x

gambar diambil dari https://pin.it/7qWetsH

Iklan

Alea Ley

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Selasa, 9 November 2021 12:42 WIB

Aku Mati

Hidup seperti hantu tidak begitu buruk. Namun sesuatu baru terasa berharga jika sudah tiada. Peringatan, cerita ini bisa saja mengandung unsur sensitif bagi beberapa pembaca. Harap bijak dalam menyikapi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah saatnya. Aku sekarang berdiri di sini. Di kamarku. menggenggam sebilah pisau. Sambil berderai air mata aku berfikir bahwa semuanya akan segera berakhir dan aku bisa terbang bebas. Sebuah loncatan keyakinan terbesar dalam hidupku. Masih dalam posisi yang sama aku memaki – maki diriku, lemah, pengecut, tidak berguna, beban, dan ucapan tajam lainnya. Sekali lagi, semua itu akan berakhir dan aku akan terbang bebas pada akhirnya. Kutusukkan benda tajam itu ke dalam perutku, merobek kulitku. Nafasku terhenti, aku jatuh tersungkur, berenang dalam kubangan darah dan air mataku sendiri. Selesai. Semuanya telah berakhir.

Semuanya gelap. Inikah alam baka? Lebih seperti ruang hampa. Sekarang apa? Yah… setidaknya aku bisa keluar dari problema kehidupan duniaku sebelumnya. Apa ini? Aku melihat cahaya kecil, perlahan setitik cahaya yang kecil dan masih buram tersebut kini membesar semakin terang dan akhirnya terpampang jelas visual di depan mataku ini. Aku menggosok mata, lalu aku melihat… diriku. Ya, diriku sendiri, terbaring didalam sebuah lubang dalam dan terbungkus kain kafan putih, dikelilingi orang – orang. Berhasil? Aku mati?

Puas? Sepertinya tidak. Aku melihat orang – orang memakai baju serba hitam merintih serta menangis akan kepergianku di bawah rintik gerimis sore itu. Memang sedikit yang merengek, namun sakit aku melihatnya. Papa, mama, adik, dan teman karibku. Lihat mereka, menangis seperti bayi, oh sayangku… begitu putus asakah kalian ditinggal olehku? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tubuh ghaibku menghampiri temanku. Hai kawan, kali ini kamu berjuang sendiri ya, pundakku yang biasa kamu senderkan kini sudah menyatu dengan tanah, sudah jangan menangis, nanti makin jelek wajahmu yang berjerawat itu, lho. 

Aku melihat adikku yang merengek macam bayi seperti biasanya. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menyuruh kamu, kalo papa dan mama pergi sekarang kamu sudah bebas. Harusnya kamu senang, dong, kamar luasku sekarang bisa kamu tempati, kamu juga bisa menguasai komputer, tidak perlu lagi meminta izin untuk mendownload game disana. Tidak ada lagi yang mengejekmu pendek sekarang, tidak ada lagi yang akan memarahimu lagi sekarang. Aku mengeluarkan tawa kecil seraya memikirkan hidup adikku yang sekarang lebih bebas dari biasanya.

Di samping adikku terlihat papa, momen yang sangat langka melihat papa meneteskan air mata. Halo, Pa. kenapa Papa menangis? Tidak akan ada lagi saingan papa dipermainan Ludo. Pengeluaran Papa juga akan berkurang. Papa sekarang bisa menabung untuk membeli rumah, kalian tidak perlu lagi tinggal di rumah kontrakan. Jangan menangis, Pa! Wibawamu akan hilang jika terus menangis. Aku mengangkat tanganku, mencoba mengusap air matanya yang menyatu padu dengan air gerimis itu, namun sia – sia. Aku tersadar bahwa tubuhku sekarang fana.

Aku kemudian melihat mama… orang yang paling sedih diantara semuanya atas kematianku ini. Ia menangis, terus menangis seraya meminta maaf padaku. Mama, kenapa Mama meminta maaf? Aku yang harus minta maaf, semua uang simpananmu untuk membiayaiku sekolah, les, dan lain lain kini sia sia. Mama mengharapkan banyak hal dariku, mama sudah bersusah payah membesarkanku. Namun anakmu ini tidak kuat, anakmu ini memang lemah. Aku minta maaf. Aku melangkah untuk memeluk mama, namun dengan mudahnya tubuhku melewati tubuh Mama. Ingin sekali aku memeluk mereka satu persatu. Namun apa yang bisa aku lakukan sekarang? terlambat, sudah terlambat.

Semuanya, aku minta maaf yang sebesar – besarnya. Aku memang telah pergi dari pandangan kalian, namun percayalah, ini jalan pilihanku, ini yang terbaik. Aku sudah lebih tenang sekarang. Perpisahan memanglah berat, namun selama jam masih berdetak, kalian akan melupakan rasa sedih ini dan akan menertawakan air mata kalian yang telah terkikis pada hari ini. Selamat tinggal semuanya, aku sayang kalian.

Pemakaman telah usai. Mereka semua kembali ke rumah mereka masing - masing. Kini sepi. Meninggalkanku yang berdiri di sini. Tidak banyak arwah lain yang bisa kulihat. Aku melihat beberapa arwah perempuan muda sebaya denganku. Benar ucap guruku, arwah manusia yang bunuh diri tidak akan diterima di akhirat. Aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk, namun untuk saat ini aku tidak terlalu memedulikannya. Aku melihat diriku sendiri, gaun putih khas rumah sakit. Ternyata saat aku sekarat pun, keluargaku masih sempat mengantarku ke rumah sakit. Aku meraba letak pisau yang menancap di perutku saat itu. Berlubang, perutku berlubang. Kecil, tidak seperti hantu – hantu lokal yang lain yang biasa kulihat di televisi – televisi. Bagaimana dengan wajahku? Apakah menyeramkan? Sayangnya di sini tidak ada cermin, mungkin lain kali.

Kemana aku harus menuju? Rumah? Ya, aku penasaran bagaimana kondisi mama, papa, dan adikku sekarang. Aku berjalan melewati batu – batu nisan, aku berjalan melewati jalan raya yang bergemerlapan dan dipenuhi oleh pendaran kendaraan – kendaraan dan gedung yang memadati pinggir jalanan, yang biasanya papa lewati saat mengantarkanku ke sekolah. Ah… sekolah, aku benci sekolah namun tiba – tiba saja aku rindu. Aku menginjak sesuatu yang dingin. Kulihat ke bawah kakiku dan ternyata aku menginjak sebuah genangan air bekas hujan tadi. Aku melihatnya, memerhatikan hasil pantulan tak beraturan dari air yang ada pada genangan tersebut. Wajahku terlihat pucat dan lesu bak orang yang mengidap Penyakit Anemia dengan kantung mata yang besar. Wajahku terlihat normal, seperti biasanya. Di tengah momen – momen kupandang wajahku itu, sebuah mobil tiba – tiba saja melesat cepat di depanku. Aku sontak berjongkok dan tanganku yang membentuk pose memerisai diri sendiri. Mobil itu kemudian melewatiku begitu saja. Bodohnya diriku, mungkin aku harus bisa membiasakan diri dengan tubuh ghaibku ini, pikirku sambil mengeluarkan tawa kecil. Aku melanjutkan perjalananku ke rumah. Sedikit lagi aku sampai, hanya tinggal melewati kebun tempat kucing peliharaanku dulu dikubur. Meng… apakah dia ada di sana? Aku memutuskan untuk mengunjungi kebun tersebut sebentar, hanya sekedar ingin memastikan eksistensi keberadaan dari arwah kucingku itu. 

Meng, puss… 

Panggilku.

 

Mungkin Meng sudah bersama dengan Yang Maha Kuasa. Ini memang hasil yang sangat tidak kuharapkan, namun apalah daya yang bisa kulakukan? Dengan perasaan kecewa dan pasrah, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun tiba – tiba saja aku merasakan geli di sebelah kiri dari kakiku, seolah – olah seseorang sedang menggelitik kakiku. Aku melihat ke bawah dan di sanalah dia, menggosokkan kepalanya yang mungil dan dipenuhi oleh bulu itu ke kaki kiriku. “MENG!!!” seruku. “Kakak!” terdengar suara seberti anak kecil yang keluar dari mulut Meng. Tak kusangka Meng dapat berbicara dengan bahasa yang kupahami, dan suaranya terdengar sangat manis. “Meng? Kamu bisa bicara? Ini beneran kamu, kan? Aku kangen Meng…” aku tak kuasa untuk membendung air mataku ini. Kini aku memeluk Meng yang juga menangis terharu. “Kakak melihatku! Kakak benar benar bisa melihatku!” ia tak menghiraukan pertanyaan – pertanyaanku. “kenapa kamu gak di atas? Kenapa kamu masih di sini, Meng?” ucapku berusaha untuk bertanya lagi, “nggak, Kak, aku memang diantar oleh ‘sesuatu’ yang bernama malaikat ke surga. Namun aku masih tetap ingin berada di sini, aku ingin menjadi penjaga Kakak!” ucapnya dengan nada antusias. Jawaban itu Meng benar – benar menyayat hatiku, mengingat fakta bahwa ia gagal dalam melindungiku dari upaya bunuh diri. Aku tidak bisa berkata kata selain terus mengeluarkan air mata.

“Meng, kamu mau ikut?”

“kemana?”

“pulang,” 

 

Di sinilah kami. Berdiri di depan pagar cokelat, disambut tanaman – tamanan hijau yang segar kesayangan mama. Aku mencari gagang pagar, berusaha untuk membukanya, namun aku tak kunjung teraba. “Kakak lucu ya,” Meng tertawa melihatku yang masih berusaha untuk menyentuh benda fana manusia. “yaampun, maaf, belum terbiasa,” jawabku dengan tawa canggung. Kemudian dengan ragu – ragu, aku berjalan lurus menembus  pagar rumah dan dengan noraknya aku terkejut karena sekarang aku bisa menembus benda – benda. Ini dia, sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua menghadangku. Aku yang masih dengan perasaan keraguan total sambil menegak air liur mempertanyakan diriku sendiri. Haruskah aku? Persetan dengan keraguan, aku sudah sejauh ini berjalan dari kuburan bahkan sudah mengajak Meng kesini. Aku berjalan lurus menuju pintu tersebut dan tiba – tiba saja semburat cahaya yang menyilaukan muncul. Aku menutup mataku dengan cepat, buta seketika. Sudah aman, mungkin. Aku membuka mataku. Ini mengejutkan, aku tidak berada di rumah, melainkan muncul disebuah ladang bunga seakan akan aku telah melewati portal menuju dunia lain. Di depanku ada sebuah pondok kayu sederhana. Ini berbeda, ini bukan rumahku, namun aku merasa di rumah. Aku melihat sekibas siluet di dalam pondok. Aku melambai – lambai, memintanya untuk keluar. Pintu pondok tersebut terbuka lebar, menampilkan sosok wanita paruh baya yang aku kenal dan familiar di mataku selama ini. Ah… ternyata ini mimpi mama, aku berada di mimpi mama. Kami berdiam saling tatap – menatap, hingga akhirnya aku mengibarkan kedua tanganku, membuka tubuh ceking ini untuk sebuah pelukan. 

 

Mama berlari sambil berderai mata, namun belum sempat mama menyentuh suraiku, aku Kembali ke rumahku. Ya, rumah normalku. Dengan ruang tamu yang dipenuhi sofa, TV, meja, dan foto – foto penuh nostalgia. Sudah usai? Mama masihlah seorang yang mudah sekali terbangunkan. Pukul 03.17 dini hari, agaknya itulah yang bisa kubaca dari jam dinding tua yang berdebu di ruang tamu ini. Tiba – tiba terdengar suara isakan dari arah kamar orang tuaku, suara isak tangis mama. Aku melesat ke arah sumber suara. Di sanalah sumber suara tersebut. Wanita itu terduduk menyila di atas kasur empuk. Matanya sembab dan merah. Bahunya ditepuk perlahan oleh sosok pria paruh baya yang kusebut papa itu. “Sudahlah, dia sudah tenang di sana,” ucap Papa menenangkan Mama yang sedang menangis terisak – isak. Oh tidak, aku melakukannya lagi, aku membuat mereka menangis lagi, bahkan setelah mati aku tetap mengecewakan mereka. “Meng, sepertinya sudah waktunya kita pergi,” ucapku pada Meng yang sedari tadi mengikuti perjalananku. “sekarang? bukankah ini terlalu cepat, aku belum melihat Abang,” ucap Meng memelas. Benar, agaknya aku perlu memastikan bahwa adikku tertidur. Aku beranjak keluar. Berbalik sedikit ke arah Mama yang masih menangis kemudian memeluknya. Walaupun tidak tersentuh namun sepertinya ia bisa merasakan kehadiranku di sini. Tubuh ghaibku menjadi hangat seketika. “Aku pamit ya, Ma, Pa, tolong jaga diri kalian baik – baik,” ucapku pelan. Aku beranjak keluar dan pergi ke kamar adikku. Aku melihat dirinya yang tengah tertidur pulas dengan suara dengkuran kerasnya yang memenuhi isi kamar. Bantal serta kedua matanya terasa lembab. Kulihat Meng di sana sambil melingkar di samping adikku. “Sudah?” tanyaku singkat. Meng mengangguk dengan raut wajah penuh pasrahan.

 

Kami pun meninggalkan rumah hangat kediamanku dulu itu dan keluar menuju dunia luar yang luasnya tiada tara. “Meng, apakah kamu tahu? Karena kita berdua sudah menjadi hantu, kita bisa melakukan apapun, kan? Kita bahkan bisa keluar negeri, lho” ucapku memecah keheningan canggung seraya menghibur Meng yang masih memasang raut wajah sedih. “oh ya? Benarkah? Itu memang tidak pernah terpikirkan olehku,” ucap Meng yang dengan penuh semangat. Kami kemudia melepas tawa kecil.

 

Hingga tiba – tiba hujan turun.

 

Meng melesat untuk mencari tempat teduh dan berteduh di bawah sebuah gerobak sayur bertenda. “Kak! Cepat ke sini!” teriak Meng padaku. Kucing memanglah takut pada air, namun bukankah tubuh Meng sekarang tak nyata? Apakah dia masih dapat merasakan air mengalir dari bulu – bulunya? “Lho, Meng? Bukannya tubuh kita sudah tak nyata lagi?” kutanya pada Meng yang menggigil, “dingin, Kak!” jawab Meng sedikit berteriak. Aku mengangkat tanganku setinggi pinggang dan membuka lebar telapak tanganku, membiarkan tetes – tetes air hujan melewati tubuh semuku. Tembus memang, namun aku masih bisa merasakan air hujan yang dingin mengalir di kulit keringku, sama seperti saat aku kecil dulu yang sering sekali bermain di bawah guyuran hujan.

 

“Meng, tunggu sebentar, ya,” ucapku pada Meng dan mulai menginjak genangan terdekat. Tanpa sadar aku tertawa, macam anak kecil yang kakinya tergelitik oleh jari – jemari. Aku mulai mengibarkan kedua tanganku bak sayap seekor burung yang terbang bebas di langit biru. Kudongakkan kepalaku ke atas langit yang mendung. Kakiku melangkah perlahan demi perlahan dan mulai berputar seirama. Aku menari, aku menari di bawah guyuran hujan deras. Teringat kenangan – kenangan manis waktu kecil. Dimana rambutku basah karena mandi hujan bersama adikku. Saat pakaianku basah kuyup di atas motor papa selepas pulang dari sekolah dihari Jumat. Dan saat kubersin – bersin setelahnya dan mama menyelimutiku dengan handuk dan memberiku semangkuk mie rebus hangat. Air mataku kembali mengalir deras mengucur di wajahku. Perasaan menyesal serta bebas bercampur aduk menjadi satu. 

 

“Kamu tahu tidak, Meng? Ketika kita menangis di bawah hujan, kita dapat menangis sejadi – jadinya tanpa diketahui oleh orang lain,” ucapku pada Meng yang sedari tadi memerhatikanku menari di bawah hujan. Sepertinya hujan sudah mulai mereda, aku menyudahi nostalgia singkatku itu dan menghampiri Meng yang masih menggigil kedinginan. “maaf, kak, aku tidak bisa mendengar Kakak,” ucap Meng kebingungan. Ah… sepertinya hujan kembali turun dengan derasnya, sampai – sampai Meng tidak dapat ocehanku dari tadi. “omong – omong, kenapa Kakak menangis?” tanya Meng polos. 

 

Dan sekali lagi aku benar – benar lupa kalau aku sudah mati dan harus terbiasa dengan tubuh semuku ini.

Ikuti tulisan menarik Alea Ley lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu