x

ilustr: ZULA.sg

Iklan

Diana Susilowati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Selasa, 16 November 2021 08:41 WIB

Patah Hati Pertama

Cerita tentang Aku, yang kehilangan ayahku

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

... Patah Hati Pertama ...

 

.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

.

.

 

 

Aku lahir dari keluarga sederhana, dengan Ayah dan Ibu yang menyayangiku dan seorang adik perempuan yang aku sayangi, ya walaupun kami kerap kali bertengkar karena hal kecil. Aku selalu mencoba melakukan segalanya dengan baik, aku ikut program bimbingan belajar diluar sekolah dengan bantuan dari tanteku. Aku sebenarnya tak berniat kuliah setelah lulus sekolah. Aku cukup tau diri untuk tidak meminta hal mewah itu kepada kedua orang tuaku.

 

Namun ayahku, ia sangat ingin anaknya sampai ke jenjang universitas. Dengan bantuan keuangan dari keluarga ayah, aku pun akhirnya kuliah.

 

Aku masuk ke Universitas negeri yang cukup terkenal di kota Malang. Jujur, aku merasa senang karena dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi, namun disisi lain, aku khawatir, aku khawatir karena aku kuliah, ayahku harus berlari lebih cepat daripada biasanya untuk dapat membayar semua tagihan pendidikanku.

 

Aku yang mulai merantau di daerah lain pun mulai beradaptasi, awalnya aku banyak menghabiskan uang, untuk biaya hidup, dan selalu minta uang tambahan, dan tanpa kuketahui, uang tambahan yang ayahku kirimkan padaku adalah uang untuk menebus obat beliau yang saat itu terkena penyakit jantung.

 

Ayah, rela hanya menebus setengah untuk resep obatnya, agar sisa uangnya bisa beliau kirimkan padaku. Ayah cukup sering bolak balik ke Malang untuk menengok, maklum karena aku masih mahasiswa baru, aku harus mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan kampus yang diselengarakan tiap weekend.

 

Namun tiba saatnya, ayah tidak berkunjung.

 

Sore itu, aku sangat amat lelah karena mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat disebuah playgroup. aku yang tadinya berencana pulang mengurungkannya, karena sangat lelah kala itu.

 

Namun adikku mengatakan jika ayah sakit, dan aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Saat itulah telpon dari Bibi saya masuk, beliau  memberitahu hal yang sama dengan yang adikku katakan,  jika ayah sakit.

 

“kamu jadi pulang kan  Rena?” tanya Bibiku diseberang sambungan telepon,

 

“jadi bibi, ayah sakit, aku pasti pulang” ucapku, dan Bibiku langsung memutuskan sambungan telponnya setelah mengatakan padaku untuk hati-hati dijalan.  Akupun segera bergegas ke terminal dari kampus tanpa pulang kekost untuk mengambil barang-barang.

 

Diperjalanan perasaanku diliputi rasa khawatir dan gusar, hingga perutku mual  bukan main, tanganku terasa sangat amat dingin dan sekujur tubuhku tak berhenti mengeluarkan keringat. Firasat buruk menghantuiku kala itu.

 

Aku berusaha untuk tetap berpikiran positif, jika ayah pasti menungguku. Namun saat bis berhenti di tempat perhentianku, aku lari bergegas  menuju rumahku, mengabaikan tubuh lelahku dan juga nafasku yang mulai terengah karena berlari. Saat aku hampir sampai  dirumah,  aku melihat hal yang membuat luttuku lemas dan air mataku mengalir begitu saja, kereta jenazah yang terparkir didekat rumahku. Aku berlari semakin cepat menuju rumah,

 

sambil berusaha mengatakan pada diriku,

 

“mungkin tetangga, tidak mungkin ayah” kataku saat itu, pada diriku sendiri.

 

Namun firasat yang kurasakan sejak tadi ternyata benar, ayah sudah terbujur kaku diruang tamu, dengan ibuku yang duduk disisi jenazahnya, memelukku erat, sambil menangis, memintaku agar mengikhlaskan kepergian ayah, ibuku berusaha untuk menangkanku, namun saat itu aku tidak bisa menangis, aku tercekat, nafasku memburu, aku tak percaya jika ayah sudah tiada, bagiku, ayah tertdur bukan pergi untuk selamanya.

 

Namun saat pamanku membuka penutup wajah, disitu aku melihat ayah, wajahnya cerah seperti tertidur, namun saat kugenggam tangannya, tangannya begitu dingin, saat itu aku mulai menangis, ayah, memang sudah meinggalkanku.

 

“kamu yang sabar, ikhlasin  ayahmu” kata itu yang terus kuterima dari semua anggota keluargaku.

 

Namun, bagaimana caranya aku harus sabar dan ikhlas? Aku kehilangan sosok ayah yang selalu menjadi support system bagiku. Aku kehilangan sosok ayah yang bijaksana, dan mencintai keluarganya dari apapun. Aku kehilangan sosok ayah yang handal dalam memasak, aku kehilangan sosok ayah yang selalu bisa membuatku tertawa. Aku kehilangan ayahhku diusia 19 tahun.

 

Aku bertemu pandang dengan adikku yang masih berdiri jauh dari jenazah ayah, kami berpelukan begitu erat, menangis meraung karena ayah pergi meninggalkan ibu, dan kami puetri-puterinya.

 

Patah hati pertamaku, adalah harus menerima kenyataan jika ayah, tidak akan bisa menyaksikanku di wisudaku saat aku lulus nanti. Ayah juga tidak bisa melihatku menikah nanti.

 

Dan kata yang sangat ingin aku ucapkan pada ayah pun tertelan begitu saja, aku ingin mengatakn pada ayah jika,

 

“ayah, aku mencintaimu, aku sayang padamu, maafkan aku jika aku terus menyusahkanmu, jika aku tak pernah mengerti bagaimana keadaanmu, ayah, mungkin kini kau sudah ada ditempat yang jauh, tapi aku berharap doa-doaku akan sampai kepadamu, tolong tetap jaga aku dari sana, tolong tetap perjhatikan aku dari sana, sampai jumpa lagi ayah, kita pasti akan bertemu lagi, setelah waktuku habis didunia ini”

 

 

Ikuti tulisan menarik Diana Susilowati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu