x

Iklan

Taufik Hidayat _

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Senin, 15 November 2021 08:40 WIB

Guru Hebat Kami

Tentang Ia, perempuan hebat yang menjadi guru kami.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah kalimat penyemangat yang selalu keluar dari seorang guru hebat saat aku masih duduk di sekolah dasar dulu. Kalimat penyemangat yang sampai hari ini selalu aku ingat dan menjadi pedomanku menggapai cita-cita, “Hancurkan semua tembok yang menghalangi cita-citamu, kalau tidak bisa lompati, kalau tidak bisa juga cari jalan lain, jangan pernah berputus harapan dan berhenti untuk menggapai cita-citamu, ananda!”.

Guru hebat itu bernama Magdalena Siburian, kami familiar dengan memanggilnya Ibunda Siburian. Guru yang saban subuh dengan penuh semangat 45 menaiki sepeda jandanya, kalau di Jawa dikenal dengan nama sepeda onthel, dari rumahnya ke sekolah kami yang berjarak 12 kilometer. Meskipun saban hari menempuh jarak sedemikian jauh itu beliau tidak pernah menunjukkan rasa kelelahan. Semangatnya untuk memberikan pendidikan pada anak-anak didik yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri itu setara dengan pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan negeri  ini. Sekolah kami, tempat beliau mengajar, bernama Sekolah Dasar Instruksi Presiden (sering disingkat INPRES) Nomor 064029 di Kota Medan Kelurahan Amplas Provinsi Sumatera Utara.

Sapaan khas beliau ketika masuk kelas selalu menyejukkan, “Selamat pagi ananda, apakah hari ini bersemangat untuk mendapat bekal menggapai cita-citamu?”, kami semua menjawab serentak, “Selamat pagi Ibunda, semangat kami selalu tidak pernah redup”. Selalu saja beliau tersenyum mendengar jawaban kami, senyum yang tak pernah aku lupakan, senyum penyemangat, senyum penyejuk sesejuk senyuman ibuku sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibunda Siburian bukanlah berwajah elok, cenderung buruk rupa yang sekilas jika anak-anak yang tidak mengenalnya akan takut. Namun, dengan jiwa dan hati yang dimiliki, wajah yang tidak begitu elok tergantikan dengan kenangan yang teramat indah bagiku, dan mungkin bagi kami sekelas. Ibunda Siburian adalah guru wali kelas kami, saat itu kami masih duduk di kelas 6 yang berjumlah 32 orang.

Beliau tidak pernah menghardik, memukul, memarahi apalagi memaki kami, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang beliau menuntun kami hingga mengerti tentang apa yang diajarkan beliau. Beliau selalu menyemangati kami untuk selalu bertanya tentang segala hal yang ingin kami ketahui, sampai suatu saat aku bertanya tentang hal yang tak wajar untuk anak sesusia itu, “Ibunda kenapa mau mengajar disini, disini jauh dari rumah Ibunda, sedangkan Ibunda hanya bersepeda, apalagi upah Ibunda mengajar disini sangatlah sedikit?”, dengan senyum itu beliau menjawab, “menjadi guru adalah cita-cita Ibunda, cita-cita yang Ibunda pupuk dari seusiamu, sekarang Ibunda telah menggapai cita-cita Ibunda, jadi bukanlah masalah seberapa jauh tempatnya atau seberapa rendah upahnya, Ibunda berharap kamu juga kelak menggapai cita-citamu, agar kamu tahu betapa bahagianya mampu menggapai cita-citamu sendiri”.

Jika anak-anak sekarang baru kenal istilah curhat, kami sudah dari dahulu melakukannya, berbagi semua cerita tentang kami, beliau akan dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan cerita kami satu per satu, memberikan tanggapan dan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi kami. Kegiatan curhat-curhatanitu sering kami lakukan di luar kelas, sepulang sekolah.Aneh, jika anak-anak lain kegirangan mendengar lonceng pulang sekolah, kami malah menggerutu “kok cepat kali (=banget) sih”, kami ingin berlama-lama dengan guru kami itu, maka muncullah ide curhat-curhatan itu.

Perhatian beliau terhadap kami sama seperhatiannya orang tua kami terhadap kami, setiap pagi sebelum memulai pelajaran beliau memperhatikan satu persatu anak didiknya, bila saja ada yang tidak masuk sekolah, beliau sepulang sekolah akan menghampiri rumah-rumah kami, untuk mengetahui mengapa anak didiknya tersebut tidak masuk sekolah. Masih sangat teringat, ketika aku tidak dapat memahami suatu topik dalam satu mata pelajaran, beliau dengan ikhlasnya secara tiba-tiba mendatangi rumahku sepulang sekolah, memberikan semacam les tambahan agar aku dapat memahami topik dalam mata pelajaran tersebut. Hal itu bukan saja dilakukan kepadaku tetapi hampir semua teman-temanku mendapat treatment serupa.

Sebagai guru wali kelas, Ibunda Siburian mengajar semua mata pelajaran, kecuali mata pelajaran agama dan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mata pelajaran matematika adalah mata pelajaran kesukaan beliau. Beliau berhasil merubah image mata pelajaran matematika yang menakutkan menjadi mata pelajaran yang sangat menyenangkan bagi kami. Metode pembelajaran yang beliau pergunakan sangat mudah dimengerti oleh kami, untuk metode “perkalian” misalnya beliau selalu mengingatkan kami untuk memulainya dengan angka ke 5 untuk semua angka. Misalnya, kalau angka 4 agar mempermudah di mulai dari angka ke-5, jadi memulainya dari 4x5 yaitu 20, sehingga akan mempermudah jika mengkalikan dengan angka lainnya, jika 4x4 maka tinggal dikurangkan 4 saja, karena 4 lebih sedikit 1 dari angka 5, jika 4x6 maka tinggal ditambah 4, karena 6 lebih banyak 1 dari angka 5, begitu seterusnya. Metode tersebut demikian ampuhnya bagi kami, sehingga bukan bermaksud sombong sampai sekarang aku akan dengan sangat cepat (mungkin hanya perlu waktu 2 detik) untuk menjawab semua perkalian 1 sampai 10, tidak perlu menggunakan kalkulator.

Selain menggunakan metode pembelajaran yang sangat mudah dan ampuh, beliau selalu merangsang kami untuk berkompetisi secara jujur, siapapun yang mendapat nilai tertinggi akan mendapatpisang goreng atau ubi (singkong) goreng yang beliau bawa dari rumah saban hari. Percayalah kelezatan pisang goreng atau ubi (singkong) goreng itu tak tertandingi oleh pisang goreng atau ubi (singkong) goreng manapun di dunia ini, ketahuilah beliau juga seorang master chef. Namun, untuk murid yang mendapatkan nilai terendah beliau selalu memotivasi dan meletakkan keyakinan bahwa kami semua mampu untuk menjadi yang terbaik, beliau tidak pernah sekalipun mempermalukan kami, sebaliknya beliau selalu menanamkan dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri kami.

Kejujuran adalah nilai pertama dan utama yang selalu beliau ajarkan kepada kami,perbuatan curang seperti  menyontek atau kegiatan semacamnya adalah “dosa besar”, beliau tidak marah jika ada dari kami yang kedapatan menyontek atau melakukan kegiatan curang lainnya, beliau selalu senyum dan memberikan kami nasihat dan contoh-contoh tidak baik akibat melakukan kecurangan di sepanjang hari itu, bahkan beliau juga akan datang kerumah untuk memberitahu perbuatan kami pada ayah dan bunda kami.

Di setiap akhir bulan, biasanya hari sabtu sepulang sekolah beliau mengundang ayah dan bunda kami kesekolah, untuk membicarakan perkembangan kami.  Berbicara dari hati ke hati dengan orang tua kami untuk mencari jalan keluar dari seluruh masalah yang dihadapi oleh anak-anak didiknya. Pada kesempatan itu pula beliau biasanya mengumumkan man of the month pada bulan itu, kebanggaan dan motivasi tersendiri bagi kami dan juga orang tua kami.

Di bulan Mei tahun 1989, kami menghadapi EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) untuk dapat lulus dari sekolah dasar, kemudian melanjutkan ke sekolah tingkat pertama. Dihari-hari itu saban pagi kami melihat beliau dalam keadaan kurang tidur, seorang dari kami bertanya pada beliau, “kenapa ibunda diharai-hari belakangan ini, kelihatannya seperti kurang tidur?”,dengan senyum yang menyejukkan itu beliau menjawab, “dihari-hari terakhir ini, saban malam ibunda terus berdo’a kepada Tuhan, semoga kalian putra-putri ibunda dapat lulus dalam EBTANSA nanti”. Alhamdulillah, do’a beliau dikabulkan Tuhan, kami semua lulus dengan nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni) rata-rata yang sangat memuaskan. Sungguh, beliau telah memberikan baktinya kepada kami dengan segenap jiwa dan raganya.

Ibunda, berkat seluruh budimu pada kami, terutama pada ananda, ananda sekarang telah bekerja sebagai seorang perencana di sebuah lembaga penelitian terbaik di negeri ini, dan sungguh ananda bahagia telah mampu menggapai cita-cita ananda. Ibunda, kami anak-anak muridmu tidak pernah berputus harapan dan berhenti untuk menggapai cita-cita kami, kami akan hancurkan semua tembok yang menghalangi kami untuk menggapai cita-cita kami. Ibunda, sekarang memang tidak lagi selalu bersama ananda, namun ibunda selalu hidup di hati dan fikiran ananda selamanya, ya selamanya. Semoga Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu mengasihi dan menyayangimu,Ibunda.

Ikuti tulisan menarik Taufik Hidayat _ lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB