x

Iklan

Matea Nirmala

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Sabtu, 20 November 2021 08:51 WIB

Seratus Hari

Semoga bahagia, Anakku Cantikku. Semoga bahagia. Kisah Cantikku, Aku, dan mereka yang sedang berjuang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Lagu untuk membaca : https://youtu.be/vDdu_hr7Wu8 )

.

.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

.

Anakku.. Anakku..

Cantik sekali anakku. Wajah bulat kecil dengan hidung mancung, dibingkai oleh rambut hitam panjang yang menjuntai hingga pinggang. Kulitnya tidak seputih dan sebersih cat putih yang baru dioles maupun porselen ditoko mewah yang bersih dan berkilau. Namun miliknya tetap selembut awan dengan warna kecoklatan yang menghangatkan. Masih teringat saat pertama kali anakku membuka matanya untuk memulai masuk dalam riuh kehidupan. Bahagia, haru, sekaligus takut. Takut nantinya Cantikku tidak mampu menghadapi dunia yang semakin lama semakin banyak mengambil ruh dan nyawa manusia.

Menginjak delapan tahun kehidupannya, aku dapat yakin berkata jika anakku bahagia. Tidak ada tangisan, tidak ada ketakutan dalam matanya, tidak ada keraguan dalam setiap keputusannya. Harusnya seperti itu, namun aku tak tau apakah sesungguhnya ada sesuatu yang jahat telah menggangu anakku, tapi sungguh saat ini aku tak tau.

Saat terik matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri, anakku sudah beranjak dari tempat berbaringnya untuk menghampiriku didapur. Saat melihatku dengan celemek biru bermotif bunga yang dipilihnya khusus untukku, ia tersenyum kemudian menyapa dengan suara serak khas bangun tidur meskipun tangannya masih sibuk mengucek mata menghilangkan sisa kantuk semalam.

 “Cantik semalam tidur nyenyak?”,

“Nyenyak dongg.. Kan dipeluk semalaman. Baru tutup mata sudah pergi ke mimpi hehe.” Ucap Si Cantik tertawa kecil  dengan dua jempol yang diacungkan kearahku. Aku tersenyum, anakku lucu sekali.

“Ya sudah. Sekarang mandi, liat tuh sudah jamberapa.” Tanganku menunjuk kearah jam dinding yang ada di dekat meja makan kami, dan sedetik kemudian anakku langsung lari menyambar handuk.

Telur goreng dan mie sayur yang telah kubuat sedari pagi mulai kususun dalam tempat bekal merah muda kesayangan anakku, tidak lupa sendok kecil karena si Cantik ini sangat memperhatikan kebersihan, dia tidak akan pernah membiarkan jari-jarinya penuh minyak dan bekas makanan. Jika sampai seperti itu, bisa dipastikan dia akan mengomel sepanjang hari perihal tangannya yang bau dapur.

Seperti anak kecil pada umumnya, anakku kurang bersahabat dengan sayuran. Rasanya aneh, pahit, dan tidak enak saat dikunyah, ungkap anakku saat ditanya alasannya mengapa tidak mau mencicip sedikit saja masakan jenis ini. Dan juga aku seperti ibu lainnya, berusaha membuat anakku memakan sayuran meskipun hanya segigit, bahkan hanya setengah gigit dengan mencampurkan bahan itu kedalam makanan favoritnya. Urusan nanti dia akan melahapnya atau tidak, itu urusan belakang.

“Sudah?” Anakku mengangguk. Seragam merah-putihnya sudah ia kenakan dengan rapi begitupun dengan kakinya yang juga telah terbalut sepatu.

“Jangan lupa nanti belajar, dan jadi anak baik.”

 

Anakku.. Anakku..

Masa remaja memang tidak semenyenangkan drama di televisi maupun semenyenangkan ekspektasi pikiran dari masa kecil kita. Pencarian jati diri tidak semudah memetik bunga rumput di tanah. Kau harus memanjat, setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya, bila perlu kau harus bisa terbang ke cakrawala. Namun tetap ingat untuk jangan pergi terlalu jauh keluar batas, atau kau tidak akan bisa bernafas.

Di lima belas tahun kehidupan, mungkin anakku ini sudah melalui hal yang tidak pernah disangka-sangka. Marah, sedih, kecewa karena keinginan yang belum bisa ia gapai, sudah menjadi satu dengan jiwanya.

Suatu hari dibulan kedua tahun itu, aku juga merasa ada yang berubah dari diriku. Tiba-tiba suaraku mengeras. Emosi yang tidak pernah aku banyangkan akhirnya muncul juga bersamaan airmata si Cantik anakku yang mungkin menahan kecewa. Aku tidak pernah bermaksud membuatnya menangis dan marah. Tapi hari itu aku juga lelah, banyak hal yang ingin aku utarakan, namun tengorokanku terasa tercekat, tak mampu mengucapkan apa yang sedari tadi terus berteriak di dalam kepalaku.

“Maaf,” suaraku bergetar. Jari-jariku terasa dingin, langkahku pun tak sampai masuk kedalam kamar Anakku. Berdiri, menunduk dengan sesal didepan pintu kayu yang hanya diam seakan mengolokku karena telah membuat tuan kamarnya memutuskan untuk mengurung diri.

“Maafkan aku. Aku tak mengerti kau, nak. Harusnya aku tak marah, aku- “

Aku terdiam kira-kira hampir 10 detik. Cukup lama untuk aku berusaha meruntuhkan egoku.

Apakah salah jika kau pernah tak sengaja marah? Aku juga manusia. Aku berhak dengan semua emosi yang aku rasakan.

‘Egois!’

‘Egois!’

‘Kau tidak pantas!’

‘Kau gagal!’

Air mataku semakin tidak bisa ku halau. Semua ini tidak aku inginkan. Bukan. Bukan aku yang ingin marah. Bukan aku yang ingin menjadi egois. Bukan aku yang tidak bisa memeluk anakku. Bukan aku yang tak bisa mencintai anakku.

“D-diam. Tolong jangan datang. A-aku mohon.“

Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Suara-suara itu kembali memenuhi telinga dan pikiranku. Seenaknya berlalu-lalang mengisi setiap sudut kepala yang mungkin sebentar lagi akan sesak oleh cemooh dari sesuatu yang bahkan aku tak tau darimana asalnya.

“Kau baik-baik saja?” Aku terkesiap saat sebuah suara kecil tiba-tiba terdengar tepat didepanku. telapak tangan yang semula berada dikedua sisi telinga, kulepaskan perlahan. Aku berlutut mensejajarkan tinggi badan kami, sambil tanganku kuulurkan untuk mengusap surai hitamnya yang sedikit kusut.

“Kenapa menangis?” Lanjut si Cantik anakku karena sedari tadi aku hanya diam sambil menatapnya.

Aku menggeleng cepat, “Tidak, hanya saja ada yang sedikit mengangguku.”

“Aku?”

‘Bukan, nak. tapi suara jahat yang selalu mengikutiku’

“Bukan, mana mungkin si Cantik ini mengangguku,” Aku tertawa kecil, mencubit gemas pipinya yang gembul.

“Cantik anakku,” aku menghela nafas pelan “Aku minta maaf, tidak seharusnya aku mempersulitmu dengan hal-hal seperti yang kulakukan tadi.”

Dan anakku, hanya mengangguk.

 

Anakku.. Anakku..

Didua puluh tahun kehidupanmu,

Ah, maaf. Kukira semuanya akan berjalan sesuai dengan rancangan dan mimpi-mimpi yang telah kita tempatkan dimomen masing-masing, yang telah kita susun sedemikian rupa. Namun mengapa semakin hari hatimu semakin retak? Apakah dunia terlalu jahat hingga hati anakku ini terus tertusuk bilah pedang yang datang dari berbagai sisi kehidupannya?

Terkadang aku bingung karena pada hari Senin biasanya kau tetap dengan senyum merekah Cantikmu, namun keesokan harinya dimalam sunyi, tangisan yang mati-matian kau sembunyikan, terus terdengar didalam kepalaku. Menyakitkan, sungguh menyiksa.

“Aku mendengarnya semalam,” ucapku kepada si Cantik.

“Apa? Mendengar apa?,”

“Kau menangis,” lanjutku sedikit pelan, takut anakku marah karena aku mengetauinya.

“Oh, ya. Tidak masalah.” Dia tersenyum kemudian menatapku, “Jangan khawatir, kau yang bilang semua ini tidak akan berlangsung selamanya dan akan sembuh seiring berjalannya waktu kehidupanku. Dan aku percaya.”

Kulihat punggungnya yang hilang dibalik pintu. Aku merasa senang tapi juga takut. Senang karena dia masih mampu tersenyum dihadapan dunia, namun juga takut jika nantinya dia tidak bisa lepas dari rantai tajam yang mengekangnya.

 

Anakku.. Anakku..

Bayangan sosok duapuluh tahunmu semakin lama semakin hilang tergantikan sosokmu saat ini yang mulai menata hatimu yang sudah hancur pada saat itu.

Kau mulai mendapatkan apa yang kau mau

Kau mulai mendapatkan arti sebuah senyuman yang sungguh membuat hatimu berdebar

Kau mulai menerima segala kesakitan, kekecewaan, penghianatan, ketidakterimaan yang ada dalam pikiranmu dan juga hatimu

“Tak mudah ya?” lirih si Cantik yang sekarang sedang duduk disampingku. Hamparan pemandangan dari atas bukit yang tidak terlalu tinggi ini menenangkan kami. Bunga yang mulai bermekaran, hijaunya rumput yang terlihat semakin indah karena baru saja tersapa hujan turut menemani kami berdua mengingat masa-masa itu. Delapan tahun, limabelas tahun, duapulu tahun.

“Tapi kau berhasil.” Balasku sambil menggengam tangannya.

“Ini semua berkat kau yang membantuku”

“Tidak.” Sergahku cepat. “Kau berhasil karena dirimu sendiri. Kau berhasil karena memang kau yang ingin sembuh dari luka itu. Bukan karena aku, ataupun orang lain yang kau temui. Tapi karena ini-“

Aku menunjuk kearah dadanya “-Ini yang berteriak menginginkan kebahagiaan dan kau tidak tuli ataupun menyerah memperjuangkannya.”

 

Anakku.. Cantikku..

Mungkin dalam sepanjang aku bersamamu, tak banyak yang bisa aku lakukan. Aku hanyalah seseorang yang lugu dan takut untuk memulai hal diluar kemampuanku. Mungkin dulu aku pernah menjanjikan kehidupan yang seindah cerita-cerita dalam novel fiksi remaja atau cerita romantis milik puan yang lain. Namun kenyataannya banyak lembaran kehidupanmu yang terisi oleh tinta merah bertuliskan penghianatan hingga kekecewaan. Aku berusaha menghapusnya. Mengapus tinta itu sehingga kertasmu tetap seputih buih ombak. Namun aku lupa jika ombak adalah air yang hanya bisa melunturkan, tidak untuk menghilangkan. bekasnya masih terpatri persis disana. Didalam hatimu.

Sudah berulang kali aku meminta anakku yang Cantik untuk mengganti saja kertas kusamnya yang sudah bernoda dan lapuk. Namun anakku berdalih jika kertas lapuk itu penuh dengan segulung film masa lalu yang tak ingin ia lewatkan untuk ditonton ulang. Saat aku bertanya mengapa, anakku hanya menjawab.

“Sakitnya sampai buat aku terbang tinggi, tapi sakitnya juga yang buat aku mendarat di tengah ribuan bunga matahari.”

Dihari yang keseratus ini, aku pamit. Kau tidak membutuhkanku lagi. Aku, maupun kau, sudah berdamai dengan segala sesuatu yang dulu memang tidak bisa kita gapai. Aku harap seterusnya hidupmu selalu sempurna, seperti angka keseratus yang melambangkan kesempurnaan, keutuhan, dan akhir. Semoga ini menjadi akhir dari riuh isi kepalamu, Semoga ini menjadi awal bunga matahari dalam hatimu.

Semoga bahagia, Anakku Cantikku.

Semoga bahagia.

 

TAMAT

 

Karya ini aku persembahkan untuk semua orang yang saat ini belum bisa berdamai dengan dirinya, belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Menjalani hidup memang tidak semudah kelihatanya. Namun jangan pernah membandingkan hidupmu dengan orang lain karena semua itu nantinya malah akan menambah luka dihidupmu. Mungkin sosok masa kecil yang ada jauh dilubuk hatimu pernah terluka seperti sosok ‘si Cantik’. Namun bukan berarti kau juga harus terluka. Peluk, cintai, dan jaga dirimu sendiri seperti ‘Aku’ yang berusaha menjaga ‘si Cantik’.

Jangan pernah lupa untuk bahagia. Hidupmu tidak bisa diulang kembali ataupun ditukar dengan hidup lainnya.

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Matea Nirmala lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB