x

sumber pixabay.com

Iklan

Ida Bagus Weda Wigena

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 24 November 2021 18:44 WIB

Merdeka Belajar sebagai Pendidikan Postmodern dan Kisah Terapannya

Artikel ini dibuat untuk dikompetisikan dalam Lomba Penulisan Artikel Indonesiana dengan tajuk Guru Bicara Pendidikan dalam rangka Hari Guru Nasional 2021. Selain itu, artikel ini diharapkan dapat menambah wawasan khalayak umum penikmat pendidikan dan juga bagi pendidik, serta dapat dijadikan bahan perbincangan dan pengembangan-pengembangan di kemudian hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari baru itu dimulai beberapa tahun lalu, saat dedengkot kabinet baru yang dinamai Kabinet Indonesia Maju mulai bekerja dan menjalani kewajibannya memajukan Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga tidak luput dari perubahan dan penyegaran. Perubahan dari segi nama dan mandat menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga penyegaran tokoh penanggung jawabnya yakni Mendikbudristek yang baru, muda, dan segar, diharapkan dapat membawa angin segar pada dunia pendidikan di negeri nusantara ini. Tidak perlu menunggu lama, angin segar itu pun berhembus pada awal kepemimpinannya. Salah satu yang diterbangkan angin segar itu adalah Merdeka Belajar.

Jika mendengar kata Merdeka Belajar, yang terpikirkan adalah kebebasan dalam belajar. Apanya yang bebas atau merdeka? Inilah yang masih banyak disalahpahami oleh banyak orang terutama penikmat pendidikan termasuk orang tua peserta didik. Seperti kutipan langsung dari Bapak (Mas) Menteri dalam berita CNN Indonesia, bahwa orang tua peserta didik dan guru masih banyak yang bingung tentang konsep merdeka belajar. Wajar mungkin bingung, karena hal ini memang bisa dikatakan sangat baru dan menyegarkan khususnya di dalam “dunia tempurung” pendidikan Indonesia yang dari dulu memang benar-benar seperti terjebak di dalam “dunia tempurung”. Apalagi kalangan orang tua peserta didik dan guru masih banyak yang berasal dari generasi X dan generasi Y. Apa itu generasi X,Y,Z? Coba tanya sama Google.

Kembali ke Merdeka Belajar. Pada dasarnya konsep ini adalah sebuah pengembangan pendidikan, yang berorientasi pada pembelajaran sesuai dengan minat, bakat, serta dinamika perubahan lingkungan fisik dan sosial peserta didik. Peserta didik bahkan hingga mahasiswa dibebaskan memilih dan mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Perlu digarisbawahi juga, bebas atau merdeka tersebut tentunya masih terikat pula dengan aturan dan hukum. Jadi, sederhananya lagi Merdeka Belajar diharapkan dapat menjembatani peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka, dengan pelabuhan akhirnya berupa lahirnya warga negara masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia (terutama jujur dan antikorupsi), adaptif, kreatif, inovatif, berkeatifan lokal dan berwawasan global.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sungguh mulia bukan?

Cita-cita dan harapan tersebut melalui program Merdeka Belajar secara mendasar sebenarnya sejalan dengan kondisi kehidupan saat ini yang disebut era postmodern. Dunia pendidikan khususnya di Indonesia memang sudah seharunya berubah supaya dapat menghadapi tuntutan era posmodern. Apa itu posmodern? Menurut sebuah buku karangan Dr. A. Yusuf Lubis, postmodern adalah perubahan budaya terutama gaya hidup dan pola pikir masyarakat akibat perkembangan IPTEK. Ciri-ciri kehidupan posmodern adalah 1) banyak ketidakpastian yang memunculkan berbagai macam kemungkinan, 2) berpola pikir global namun tetap berpijak pada kearifan lokal, 3) identitas bersifat situasional dan beragam, 4)  gaya hidup episodik, berpindah-pindah, mudah bosan, dan pekerjaan cenderung dinamis, serta 5) masyarakat yang multikultural, mengedepankan keberagaman dan pluralisme.

Jika dihayati, dirasakan, dan disesuaikan dengan kehidupan saat ini, ciri-ciri era postmodern tersebut sebagian besar bahkan seluruhnya sudah terjadi ataupun mulai terjadi. Berbagai macam kemungkinan bisa terjadi di era sekarang, dan penuh ketidakpastian. Semua disebabkan oleh perkembangan IPTEK yang mulai menggerogoti batasan ruang dan waktu. Misalnya, siapa sangka media sosial bisa memberikan penghidupan yang amat sangat layak bagi beberapa orang. Pilihan pekerjaan saat ini sudah sangat kompleks, bahkan banyak bermunculan jenis pekerjaan baru seperti youtubers, influencer, tukang ojek online, traveler, online shop, gamers, freelancer, dan sebagainya, yang awalnya dirasa tidak mungkin dapat menghasilkan uang apalagi dimata generasi X dan Y. Batasan identitas kultural, agama, etnis, dan ras sudah mulai memudar karena semua sudah menjadi satu  kesatuan dibawah panji keberagaman dan pluralisme global, hal itu terbukti dari menjamurnya kampung-kampung global semacam Ubud, Kuta, Labuan Bajo, dan kampung global lainnya di seluruh dunia.

Situasi tersebut mengharuskan semua orang untuk bersiap dan bergerak cepat untuk menghadapi segala bentuk perubahan-perubahan kehidupan masa kini (posmodern). Kalau tidak cepat dan adaptif, harus siap-siap tertinggal. Dinamika kehidupan sosial budaya postmodern yang dituliskan singkat tersebut, telah membongkar fondasi pendidikan konsep lama dan merekonstruksikannya dengan program Merdeka Belajar. Program Merdeka Belajar diharapkan mampu menyiapkan generasi emas Indonesia menjadi bagian dari persaingan dunia yang semakin fluktuatif dan dinamis. Negeri tercinta ini masih perlu banyak generasi cerdas, inovatif, tangguh, dan tentunya jujur untuk mampu menciptakan banyak lagi unicorn sekelas traveloka, gojek, bukalapak, dan tokopedia. Bahkan bila perlu naik kasta lagi menjadi decacorn dan hectocorn. Apa itu unicorn, decacorn, dan hectocorn? Coba tanya Bapak Jokowi atau Bapak Prabowo, kalau tidak bisa tanya saja sama Google.

Lalu, apa masalahnya dalam rangka menerapkan Merdeka Belajar?

Hasil pengalaman kancah penulis, ternyata masalahnya 1) masih ada beberapa guru dan orang tua peserta didik yang belum memahami konsep Merdeka Belajar, tapi hal ini sudah dibahas tadi. Sosialisasi intens menjadi salah satu pemecahannya. 2) Sebagian kecil peserta didik masih belum memahami potensi, minat, dan bakat dirinya sendiri, bahkan ada beberapa peserta didik yang mengaku tidak punya minat dan bakat. Ada pula yang nyeletuk mengatakan bahwa bakatnya adalah di bidang pemanfaatan nilai guna kasur dalam rangka mencapai cita-cita semu (kata lainnya berbakat tidur dan bermimpi indah). Upaya melenyapkan masalah ini perlu disegerakan. Tokoh yang berperan utama untuk menyelesaikannya adalah kombinasi guru mata pelajaran, guru BK, dan orang tua. Tetapi tidak semudah itu, kadang masalah juga muncul dari tokoh-tokoh tersebut. Masalahnya 3) beberapa guru mata pelajaran, beberapa guru BK, dan beberapa orang tua juga sulit mengidentifikasi minat, bakat, serta potensi anak/ anak didiknya. Kadang ada ketakutan mereka merekomendasikan jalan yang salah karena salah identifikasi. Masalah berikutnya, dan mungkin ini yang terakhir disebutkan dan dirasakan sebagian kecil pendidik adalah 4) beberapa guru sepuh masih tetap kukuh dengan metode klasiknya, bahkan guru “lulus segar” pun masih ada yang menjadi penganut setia metode klasik, yakni metode ceramah terpusat pada guru. (ingat, ini bukan subjektif, ini adalah pengalaman pengamatan objektif yang menulis).

Pertanyaan berikutnya, mengapa semua masalah itu bisa terjadi? Hasil pemikiran yang masih dangkal ini menyatakan bahwa hal itu terjadi karena beberapa guru masih betah di zona nyamannya. Masih sulit mengubah pola pikir dan bergerak maju. Hingga celetukan tajam dari mulut yang berkaitan dengan ketiadaan keuntungan finansial dari melakukan perubahan. Mungkin memang aspek finansial menjadi faktor utama bagi beberapa individu, dan itu memang rasional dan manusiawi. Manusia memiliki kebutuhan yang sebagian besar bertumbuh kembang dari akar finansial. Postmodernisme juga menyatakan bahwa ciri kehidupan postmodern salah satunya adalah masyarakat konsumtif. Selain itu diubahnya sebutan guru menjadi Pahlawan Pembangun Insan Cendekia sebenarnya belum terwujud sepenuhnya, karena masih ada guru di negeri ini yang berstatus Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Cek saja beritanya di google.

Masalah-masalah tersebut pasti ada solusinya. Guru adalah pekerjaan profesional, salah satu poin profesionalnya yang terselubung adalah panggilan hati dan jiwa untuk mengabdikan diri mencerdaskan generasi muda tanpa memandang keuntungan-keuntungan balas jasa. Memang di era kini balas jasa juga penting demi kelangsungan hidup, olehkarenanya petinggi negeri ini sekarang sudah mulai memperhatikan dan mengubah nasib-nasib buruk guru-guru yang sudah bertahun-tahun mengabdi dibawah kelamnya isi dompet. Intinya, mungkin dengan perbaikan isi dompet guru dapat mengubah dan membuka pola pikir serta menggerakkan sebagian kecil guru yang masih terbelengu zona nyaman menjadi lebih bugar, produktif, dan adaptif lagi. Saran yang bisa disampaikan bagi seluruh guru dan penikmat pendidikan adalah teruslah mengabdi dan berkarya untuk mencerdaskan generasi emas Indonesia. Walaupun jasa mendidik mencerdaskan tersebut tidak terbayarkan sepenuhnya, guru harus atau wajib berpola pikir dan bergerak maju. Seperti kutipan dari sebuah lagu, “bekerja bersama hati, kita ini insan bukan seekor sapi”, dan seperti program yang dilaksanakan oleh Kemdikbud yaitu Guru Penggerak. Apa itu? Tanya lagi sama google, atau tunggu episode selanjutnya.

 

Refrensi:

CNN Indonesia. 2021. Nadiem: Ortu dan Guru Masih Bingung Konsep Merdeka Belajar. Tersedia pada laman daring: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210624133154-20-658861/nadiem-ortu-dan-guru-masih-bingung-konsep-merdeka-belajar. Diakses Tanggal : 23 November 2021.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Teori dan Metode Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ikuti tulisan menarik Ida Bagus Weda Wigena lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler