x

Iklan

Dewi Oktaviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Minggu, 21 November 2021 08:03 WIB

Kini Aku Sadar


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andra Putra Wardana, itu adalah namaku. Seorang siswa di SMA yang cukup terkenal. Pendiam, ramah, dan suka berbagi, itulah aku. Tapi itu dulu karena semuanya telah berubah semenjak aku menjadi korban bully oleh teman-teman ku karena selalu dipandang lemah. Hanya ada satu yang ada di pikiranku saat ini, yaitu dendam.

“Brak!” suara keras yang terdengar ketika ku menggebrak sebuah meja. “Mana uangmu!” bentakku kepada orang di hadapanku hingga dia terdiam ketakutan. Ya, itulah aku sekarang. Ketua genk di sekolah yang suka membuat keributan, memalak uang, berkelahi, keluar masuk BK, dan tak heran jika aku dibenci semua orang, bahkan keluargaku sendiri.

“Ndra, apa alasan lu jadi ketua genk dan buat kerusuhan disini?” tanya salah satu anggota genkku. Aku pun hanya berdiri lalu meninggalkannya tanpa mengeluarkan kata sedikit pun. Sudah berkali-kali orang bertanya tentang itu, tapi sekali pun tidak pernah ada yang ku jawab. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kini ku dikelilingi oleh amarahku sendiri, terlebih lagi mengingat perlakuan orang-orang dahulu terhadapku. Kini pikiranku hanya dipenuhi oleh kalimat,”Mereka harus merasakan apa yang aku rasakan dulu.”

Suatu hari sekolah kami mengadakan perkemahan besar di dalam hutan selama 5 hari 4 malam. Kamipun sampai disana dengan berangkat bersama-sama. Sesampainya disana, kami mendirikan sebuah tenda dan mematuhi semua peraturan yang ada. Tetapi berbeda denganku yang sama sekali tidak tunduk aturan hingga aku nyaris dipulangkan ke sekolah.

Malam pun tiba, kini adalah waktunya bagi kami untuk melakukan perjalanan malam di tengah hutan. Tiba-tiba muncul pemikiran untuk menakut-nakuti teman-teman yang lain.

“Apa! Jangan aneh-aneh lah Ndra,” ucap salah satu anggotaku dengan wajah pucat karena takut.

“Jadi lu takut ya? Hahaha, santai aja. Kalian tinggal sembunyi, nanti kalau udah ada aba-aba dari gue, kalian muncul. Paham?” jelasku pada anggota genkku yang dibalas anggukan kemudian pergi menjalankan rencana.

Beberapa menit berlalu, akhirnya yang kami nanti muncul. Aku segera memberi aba-aba pada mereka. Tapi ternyata jauh dari yang kuduga. Mereka tidak muncul seperti rencana dan kini ku sadar, mereka telah menghkianatiku.

“Arrgghh, berani-beraninya mereka menghianati gue. Awas aja mereka kalau ketemu gue nantinya!” gumanku emosi sambil membanting sebuah batu yang ada di dekatku.

Kini ku benar-benar hilang kendali karena amarah yang ada pada diriku. Aku berjalan menjauh dari perkemahan, entah ku akan kemana. Putus asa yang ku rasakan, rasa sakit yang selalu ku bawa, amarah yang selalu membakarku, membuat ku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku nantinya.

Sedangkan di perkemahan sedang ribut mencari keadaanku yang tiba-tiba menghilang. Kini waktu menunjukkan waktu tengah malam, tapi aku masih belum bisa ditemukan sampai akhirnya ada yang berkata, “Untuk apa kita semua mencari Andra mati-matian kalau dia saja selalu menganggu dan membuat rusuh di sekolah!”. Tak hanya satu orang, hampir semua siswa mendukungnya dan akhirnya aku pun dinyatakan hilang.

Malam, pagi, siang, dan sore, ku lalui dengan berjalan kaki tanpa arah. Tak ada satu pun makanan yang kubawa, hanya sebuah senter milikku yang selalu ku genggam di tanganku. Aku istirahat sebentar di bawah pohon sambil memejamkan mataku karena seluruh tubuhku kehabisan tenaga.

“Nak, kamu tidak apa-apa?” tanya seseorang tiba-tiba yang membuatku sontak terkejut dan membuka mataku.“Siapa kamu?” tanyaku reflek pada kakek tua di depanku.

“Saya hanya penghuni di hutan ini. Apa kamu perlu bantuan nak?” tanya kakek itu kepadaku.

“Tidak perlu!” jawabku tegas kepada kakek itu.

“Tapi keadaanmu tidak baik-baik saja,” ucap kakek itu khawatir sambil memeriksa keadaanku.

“Jangan sentuh aku! Aku tidak butuh bantuanmu!” bentakku pada kakeknya. Kakek itu pun terkejut kemudian berjalan pergi.

Aku mencoba berdiri untuk melanjutkan perjalananku mencari perkemahan sekolahku berada, tapi ternyata keadaanku benar-benar lemah dan akhirnya ku terjatuh dengan sedikit berteriak kesakitan.

“Nak, biarkan kakek membantumu!” ucap kakek itu sambil berlari ke arahku lalu mencoba membantuku. Aku pun hanya bisa menurut karena aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Akhirnya kami tiba di depan sebuah gubuk tua dengan tinggi hanya 2 meter dan pintu dari potongan-potongan bambu yang dijadikan sebuah pintu. Di sekitar gubuk itu ada sebuah sumur tua, beberapa perabotan dari bambu dan tanah liat, lantainya yang masih berupa tanah dan kerikil, dan juga beberapa tanaman yang ditanam untuk bertahan hidup.

“Ini rumah kakek?” tanyaku pada kakek itu yang dibalas anggukan. “Aku harus tinggal disini?” tanyaku memastikan, kakek itu pun mengangguk lagi. “Aku harus tinggal di gubuk jelek ini? Hei, aku orang kaya. Jangankan tinggal digubuk jelek ini, tinggal di rumah biasa saja aku tidak mau!” jelasku dengan sombong karena tidak percaya dengan yang kulihat.

“Untuk apa kekayaan, jika sekarang saja kau tidak bisa menolong dirimu sendiri dengan kekayaan yang kau miliki,” ucap kakek itu sambil berjalan menggambil air yang membuatku diam seketika. “ini, minumlah. Kau pasti haus,” ucap kakek itu sambil memberikan segelas air lalu ku minum hingga habis.

“Udah magrib, ayo shalat dulu!” ajak kakek itu, tapi aku hanya terdiam. “Ada apa nak?”

“Aku tidak bisa shalat,”  ucapku yang membuat kakek itu terkejut kemudian jatuh terduduk sambil mengangkat tangannya dan melihat ke arah langit.

“Ya Allah, ampuni  lah anak ini. Sungguh dia adalah orang yang baik, tapi pergaulannya yang membuatnya lalai terhadap Engkau. Berikannya hidayah kepadanya Ya Allah, aamiin,” ucap kakek itu berdoa sambil meneteskan air mata. Entah apa yang terjadi padaku, hatiku terasa teriris-iris saat mendengar dan melihat kakek itu menangis.

“Kek,” panggilku pelan sambil menyentuh pundaknya. “Ajari aku shalat,” pintaku yang membuat kakek itu menatapku lalu tersenyum penuh syukur.

Waktu magrib hingga isya, kugunakan untuk mempelajari shalat. Kakek dengan sabar mengajariku cara shalat, mulai dari wudhu, niat, takbiratul ihram, hingga salam. Alhamdulillahnya kini ku sudah bisa shalat dengan tuntunan yang benar walau masih terkadang lupa bacaan dan belum terbiasa. Aku memperhatikan ke arah kakek yang sedang membaca sebuah buku dengan nada yang merdu. Karena ku penasaran, aku mencoba mendekati kakek.

“Eh Andra, ada apa?” tanya kakek kepadaku.

“Itu Al-Quran ya?” tanyaku memastikan. Kakek pun mengangguk dan memberikan Al-Quran itu kepadaku. “Bacalah!” pinta kakek kepadaku. Aku pun membuka Al-Quran itu lalu terdiam sejenak.

“Ada apa?” tanya kakek bingung.

“Aku tidak bisa membaca Al-Quran,” jawabku jujur. Kakek itupun hanya tersenyum.

“Kemarilah! Akan kakek ajarkan kau cara membacanya,” ucap kakek kepadaku. Aku pun hanya bisa menurut.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kakek menyuruhku untuk tidur. Di sini berbeda jauh dengan yang di rumah. Saat di rumah kasurku berupa kasur busa yang tinggi dan luas, tapi di sini bukan lah berupa kasur busa, melainkan tikar yang di atasnya diberi kapuk agar tidak kedinginan. 

Aku menyapu pandanganku keruangan itu dan menemukan sebuah kertas. Karenaku penasaran, akhirnya aku mengambil lalu membuka surat itu dan membacanya. “Pak, maafkan istrimu ini yang hanya membebanimu. Aku yang telah gagal menjadi seorang ibu untuk anak-anak kita. Anak kita tumbuh tanpa tuntunan agama dan akhlak yang baik. Terlebih lagi mereka terpengaruh pergaulan yang salah saat sekolah di kota. Dua anak kita kini telah pergi dan melupakan kita orang tuanya yang telah membesarkannya,” bacaku dalam hati. 

Air mataku mulai menetes tanpa ku sadari. Akupun menyeka air mataku itu lalu melanjutkan membacanya.

“Jika waktu sudah habis, jika badan ini hanya bisa terbujur, jika nafas ini tak lagi menghirup udara, jika tawa dan tangisanku tak lagi terdengar, dan jika aku hanya tinggal nama saja, aku harap Allah mengampuni semua dosa-dosaku selama ini. Dan aku juga berharap jika nanti bapak bisa menemukan seorang anak yang akan bapak tuntun ke jalan kebenaran, yaitu kepada jalan yang diridhoi-Nya. Surat terakhir dari Istrimu tercinta.” 

Kini aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Kini ku tau alasan kenapa kakek itu sangat baik kepadaku. Rela mengajariku sesuatu yang berharga, dan menangis karenaku. Ku melihat ke arah kakek yang masih duduk di ruang tengah sambil mengamati foto keluarga lengkapnya. Aku tersenyum dalam tangisku dan berkata dalam hati, “Hari ini banyak pelajaran yang aku dapatkan dari seseorang yang sangat kuat menghadapi segala yang ada.”

Besoknya, kakek masih mengajariku berbagai macam hal juga arti kehidupan. Mulai dari mencari kayu di hutan, mengajari cara menemukan arah saat tersesat di hutan, memasak, sabar, ramah, ikhlas, saling memberi, arti kesederhanaan, dan kadang jika ku tidak mau makan karena masakannya tidak enak, kakek hanya bilang, “Jika kau ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Syukuri apa yang kamu dapatkan karena tidak semua orang beruntung sepertimu.”

Kini adalah hari terakhir aku disana. Kakek masih saja menasehatiku dengan cara halus sebelum ku berpamitan untuk pulang.

“Nak, perlakukan orang lain seperti kau ingin diperlakukan orang lain. Hargai mereka, jangan pandang harta dan kedudukannya. Jika kau disakiti, jangan jadikan itu dendam, tapi jadikan itu pelajaran dengan keikhlasan,” pesan kakek kepadaku sambil memegang pundakku.

“Iya kek,” ucapku dengan suara yang sudah mulai serak.

“Semua orang punya masa lalu, dan semua orang punya masa depan. Semua orang punya hak yang sama untuk berubah. Berubah ke arah yang baik atau buruk, itu adalah pilihan. Kakek tau sesakit apa perjalanan hidupmu, tapi apapun itu, kamu harus bisa menjadi lebih baik lagi!” kakek melanjutkan nasihatnya.

“Setelah sekian lama, baru kali ini ada orang yang sebaik ini kepadaku,” batinku yang tidak bisa menahan air mataku lagi.

“Saatnya kita berpisah nak. Kakek harap setelah ini, kamu bisa berubah. Bawalah ini, itu akan menjadi petunjuk hidup untukmu,” ucap kakek sambil memberikan Al-Quran emas beserta artinya. Untuk yang terakhir, aku mengucapkan banyak terimakasih kepada kakek sambil memeluknya dan kemudian pamit pulang menuju perkemahan.

“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam saat sudah berada di perkemahan. Semua orang terkejut tidak percaya saat aku hadir. Semua orang mulai berburuk sangka terhadapku karena sebelumnya aku adalah Andra sang ketua genk. Aku hanya tersenyum dan berkata pada diriku sendiri, “Kau sudah berubah. Kau harus berubah. Kau bukan Andra yang dulu. Jadilah Andra yang selalu bermanfaat untuk orang lain.”

TAMAT

Ikuti tulisan menarik Dewi Oktaviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu