jika ada yang menyebut bahwa Generasi Z adalah masa depan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bangga rasanya jika tumpuan bangsa di generasi itu telah mengambil porsinya dalam mencerdaskan bangsa dengan berbagai gerakan kreatif. Seperti halnya I Gede Andika Wira Teja atau Dika (23) yang melakukan berbagai aksi edukatif untuk memajukan bangsa sekaligus merekatkan persatuan.

Semangatnya menyuarakan pendidikan dan literasi di daerah pinggiran, dinilai sama lantangnya seperti Sumpah Pemuda zaman dulu. Bagi pemuda Buleleng kelahiran 21 April 1998 ini, Sumpah Pemuda adalah refleksi. Usia yang tidak seharusnya dibiarkan berlalu begitu saja tanpa karya. Karena ini kesempatan yang paling baik untuk mewujudkan "apa yang bisa kita lakukan."

Terlebih Indonesia akan mengalami bonus demografi di tahun 2030. Diperkirakan, saat itu usia produktif di Indonesia akan mencapai 60-70 % dari total penduduk. Titik ini menjadi peluang besar bagi sebuah negara untuk meningkatkan performa di berbagai bidang. Karenanya Dika berpikir, inilah saatnya mengambil peran sesuai kemampuan dan ketertarikan dalam bidang yang ditekuni.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Sumpah Pemuda itu menjadi sumpah bersama bagi setiap pemuda untuk terus bergerak nyata demi kemajuan bangsa. Usia muda, waktunya berkarya, berbagi, menginspirasi, dan menunjukkan dedikasi nyata. Bergerak bersama untuk membangun bangsa,” ucapnya.

 

Kreasi Edukasi di Era Pandemi

Tanpa ragu, ia mengambil porsi untuk pembangunan pendidikan dan literasi, khususnya untuk wilayah pinggiran. Ia melakukan gerakan kecil namun membawa dampak perubahan signifikan dalam jangka panjang. Dika menyebutnya gerakan “Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan”. Aksi ini dilakukannya di Desa Pemuteran, Gerograk Kabupaten Buleleng, Bali Utara.

Gerakan ini muncul tidak lain karena adanya kondisi pembelajaran dalam jaringan (daring) yang terbatas akibat pandemi Covid-19. Kondisi ini sempat berdampak kurang maksimal bagi dunia pendidikan, terutama bagi siswa yang lokasi tempat tinggalnya memiliki keterbatasan akses internet. “Strategi pembelajaran jarak jauh sebagai solusi pencegahan penyebaran virus Covid-19 tetap memiliki risiko. Tidak semua anak siap untuk mengikuti kelas daring dengan beberapa kondisi yang ada di wilayahnya,” jelas Dika.

Saat daring, beberapa siswa di Desa Pemuteran mengalami kesulitan memahami materi sekolah. Belum lagi kebutuhan koneksi internet yang terbilang cukup mahal dan fasilitas pendukung yang tidak dimiliki oleh siswa. Semangat revolusi mental di hati Dika, terbit bagai lentera di tengah para siswa itu.

Dika dengan segera melakukan perencanaan gerakan edukasi pada Maret 2020, dan direalisasikan pertama kali pada Mei 2020 untuk merespon dampak pandemi yang semakin dirasakan sulit bagi warga sekitar. Tujuannya saat itu adalah mengajak anak-anak untuk tetap melakukan aktivitas positif di tengah tekanan yang mereka rasakan secara tidak langsung.

“Banyak siswa yang kurang terbiasa belajar daring, orangtuanya juga kurang mampu mengarahkan siswa untuk mengikuti proses belajar daring karena minimnya pengetahuan, penguasaan teknologi dan juga keterbatasan media belajar,” tutur Dika.

Untuk menjamin keberlangsungan belajar siswa di tengah pandemi, ia pun akhirnya membuat kelas luar jaringan (luring) yang dimulai dari belajar bahasa Inggris. Karena ilmu ini, menurutnya sangat dibutuhkan oleh generasi muda di desa tersebut.

Sejak virus Covid-19 masuk ke Indonesia, dampak bagi perekonomian masyarakat Desa Pemuteran sangat terasa, khususnya menengah ke bawah. Kondisi ini memaksa setiap keluarga harus memikirkan kebutuhan primer berupa pangan terlebih dahulu, daripada memfasilitasi anak-anak untuk ikut belajar daring. Apalagi menyediakan kebutuhan gawai atau laptop.

“Kemampuan orangtua untuk memenuhi kebutuhan anaknya dalam belajar online dan siswa, sangat terbatas di Desa Pemuteran. Selain merasa sulit karena masalah kuota yang mahal, juga tidak semua memiliki gawai pendukung. Hal ini membuat banyak anak akhirnya tidak bisa ikut belajar online dari rumah,” ujar Dika.

Kekhawatiran pada keberlangsungan proses belajar siswa dengan keterbatasan yang dimilikinya itu, menjadi alasan yang mendorong Dika untuk melakukan kelas luring khususnya Bahasa Inggris. Ini karena wilayah Desa Pemuteran masuk sebagai desa pariwisata sehingga menjadi modal bagi warga kelak saat pandemi berlalu dan mudah untuk menarik minat siswa dalam belajar bahasa.

Langkah awalnya dilakukan dengan mendatangi pihak desa. Dika memaparkan niatnya dan meyakinkan pihak desa untuk bekerja sama membangun kelas les bahasa Inggris. Kepada pihak desa Dika memberi pemahaman bahwa kegiatan semacam ini sangat perlu dilakukan di Bali. Terutama untuk kawasan marginal, pinggiran, dan wilayah pelosok. Ia menuturkan, pembangunan dari pinggiran perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak dalam upaya peningkatan modal insani, pengurangan kemiskinan, hingga pengurangan ketimpangan.

“Literasi adalah langkah awal dan merupakan pondasi bagi proses pendidikan, sehingga penting sekali siswa tidak hanya mampu mengetahui apa yang dipelajarinya, melainkan memiliki motivasi untuk mengimplementasikan bahkan membagikannya kepada orang lain,” ungkapnya.

Bagi Dika, edukasi dan literasi adalah satu paket penting untuk meningkatkan skor pendidikan Indonesia dalam penilaian internasional. Selain itu, program ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kognitif warga sambil menanamkan nilai kontributif terhadap masyarakat luas.

 

Dibayar dengan Sampah Plastik

Ketika gerakan ini berjalan, Dika menjaga anak-anak tetap melakukan aktivitas positif. Pendidikan yang ia berikan juga dibarengi dengan edukasi kebersihan. “Pembayaran les kami terapkan dengan menggunakan sampah plastik yang sudah dipilah di rumah masing-masing. Upaya ini dilakukan untuk menanamkan edukasi sejak dini bagi siswa dan keluarga siswa agar peduli dengan keberadaan sampah di sekitar mereka,” kata Dika.

Terbukti, cara pembayaran dengan sampah terpilah ini telah membantu pengurangan pembakaran sampah plastik sebanyak 314 kilogram, yang selama ini menyebabkan polusi di Desa Pemuteran. Angka itu tercatat sejak awal aksi sampai Mei 2021.

Walau melakukan pembelajaran luring, aksi edukasi ini tetap menjaga protokol kesehatan dengan ketat. Karenanya saat pertemuan terjadi, Dika mendorong keterlibatan secara aktif para siswa yang ikut dalam proses belajar untuk memahami kondisi pandemi. Bahkan ia tetap kukuh melanjutkan gerakannya meskipun dengan kuota terbatas.

Dika juga membuat kelas softskill untuk mengembangkan keterampilan di luar kelas. Selain itu. Ia juga membuat kelas pendidikan karakter yang menekankan pada nilai gotong royong, kepedulian lingkungan dan kepedulian sesama. Semua program ini dilakukan sambil praktik berkomunikasi langsung menggunakan bahasa Inggris.

Upaya Dika memang tak sia-sia. Dampaknya mulai terasa. Ia berhasil membantu 150 anak untuk memahami materi sekolah, khususnya bahasa Inggris. Para siswa bahkan menjadi berani mengaplikasikan perbincangan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, tentu semakin mendorong kemampuan sumber daya manusia dalam membangun potensi desa melalui pariwisata.

Semangat pembelajaran kreatif yang diperkenalkan Dika akhirnya menjadi acuan pola belajar bagi mata pelajaran yang lain di sekolah-sekolah saat itu. Tak hanya itu, banyak lansia yang kurang mampu bisa menerima bantuan beras sebanyak 5 kilogram per rumah dari kegiatan kreatif ini.

Berkat pola pendidikan itu pula, setiap anak sekarang memiliki kamus bahasa Inggris lengkap dengan buku tulis dan alat tulis yang jumlahnya cukup. Anak-anak yang berprestasi dan kurang mampu mendapatkan reward berupa kelengkapan sekolah seperti tas hingga sepatu. Sampai sekarang sudah ada 19 anak yang menerima tas dan sepatu.

Pengaruh pembelajarannya mulai meluas dengan terbentuknya kelompok belajar di luar kelas antar anak yang memiliki kesamaan minat dalam belajar bahasa Inggris. Tak hanya itu, gerakan yang dilakukan Dika juga ternyata sangat membantu desa dalam menyiapkan generasi muda yang fasih berbahasa Inggris untuk mendukung pembangunan pariwisata. Walau begitu, Dika tetap menegaskan agar penggunaan bahasa Inggris harus sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. “Kita utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing,” ungkapnya.

Berbicara memang merupakan passion dari remaja yang memiliki hobi menulis ini. Baginya dengan berbicara langsung kita dapat mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Ditambah dengan kemampuan Andika menguasai empat bahasa asing yaitu bahasa Mandarin, Italia, Inggris, dan Jepang. Keterampilan berbahasa asing tersebut menjadi penunjang Andika dalam berkomunikasi dengan teman dari negara lain sehingga ia menjadi lebih open minded dengan perkembangan dunia.

 

Kiprah Pemuda Singaraja

I Gede Andika Wira Teja merupakan mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana yang pernah menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam kegiatan Asean-India Student Exchange Program (AISEP) 2018. Pemuda cerdas ini harus melalui beberapa tahapan seleksi sebelum akhirnya terpilih sebagai juara 1 program AISEP untuk mewakili Bali saat itu.

Kegiatan yang difasilitasi oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kamar Dagang India atau Confederation of Indian Industry (CII) ini secara umum merupakan ajang mempromosikan budaya masing-masing negara yang turut serta dalam penyelenggaraan kegiatan itu.

Di ajang itu, selama 10 hari dia dan para peserta dari negara lainnya diperkenalkan berbagai pengetahuan baru seperti industri besar di India, kampus-kampus ternama, maupun tempat-tempat bersejarah untuk mempelajari budaya India terutama di kota Mumbai, Pune, Agra dan New Delhi.

Dika juga giat dalam olahraga tarung derajat dan aktif dalam kegiatan organisasi baik di kampus maupun luar kampus. Ia sempat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan BEM-PM Universitas Udayana yang merupakan pendiri Jendela Pemuda. Jendela Pemuda merupakan suatu komunitas kepemudaan yang bergerak di bidang pendidikan dan kerelawanan.

Kiprah Dika sebenarnya sudah lama menorehkan prestasi. Pemuda kelahiran Singaraja ini juga pernah mengepakkan sayapnya menjadi delegasi Indonesia dalam Asia Pasific Future Leader Conference 2017.

Ia pun terpilih sebagai mahasiswa berprestasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana tahun 2018. Dika juga penerima beasiswa Bank Indonesia Scholarship 2017-2018, pernah menjadi Duta Pemuda Indonesia Provinsi Bali tahun 2019, dan penerima beasiswa Studi Singkat di Singapore (National University of Singapore dan Singapore Management University) dan capaian terbarunya adalah pendiri Komunitas Jejak Literasi Bali (JLB).

Berkat segudang peran dan prestasi itu, ajang 12th SATU Indonesia Awards 2021 mendapuk Andika Wira Teja terpilih sebagai generasi muda yang berkontribusi dalam bidang pendidikan.

Penghargaan dari Astra itu untuk menunjukkan komitmen perusahaan Astra dalam mendukung generasi muda yang berkontribusi positif bagi masyarakat melalui program Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards dalam rangka perayaan ulang tahunnya ke-12.

Bukan main-main, peserta yang mengikuti SATU Indonesia Awards 2021 mencapai 13.148. Generasi muda yang menjadi peserta berkontribusi bagi masyarakat terbagi dalam lima bidang, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan kewirausahaan, dan teknologi. Di bidang pendidikan itulah, hanya Andika Wira Teja satu-satunya orang yang terpilih menerima penghargaan itu.

Selain karena Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan di Desa Desa Pemuteran, Buleleng, integritas dan konsistensi Dika di dunia pendidikan memang dinilai pantas mendapatkan penghargaan itu. Dalam catatan panjangnya, Dika sebagai pendiri komunitas JLB dinilai berkontribusi besar dalam perubahan warga. Komunitas ini didirikan pada tanggal 1 Juni 2019 oleh Dika dan para sahabatnya yang memliki kepedulian pada kondisi pendidikan di pelosok Bali, khususnya di bidang literasi.

Komunitas ini dibentuk untuk menjadi wadah bagi siapapun, khususnya untuk para pemuda yang memiliki keinginan untuk berbagi dan beraksi dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan yang ada di pulau Bali.

Visi dari Komunitas Jejak Literasi Bali adalah “Mengabdi Bersama untuk Negeri” yang memliki arti bahwa anggota dan relawan yang terlibat harus bersama-sama mengabdi untuk kemajuan negeri dalam bidang pendidikan dan khususnya literasi. Melalui visi yang dibangun tersebut, komunitas ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang berguna untuk kemajuan bidang pendidikan dan literasi di Bali dan Indonesia.

 

Para Pengabdi Literasi

Dalam melakukan kegiatan sosialnya, komunitas ini tidak hanya bergerak ke lapangan saja, melainkan juga memanfaatkan media sosial yang ada untuk memberi edukasi dan pelajaran terhadap publik.

Dika dan para sahabatnya di komunitas ini kerap memberi motivasi belajar, memaparkan program edukasi mereka untuk membuat pojok baca dan bedah perpustakaan. Komunitas ini juga memanfaatkan akun media sosial untuk menggelar semacam diskusi atau webinar terkait pendidikan dan literasi.

Di lapangan, program “Pojok Baca dan Bedah Perpustakaan” ini dilakukan dengan berbagai cara kreatif agar anak-anak dapat nyaman membaca dan menulis, sehingga kebiasaan tersebut dapat terbentuk. Dika dan komunitasnya merancang program penataan perpustakaan dengan mengatur penempatan buku, menambah referensi yang bisa dipelajari oleh siswa dan membuat perpustakaan menjadi lebih menarik dengan mengajak siswa membuat mural dan desain menarik. Siswa diajak membaca sambil bermain seperti mendengarkan cerita dongeng, menulis bintang harapan, dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan agar budaya literasi dapat tumbuh sejak usia dini.

Komunitas JLB juga memiliki program “Tas ini Isi Buku”, sebuah kegiatan kampanye untuk mengajak orang menggunakan tas sesuai fungsinya yang salah satunya adalah tempat buku. Kampanye ini dilakukan untuk mengajak setiap orang memiliki kebiasaan membaca buku.

Aksi anak muda Bali ini juga menawarkan program “Gerakan 1000 Buku Dongeng” berupa pengumpulan donasi buku dongeng yang akan disalurkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah di pelosok Bali yang memiliki kondisi kurang mendukung masih terbatas buku cerita untuk anak.

Komunitas ini juga menawarkan kegiatan “Buku Kita Semua”, sebuah gerakan untuk mengajak setiap orang membantu kebutuhan buku tulis atau buku pelajaran siswa yang bersekolah di daerah pelosok Bali untuk diserahkan langsung kepada siswa.

Tak hanya itu, Komunitas JLB juga membuat “Gerakan Cerdas Literasi Digital” yang mengarahkan kegiatan edukasi generasi kekinian untuk cerdas menggunakan kemajuan teknologi informasi dengan bijak dan membentengi generasi muda dari masifnya berita hoax yang beredar.

Semangat gotong royong mencerdaskan bangsa juga ditawarkan komunitas ini dengan melakukan kerja sama dan kolaborasi dengan anggota komunitas lain, agar tujuan kegiatan yang ingin dicapai bisa berjalan lebih optimal dan maksimal.

Dika menuturkan, kolaborasi semacam ini juga dapat memperbanyak jejaring dan juga relasi antara komunitas satu dengan lainnya yang relevan dalam menyebarkan informasi, melakukan aktivitas pendidikan maupun menambah pengetahuan kepada masyarakat. Melalui aksi kolaborasi itulah banyak timbul kegiatan yang inovatif serta kreatif yang sudah pernah dijalankan oleh komunitas ini.

Berbagai kegiatan bersama dilakukan Komunitas Jejak Literasi Bali bersama komunitas lain seperti kegiatan Fun Coloring Day yang mengajak anak-anak meningkatkan daya imajinasi mereka melalui goresan warna yang mereka gambarkan pada kertas. Lalu gerakan “Kreasi Edukasi dan Literasi Sekolah” yang mengajak adik-adik di sekolah untuk bisa membaca dan menulis sejak dini, juga mengajak anak-anak kelas 1-6 melakukan kegiatan literasi yang menyenangkan di luar ataupun di dalam kelas bersama dengan anggota dan relawan. Tentu masih banyak kegiatan lain yang terwujud berkat semangat gotong royong yang ditawarkan, baik di Bali atau pun di kota-kota lainnya.

Untuk bisa menjadi seperti sekarang, tentu sudah banyak hambatan serta rintangan yang dilalui oleh Dika. Ia sempat mendapat larangan dari orangtuanya yang meminta dirinya mengurangi banyak aktivitas. Mereka khawatir anaknya kelelahan lantaran mengikuti banyak kegiatan. Selain itu hambatan juga datang dari orang-orang yang senang meremehkan usaha yang tengah dilakukan oleh Dika. Tetapi mental Dika tidak berkecil hati.

“Walaupun banyak hambatan, saya mencoba terus berproses dan belajar. Hambatan dan kegagalan adalah hal yang biasa sebagai evaluasi untuk belajar dan berproses lebih banyak lagi,” tegas Dika. Baginya hambatan bukanlah penghalang, tetapi sebuah pelajaran dalam proses agar menjadi lebih baik. “Hidup itu perlu banyak proses, bukan banyak protes,” kata dia. **

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler