x

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Kamis, 11 November 2021 15:03 WIB

Perubahan Iklim, Menteri Siti Nurbaya Melawan Desakan Zero Deforestation

Deklarasi Forestry and Land Use 2021 bukanlah pagar besi yang dapat memaksa Indonesia berhenti memanfaatkan sumber daya hutan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan sikapnya yang tegas, bahwa Indonesia akan tetap mematuhi kewajibannya memangkas emisi karbon, sesuai komitmen Nationally Determined Contribution, tapi tidak berarti akan menyerahkan kedaulatan kawasan hutannya ke dunia internasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia akan terus memanfaatkan kawasan hutannya sesuai kepentingan nasionalnya (national interest). Bila harus mengkonversi hutan bagi keperluan lain seperti untuk area pertanian, industri, pertambangan, infrastruktur, perkebunan, Indonesia akan menjalankannya. Ada emisi karbon dari kebijakan itu. Toh, langkah itu bisa diimbangi dengan kebijakan menekan emisi karbon dari sektor yang lain seperti mengurangi emisi karbon dari sektor industri, energi atau menanam mangrove di tempat lain.

"Memaksa Indonesia berkomitmen mencapai zero deforestation di tahun 2030 sungguh tidak tepat dan tidak adil. Kita tidak bisa menjanjikan hal yang kita tidak bisa lakukan,’’ demikian cuitan twitter Siti Nurbaya pada 2 November 2021, yang segera ditentang oleh banyak aktivis lingkungan,  dalam dan luar negeri. Namun, Siti Nurbaya tampaknya tak gentar menghadapinya.

Perang Besar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Upaya masyarakat dunia menahan perubahan iklim itu adalah perang besar yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Program global pun disusun berderet-deret untuk mengerem laju emisi karbon, dan gas rumah kaca lainnya. Tujuannya agar atmosfir bumi tak terus menghangat, bergolak  dan membangkitkan perubahan iklim yang dampaknya merusak. Targetnya, kenaikan  suhu global adalah 2 derajat Celsius, dan terus diupayakan agar paling tinggi 1,5 derajat Celsius.

Kesepakan mengendalikan emisi carbon itu sudah dibangun sejak 26 tahun silam lewat konferensi perubahan iklim pertama, yang biasa disebut COPs (Conference of the Parties) 1996 di Berlin. Satu demi satu kesepakatan terus digulirkan. Namun, sampai COPs ke-26 digelar di Glasgow, Skotlandia, 1-2 November 2021, emisi gas rumah kaca masih terus terjadi, meski dalam laju yang lebih rendah.

Pada tahun 2011-2019 misalnya, pertumbuhan emisi gas rumah kaca rata-rata global  setahun 1,1 persen. Angka itu menunjukkan bahwa tiap tahun ada penambahan 52.4 Giga Ton CO2 (equivalen) dari jumlah emisi  tahun sebelumnya. Targetnya, angka pertumbuhannya dibikin nol,  atau negatif. Toh, capaian itu sudah jauh lebih baik, katimbang dekade sebelumnya yang rata-rata masih tumbuh 2,6 persen per tahun.

Pertumbuhan negatif itu ternyata  bisa dicapai di sejumlah kawasan. Pada 2019, Uni Eropa mampu mengukir prestasi pengurangan emisi – 3 persen dibanding 2018. Jepang dan Amerika Serikat juga  menorehkan hasil – 1,2 persen dan - 1,7 persen. Di tahun yang sama China, India,  dan Rusia, masih positif. Indonesia masih tumbuh positif, meski secara aktual emisi karbonnya jauh di bawah negara-negara besar tersebut.

Tak heran bila dalam COPS ke-26 di Glasgow semangat untuk melakukan percepatan pemangkasan emisi karbon itu berkumandang kuat. Isu energi terbarukan muncul menguat, transformasi industri, pertanian, tata kelola sampah dan sederet isu lainnya termasul FoLU (Forestry dan Land Use). Salah satu produk COPs ke-26 itu adalah Glasgow Learders’ Declaration on Forest and Land Use yang  kini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk menyiapkan dan mengatur implementasinya.  Indonesia termasuk negara yang menandatangani Deklarasi FoLU itu, bersama 132 negara lainnya.

Komitmen Bekerja Kolektif

Dalam preamble deklarasi, disebutkan bahwa ada hubungan krusial antara pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati; (perlunya) keseimbangan antara emisi gas rumah kaca antropogenik di satu sisi dan pembuangan sink (penimbunan karbon dalam kawasan hutan);  dan perlunya keseimbangan semua itu untuk adaptasi atas perubahan iklim, di samping memelihara jasa ekosistem lainnya. Yang diharapkan, semuanya terangkai dalam gerak pembangunan yang berkelanjutan.

Dengan segala perkembangannya, deklarasi itu juga mengakui, bahwa  pembangunan berkelanjutan itu, baik secara global maupun nasional, memerlukan tindakan lanjutan yang transformatif di bidang produksi dan konsumsi; pembangunan infrastruktur; intitusi perdagangam; keuangan dan investasi; dan dukungan untuk petani kecil, masyarakat adat, dan lokal, yang bergantung kepada hutan untuk mata pencaharian. Masyarakat ini diakui  pula memiliki peran kunci dalam pengelolaannya.

Dengan memperhatian hal-hal tersebut, Deklarasi FoLU tersebut menyatakan berkomitmen untuk bekerja secara kolektif menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan dan degradasi lahan pada tahun 2030,  sambil memberikan pembangunan berkelanjutan dan mempromosikan  transformasi pedesaan yang inklusif.

Tujuan-tujuan itu diikuti dengan enam butir uraian di bawah payung upaya bersama. Di antaranya berbunyi melestarikan hutan dan ekosistem darat lainnya serta mempercepat pemulihannya. Ada pula rencana memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan internasional dan domestik, yang mendorong pembangunan berkelanjutan,  produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan, bekerja untuk keuntungan bersama negara dan tidak mendorong deforestasi dan degradasi lahan.

Komitmen lainnya ialah  membangun ketahanan dan meningkatkan mata pencaharian pedesaan, termasuk melalui pemberdayaan masyarakat, pengembangan pertanian yang berkelanjutan, dan pengakuan atas berbagai nilai hutan, sambil mengakui hak-hak Masyarakat Adat,dan masyarakat lokal, sesuai perundang-undangan nasional dan instrumen internasional.

Secara umum, semangat Deklarasi FoLU itu adalah kerja sama internasional dalam berbagai aspek untuk menekan kerusakan dan kehilangan hutan dari muka bumi. Hal tersebut berlaku bagi segala jenis dan tipe hutan.

Deforestasi

Dalam KTT Perubahan Iklim di Glasgow, Presiden Joko Widodo melaporkan kemajuan yang dicapai dalam tata kelola hutan di Indonesia. Di antaranya adalah, Indonesia disebut berhasil menurunkan angka deforestasi 75 persen di periode2019 - 2020 ke angka115 ribu hadari 465 ribu ha pada 2018-2019. Angka itu yang terendah di sepanjang 20 tahun terakhir.  Presiden Jokowi juga melaporkan, bahwa Indonesia juga sedang merestorasi 600 ribu kawasan mangrove dan diharapkan bisa selesai pada 2024 nanti.

Angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Indonesia pada dua tahun terakhir juga menurun sejak 2019, ketika api mengamuk dan melahap areal seluas 1,65 juta ha. Pada tahun 2020, angka karhutla menyusut menjadi 299 ribu hektar, dan 230 ribu sampai Agustus 2021. Pada saat yang sama di 2021 ini, Karhutla  di Amerika Serikat mencapai 3,5 juta Ha, Rusia 1,5 juta Ha, Kanada 580 ribu Ha, Bolivia 150 ribu Ha, Turki 95 ribu Ha, Yunani 56,6 ribu Ha, dan masih banyak lainnya.

Di luar arena oficial COPs ke-26, para aktivis lingkungan memiliki forum sendiri di bawah nama NGO masing-masing. Sebagian mereka mengeritik tata kelola hutan di Indonesia, menolak laporan resmi Pemerintah Indonesia. Sebagian mereka juga menekankan, bahwa sesuai “Deklarasi FoLU’’ itu tidak boleh ada lagi deforestasi dalam bentuk apa pun di Indonesia sejak 2030. Narasi itu yang digemakan keras-keras di arena NGO.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutaan (LHK) Siti Nurbaya menolak pemaknaan serta merta yang menyatakan Indonesia harus menghentikan pemanfaataan hutan untuk keperluan lain tahun  2030. Melalui akun twitternya mengatakan, bahwa  pembangunan besar-besaran di  era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.

‘’Memaksa Indonesia ke zero deforestation pada 2030 jelas tidak tepat  dan tidak adil. Karena tiap negara memiliki  masalah kunci sendiri dan itu  dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya," cuit @SitiNurbayaLHK, Rabu (3/11/2021)

Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation, kata Menteri Siti Nurbaya Bakar, sama halnya melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment dan membangun sasaran nasional  untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.  Pernyataan ini mendatangkan pro dan kontra, dan dalam dua hari telah diretweet 6.100 kali, 681 like dan 980 komen.

Lepas dari pro  kontra itu, Deklarasi FoLU Glasgow itu, dalam butir  uraiannya menyebutka adanya sejumlah kondisi yang memungkinkan terjadinya zero deforestation itu, antara lain  melalui upaya pemberdayaan masyarakat pemangku kepentingan hutan, masyarakat adat, transformasi kegiatan pertanian, kerjasama yang mutual (saling menguntungkan) antar piha,k dan penghormatan kepada hukum yang berlaku.  Zero deforestation bukan mandatory yang ujug-ujug harus dilaksanakan.

Menteri LHK Siti Nurbaya perlu mengungkit isu konstitusi. Ayat (2) Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa “Bumi  dan  air  dan  kekayaan alam yang terkandung di  dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat’’. Dalam ayat berikutnya disebutkan prinsip yang harus diikuti antara lain “efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawanan lingkungan.’’

Namun, memagar dan menggembok kawasan hutan untuk satu deklarasi tentu bukanlah tindakan  bijaksana. Apalagi, deklarasi  itu tak mengikat, dan menuntut banyak syarat bagi  implementasinya. Menurut Menteri Siti Nurbaya, Indonesia telah melakukan tata kelola kawasan hutan secara berhati-hati, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, setidaknya dalam 7 tahun Pemerintahan Presiden Jokowi. Komitmennya telah ditunjukkan dalam bentuk kerja nyata  guna menekan deforestasi dan menurunan emisi.

National Interest

Ada enam sektor yang setiap tahun dihitung emisinya secara nasional, yakni sektor energi, industri, pertanian, kehutanan, sampah dan tanah gambut. Semua sektor diupayakan turun. Namun, secara fleksibel bisa dilakukan salah satu sektur naik, namun diupayakan sektor lain turun. Dengan begitu sumber daya alam (SDA) di Indonesia bisa dimanfaatkan secara seimbang.

Maka, Deklarasi Deforestasi tak berarti menggembok area hutan Indonesia agar tak dimanfaatkan bagi keperluan lain. Indonsia masih memerlukannya untuk pengembangan  pertanian, perkebunan, pertambangan, permukiman, jalan raya, dan banyak lainnya. Namun, setiap pemanfaatannya akan diimbangi dengan mengurangi emisi dari sektor yang lain. Bila ada   hutan dibuka untuk jalan raya, akan ada lokasi lain yang ditingkatkkan kapasitas serapan karbonnya.

Mengikuti UU yang berlaku, pengembangan pertanian dan perkebunan umumnya mengambil porsi dari hutan produksi, yang mengalihkan status lahan  menjadi hutan konversi. Bila harus mengambil lahan hutan konservasi atau hutan lindung, untuk kegiatan pembangkit energi panas bumi misalnya, pihak pelaksana harus mengganti dengan lahan lain dan menjadikannya sebagai pengganti meski di lokasi yang berbeda.

Pengembangan pertanian, usaha perkebunan, energi dan pertambangan, ke kawasan hutan masih sulit dihindarkan. Meski disebut negara agraris, menurut BPS (2018), luas sawah di Indonesia hanya 7,4 juta hektar. Dalam rapat  Ketahanan Pangan di DPR-RI, 21 Oktober 2019, mengemuka  ternyata tanah pertanian di Indonesia hanya 13 persen dari  luas daratan, atau sekitar 24,7 juta ha. Yang 6,7 juta ha ada di Jawa.

Mengacu data FAO (2019), Indonesia dipetakan sebagai negara dengan lahan pertanian per kapita terendah di dunia, dengan rata-rata di bawah 1.000 m2 per orang. Cropland area per kapita negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, dan Spanyol, lebih tinggi dari Indonesia. Dengan pertanian yang serba mekanik pada masa lalu, negara-negara itu telah lebih dahulu mengkonversikan lahan hutannya menjadi tanah pertanian.

Deklarasi Forest and Land Use Glasgow diserukan sebagai kehendak memerangi perubahan iklim. Implementasinya tentu harus memperhitungkan kondisi di masing-masing negara.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler