x

illustr: Everyday Health

Iklan

Setya Tini

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Selasa, 16 November 2021 12:21 WIB

Tuhan, Apa MauMu?

Cerpen

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini hujan, ada sesak dalam hatiku yang enggan hilang meski sudah kuhibur diri dengan secangkir kopi hitam. Tetesan air dari genteng yang bocor dimana mana beradu dengan panci dan ember dibawahnya menciptakan melodi yang menyayat hari. Ah, sial betul aku hari ini, batinku. Kuamati lagi pelataran rumah, ada bertebaran biji jagung yang terjatuh tadi saat harus mengangkat jemuran dengan terburu buru. Bukan rejekiku, mungkin rejeki miliki ayam tetangga.

Aku beringsut dalam kursi kayu tua yang kududuki, dan mulai mendengarkan dua sisi dari dalam diriku yang saling bergelut. Hari ini adalah ulang tahun ayahku.

"Kamu tidak ingin meneleponnya?" Ujar Ani

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Seandainya bisa, mungkin"

"Kamu merindukannya, berdamailah dengannya, Ya"

"Aku merindukannya, tetapi rinduku mungkin tak ada harganya, kau tahu itu"

"Masih belum bisa berdamai?"

"Seandainya dia tidak pernah membuatku ada didunia ini, itu lebih baik daripada apa yang kudapatkan saat ini"

Aku menghela napas, sekali lagi kuamati hujan diluar, nampak jatuh beriringan. Aku punya banyak kenangan tentang hujan. Banyak sekali. Sehingga dengan melihatnya saja aku sudah merasa sesak.

"Dulu sekali, saat masih duduk dibangku SMA, pernah sekali waktu aku bermandikan hujan berjalan hampir 10km jauhnya. Pundakku kelu menahan berat ransel berisi baju yang kian berat karena air hujan. Kakiku menjadi hampir mati rasa karena kedinginan, tubuhku gemetar karena menahan lapar seharian"

"Apa yang kamu lakukan dengan semua itu"

"Waktu itu ada kegiatan dari sekolah, tak satupun dari keluargaku yang peduli, bahkan saat aku belum kembali pada pukul 9 malam. Tak ada yang berbicara padaku ketika aku tiba, sungguh, sakit sekali rasanya. Apa kau tahu rasanya berjuang dan bersabar tetapi tak seorangpun menghargaimu?"

"....."

"Aku bahkan tak pernah mengeluh saat mereka membuatku membantunya berjudi, saat aku harus mengasuh anak mereka, membersihkan rumah dan merawat mereka ketika mereka sakit"

"Kenapa kamu tidak lari"

"Aku lari. Dan sekali lagi, kesialan ini terus berlanjut"

"Apalagi yang terjadi"

"Dunia ini kejam, hidup ini memang keras. Pada perjalanan hidupku yang pertama, ketika aku lari dari keluarga yang membuatku harus berjudi, aku jatuh pada sarang penjilat yang membuatku harus kehilangan semua berkasku, ijasahku, semuanya"

"Kenapa itu terjadi"

"Aku lari. Lari dari tempat dimana aku harus bekerja sebagai babu tetapi mereka tidak membayarku. Aku lari dari tempat dimana aku harus terus menahan lapar, cemohan, dan hinaan"

"....."

"Kau tahu apa salahku?"

"Tidak"

"Sama. Aku juga tidak"

"Lalu, bisakah kita berdamai dengan semua itu sekarang?"

"Apa kau bisa berdamai dengan alasan yang membuatmu harus hidup dalam penderitaan seumur hidup?"

"....."

"Apakah kamu bisa berdamai dengan alasan yang membuatmu disebut anak haram bahkan sebelum kamu tahu siapa orang tuamu?"

"Hidup kadang tak perlu dipahami, Ya. Semua itu sudah terjadi"

"Ya, semua sudah terjadi, tetapi aku adalah korbannya. Kenapa aku yang harus berdamai dan bukan mereka yang memohon padaku Ni?"

"Apa gunanya mengutuk semua itu?"

"Lihatlah hidupku sekarang"

Aku diam. Dia diam. Dadaku sesak seperti ingin meledak namun tak terjadi. Omong kosong macam apapun, apakah akan memperbaiki hidup yang sudah kacau ini? 

"Pernah suatu ketika aku bertandang ke ahli agama. Mereka bilang, aku harus bersabar dan berserah diri. Baiklah, aku sudah bersabar, lalu harus berserah diri yang bagaimana lagi? Hidupku sudah hancur macam ini. Ibadahku tak pernah terlewat, sedekahku sudah tak perlu ingatkan, lalu kenapa? Kenapa tuhan bahkan membuat seorang pelacur bahagia? Tetapi aku tidak. Apa sebenarnya masalah Tuhan denganku?"

"Baiknya kamu jangan mempertanyakan Tuhan, Ya"

"Kau larang aku mempertanyakan orang tuaku, larang juga bertanya tentang maunya Tuhan. Lalu apa? Ini semua salahku?"

"Bersabarlah"

"Sakit hatiku, Ni. Tak ada satupun yang bertanggung jawab padaku. Orang bilang aku hanya harus berusaha untuk diriku sendiri, lalu apa? Aku selalu pergi dari satu kedzaliman hanya untuk ditemukan oleh kekejian yang lainnya"

"Bersabarlah, Ya"

"Kau pernah dihina oleh pria yang kau cintai hanya karena kau miskin dan anak haram? Jika belum pernah, jangan lagi kau bilang aku harus bersabar. Kau pernah tidur diterminal karena tak punya uang untuk meneduh? Jangan menasehatiku untuk bersabar, jika begitu"

SUDAH!!!!!!!!

Teriakku pada dua sisi dalam diriku yang tak mau berhenti saling beradu. 

Hidup hanyalah proses untuk mati, tak ada yang perlu ditangisi. Tak perlu pula untuk mencela. Tetapi, apakah benar untuk hanya berpasrah? Kupikir tidak. 

Hujan tetap tak berhenti, kopi di gelasku juga telah kandas. Apakah besok akan lebih baik dari hari ini, tak ada yang tahu. 

 

 

Ikuti tulisan menarik Setya Tini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler