x

Bukan Bengkel Cinta

Iklan

Choirul Anwar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 24 November 2021 20:58 WIB

Bukan Bengkel Cinta

Betapapun, cinta diperjuangkan dengan bagaimanapun, Tuhan punya seribu kenyataan. Seperti kisah dalam cerita ini. Bahwa segala hal yang tak pernah terfikirkan, tapi itulah kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Alhamdulillah.. sip, beres.." raut ceria di wajahnya memancar seisi ruang, meski lantai penuh barang berserakan; obeng, kunci, oli, knalpot, selang kabulator, dan semua perkakas motor ada di lantai. Pertanda bahwa seharian penuh, orang-orang datang silih berganti, meminta Kabul mengatasi motor mereka yang butuh servis.

Kabul, begitulah kawan-kawannya memberikan nama sapaan. Meski nama aslinya adalah Misbah, tapi nama itu dirasa kurang gokil, sehingga kawan sepermainan mencari nama yang pas sesuai wajahnya yang lugu, pendiam, bermuka melas, dan orang melihat serba kasihan, akhirnya tercetus nama: Kabul.

Nama samaran itu, disematkan bukan tanpa alasan. Mungkin, mereka sengaja memberikan nama itu sebagai i'tikad baik, karena kata 'kabul' dalam bahasa arab berarti penerimaan atau terjawab. Alhasil, nama Kabul juga berisi harapan; agar semua keinginan yang tersemat di hatinya bisa diterima dan terjawab oleh Tuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Halaman depan bengkel sudah mulai petang, murotal ayat al-quran mulai terdengar dari toa masjid yang tidak begitu jauh dari rumah. Hati Kabul kembali bergeming, “Gak solat lagi.. ampuni hamba-Mu yang nakal ini.” Memang hanya bengkel-bengkel yang beriman dan taat yang sanggup menjalankan solat genap lima waktu. Sekalipun pekerjaannya diselesaikan di rumah, yang pasti dekat dengan air, dekat dengan pakaian ganti, dan dekat dengan ruang bersih untuk solat, tapi ketika badan sudah lekat dengan oli yang pekat membuat kewajiban solat semakin tidak mungkin dilakukan.

 “Gak masalah, yang penting maghrib dan isyak dilakukan.” Begitulah Kabul memaklumi dirinya. Sekalipun tidak genap, yang penting masih kelihatan solat sehari semalam, walau hanya dua waktu saja. Dan malam itu, Kabul sudah rapi. Peci hitam di kepala, baju koko dan sarung pemberian ibunya mewarnai badan yang sehari-harinya mungkin sama sekali berbeda dengan perawakannya di malam itu.

“Ehemm.. wes koyo mbah Moden.”  Tangkas ibunya sembari melipat baju cucian yang sudah kering dari jemuran. Sedang Kabul hanya tersenyum malu, di hatinya berbunyi, “Ya biar aku jauh dari kata suci, tiap hari tak sempat menghias diri, tapi sesekali biarlah hatiku ingat Tuhan yang sudah memberiku rejeki.”

Pakaian serba agamis, dilepas lagi, segera berganti baju yang biasa ia kenakan untuk pergi keluar. “Malam Minggu, waktunya main sama dedek manis.” Dan Kabul memang sudah dewasa, sudah masanya dia menjalani hubungan dengan seorang wanita. Tepat pukul 19.30 WIB, motor yang sudah bersih dan memang disiapkan sekinclong mungkin biar kekasihnya merasa nyaman saat berboncengan, dia tuntun keluar rumah. Tak lama kemudian, suara motor sudah meninggalkan halaman rumahnya. Kabul berbunga-bunga di jalan, sembari ia bayangkan wajah kekasih hatinya yang sering membuat matanya tak mampu terpejam setiap malam.

Di tempat yang berbeda, seorang wanita berdiri di sebuah teras kos-kosan yang tidak begitu luas. Kamar yang ia tempati hanya mampu menampung maksimal dua orang. Tiara namanya, wanita berparas cantik proporsional, kulitnya putih sejak kecil, hidungnya tidak begitu mancung dan tidak begitu pesek, bibirnya tipis, matanya lentik tajam, hingga Kabul tak mungkin sanggup melepaskan hatinya yang sudah ranum bertahun-tahun.

Dia seorang karyawan pabrik garmen di sekitar pusat Kota Jepara. Setelah menganggur selama setahun usai lulus dari bangku SMA, dia memberanikan diri untuk bekerja, karena keluarga tidak mungkin sanggup menanggung biaya kuliah setingkat sarjana. Hari Senin sampai Jumat dia habiskan waktunya di pabrik, dari pagi hingga sore. Dan hanya di hari Sabtu Minggu dia bisa melepaskan penat, setelah lima hari capek berdiri di depan mesin pemotong kain. Maka di hari itulah, dia sangat menanti kehadiran seorang pria yang begitu dicintainya, Kabul yang sedang dalam perjalanan.

Sekitar 30 menit ia berdiri, suara motor Tiger yang khas sudah terdengar. Tiara sangat lega, melihat Kabul sudah sampai di depannya. Alhasil, keduanya saling memandang, menarik bibir, luapkan senyum kerinduan. “Gasss....” Ucap Kabul tanpa basa-basi, Tiara langsung naik sambil menjawab, “Kemana Kita?” dan Kabul dengan tegas berkata, “Sak karepmu, sak senengmu...” roda pun berputar, gigi satu, dua, tiga hingga gigi empat dalam sekejap meninggalkan kos-kosan, menyisir jalan kota, tempatnya para muda beradu kemesraan.

Seolah tak peduli dengan lalu lalang kendaraan di kanan kirinya, mereka berdua begitu asik berbicara di atas motor. Kabul mulai pelan meredakan gas di tangan kanan, tersemat keinginan untuk mengajak Tiara makan sebelum dilanjutkan lagi berkeliling ke sudut-sudut kota. “Ayam goreng, bebek goreng, nasi goreng, apa yang enak?” tanya Kabul menawarkan, “Bakso aja ya.. aku mpun maem di kos tadi.” Tak lama kemudian mereka berdua berhenti di depan warung mie ayam.

“Kok mie ayam?” Tiara hendak protes.

“Dimana ada mie ayam, di situlah bakso juga ada.” Kabul memang pinter, tapi sedikit nyeleneh.

“Aku tetep pesen bakso.” Tiara memang wanita yang teguh pendirian.

“Oke, aku mie ayam biar imbang”

Mereka mulai pesan, tidak lama, mie ayam  dan bakso sudah di atas meja. Keduanya lahap, tapi Tiara sudah lebih dulu habis.

“Katanya sudah makan!” Ucap Kabul dengan senyum ejekan.

“Gatau, sama kamu tiba-tiba laper lagi.” Wanita memang pandai membuat alasan. Tiara tidak sabar ingin melanjutkan perjalanan, “Ayo cepet, cowok kok kalah sama cewek.”

“Oke sudah, aku yang bayar.” Tegas Kabul sebagai cowok yang sudah sepantasnya mengeluarkan uang

“Gak mau, aku yang bayar.” Karena Tiara juga punya uang, dia sudah bekerja tidak mau merepotkan pasangan

“emmm.. Ya wis.. iuran”

“Ayo!”

Masing-masing mengeluarkan uang dari dompet, dan kasir menerimanya. Kabul dan Tiara kembali naik di atas motor, melanjutkan perjalanan, berkeliling ke sudut-sudut kota.

Roda membawa sepasang kekasih itu melintasi jalan yang selalu ramai di malam hari. Bundaran Ngabul yang berdiri monumen Kartini, sepanjang Jalan Pecinan, Taman Kerang dan semuanya dilewati, hanya untuk melepas kerinduan. Akhirnya mereka berhenti di Alun-Alun Kota Jepara. Sembari memesan minuman yang ada di sekitarnya. Ada minuman khas wedang ronde, serta berbagai minuman seduh sachet yang dijual oleh pedagang lokal, ada juga penjual keripik, gorengan, jagung bakar dan masih banyak lagi.

“Biar hangat, pesen wedang ronde sama jagung bakar aja.” Tiara butuh cemilan

Sinar lampu kota menerangi keduanya, kursi-kursi berjajar rapi di sepanjang jalan, namun mereka memilih duduk di bawah tanpa alas. Cerita demi cerita mengiringi percakapan, silih berganti. Sembari menikmati wedang ronde yang hangat, ditambah nikmatnya jagung bakar membuat percakapan semakin dalam.

“Berarti aku ikut pulang lho ya, malam ini?” Ucap Tiara

“Ya iya dong.. keluarga punya hajat masak gak pulang.” Jawab Kabul menegaskan, bahwa memang kencan malam minggu itu sudah mereka niatkan untuk bertemu sekaligus pulang bersama. Karena tepat di hari minggu malam, keluarga Tiara sedang punya hajat, dan rencananya keluarga Kabul juga akan datang untuk membahas persoalan hubungan mereka secara serius.

“Kamu gak deg-degan buat besok?”

“Ndak lah.. siap lahir batin. Paling ibumu nanya soal keseriusan hubungan, soal komitmen, dan siap tanggung jawab apa nggak. Semuanya, Bismillah..”

Tiara lega mendengar jawaban Kabul yang begitu lugas dan percaya diri. Matanya yang lentik itu sedikit berkaca-kaca, terharu.

“Jangan nangis dong.. nanti orang-orang ngira aneh-aneh. Aku emang gitu orangnya, keren dan gentle, cowok banget.. jadi biasa aja.”

“Prett...”

Minuman mereka sudah habis, jagung pun sudah ludes, beberapa cemilan juga habis saking renyahnya obrolan. Beberapa orang berangsur-angsur meninggalkan alun-alun kota, Kabul dan Tiara juga sudah seharusnya pulang. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, dan mereka harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit untuk sampai rumah.

Mereka berdua pulang, dan sampai di rumah Tiara lebih cepat dari yang diperkirakan, hanya 30 menit. “Alhamdulillah, makasih ya... hati-hati pulangnya.” Ucap Tiara mengiringi Kabul yang langsung pamit, karena tidak mungkin mampir apalagi duduk di ruang tamu.

Antara rumah Kabul dan Tiara tidak begitu jauh. Masih dalam satu kecamatan beda desa, jarak antar desanya pun bersebelahan, hanya butuh waktu kurang dari 10 menit mereka bisa saling bertemu. Namun sepanjang hubungan mereka, memang seolah terpisah jarak, karena Tiara jarang pulang. Mungkin sebulan hanya terhitung sekali atau dua kali pulang, sehingga Kabul yang harus rela berkendara ke kota seminggu sekali agar mereka bisa bertemu.

Waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Pertemuan antar keluarga yang dilaksanakan bersamaan dengan momentum hajatan di rumah keluarga Tiara akan segera berlangsung. Alhasil, keluarga Kabul sedang sibuk di rumahnya untuk mempersiapkan diri dan juga mempersiapkan beberapa bekal. Pak Kus sudah siap dengan baju rapi, Mak Sum sudah cantik dengan gamis sisa idul fitri yang jarang dipakai, Mbah Wi karena sudah tua hanya mengenakan pakaian kebaya seadanya, begitupun Kabul sebagai anak kedua yang siap untuk mengarungi mahligai rumah tangga pun mengenakan pakaian serapi mungkin.

“Pokoknya, nanti gak usah bahas yang aneh-aneh. Kalau sudah sama-sama mantep, ya sudah mantep saja, lillahi ta’alaa.” Pesan Mak Sum, kepada semua keluarga yang hendak berangkat.

“Wes ayo.. gas..” Kabul yang selalu nyeleneh dalam suasana apapun, bahkan di saat yang mungkin orang lain merasa tegang, dia masih bisa merasa santai tanpa beban.

Pertemuan antar keluarga pun berlangsung, masing-masing ibu bersalaman, masing-masing bapak juga bersalaman, kecuali Kabul dan Tiara, tidak berani bersalaman seperti biasanya. Di tengah kehadiran para tamu yang datang sebagai undangan hajatan, keluarga Kabul dan keluarga Tiara memilih tempat yang cukup jauh dari para tamu, sehingga bisa melangsungkan obrolan tanpa sungkan.

“Ya Allah, kok tambah cantik nduk..” ucap Mak Sum memuji kecantikan Tiara yang memang sangat mempesona di malam itu. Sedang Tiara hanya tersenyum tersipu malu.

“Gimana? Kerjanya lancar kan?” Imbuh Mak Sum menanyakan sesuatu yang biasa ditanyakan seorang ibu pada calon mantu. Bisa juga berguna sebagai basa-basi agar tetap ada obrolan, sekalipun tidak begitu penting.

“Alhamdulillah Mak, lancar..” Jawab Tiara dengan halus dengan sedikit menundukkan kepala.

Tidak hanya Mak Sum dan Tiara. Mereka yang duduk di lingkaran kursi pertemuan pun saling berbicara satu sama lain, karena mereka sebenarnya sudah lama kenal. Hanya saja selama ini tidak pernah mengira, jika ternyata setelah anak keduanya tumbuh dewasa akhirnya saling jatuh cinta, sehingga hubungan mereka yang selama ini hanya sebatas tetangga, sebentar lagi akan menjadi keluarga besan.

Obrolan semakin lama semakin mendekati poin pembicaraan utama. Pertanyaan demi pertanyaan soal profesi Kabul sebagai bengkel terjawab dengan jawaban yang menggembirakan. Artinya, posisinya sebagai lelaki yang hendak meminang seorang gadis, terbilang cukup mampu jika dilihat dari kemapanan pekerjaan.

Begitupun dengan Tiara. Berbagai pertanyaan soal ketulusan hatinya untuk menerima Kabul yang apa adanya pun dijawab dengan jawaban-jawaban yang spontan membuat matanya berkaca-kaca. Membuktikan bahwa cinta Tiara begitu tulus dan sangat dalam.

Hingga tiba pada suasana yang semakin serius dan mendekati persoalan utama dari pertemuan keluarga. Mak Sum, membawa sebuah kotak berisi beberapa perhiasan dan amplop berisi nominal uang lalu diserahkan kepada ibunda Tiara sebagai syarat adat tunangan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertanyaan sekaligus jawaban hari lahir antar keduanya,

“Tiara, Jumat Wage”

“Kabul, Rabu Pahing”

Dalam sekejap, obrolan antar kedua keluarga pun berhenti, hening, tanpa kata. Dari mata mereka, terlihat seperti orang-orang yang bingung dan tidak percaya.

Tiara, yang notabennya adalah wanita polos, yang tidak begitu tahu soal pembicaraan orang tua, penasaran, “Ada apa Mak?” ia tanyakan pada ibunya.

“Nanti di rumah tak kasih tahu, Nduk.” Jawab Ibu Tiara yang saat itu juga tidak mampu menahan air mata, alhasil ia pandangi anaknya, dan ia pandangi wajah Kabul dengan pipi yang basah. Lalu ia hampiri Mak Sum dengan air mata yang belum reda sembari mengembalikan bingkisan yang baru saja ia terima,

“Ini tak kembalikan dulu ya Mak.. “ Mak Sum menerima itu dengan tanpa kata.

Sedang Kabul, pikirannya mulai meraba, dia menangkap sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di malam yang spesial. Hatinya tidak percaya, jika pertemuan malam itu tidak berjalan seperti apa yang ia bayangkan.

Tak lama kemudian, keluarga Tiara meminta pamit lebih dulu. Kabul memandangnya dengan mata sayu, “Terus, hubunganku gimana? Tunangannya gimana? Aku sama Tiara gimana?”

“Ayo Nak, pulang Nak.” Mak Sum mengangkat badan Kabul yang mulai lemas di atas kursi, tak terasa air mata juga banjir di pipi. “Ayo pulang ya..” Mak Sum memandangi mata Kabul dengan lekat, hendak menguatkan. Ia tuntun Kabul berjalan hingga pulang.

Sampai rumah, Mak Sum mendudukkan Kabul di ruang tamu. Ia kasihkan amplop berisi uang yang memang selama ini Kabul kumpulkan dari hasil usaha bengkel. Bertahun-tahun ia kumpulkan uang itu, merelakan keinginan-keinginan lain yang lebih baik ditunda hanya untuk menunaikan tanggung jawab seorang lelaki yang sudah terlanjur cinta pada seorang wanita. Kabul ingin menikahi Tiara, dengan segenap kemampuan yang ia bisa lakukan.

“Tapi, kenapa Mak? Kenapa tunangan ini harus gagal hanya soal hari lahir?”

“Sabar... sabar. Mamak ya sebenarnya gak begitu peduli sama weton-weton. Tapi keluarganya Tiara yang gak mau Nak..”

Menurut kepercayaan orang Jawa, weton sangat berpengaruh pada urusan perjodohan. Bagi masyarakat yang mempercayainya, maka tidak akan mungkin berani melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Seperti apa yang terjadi pada hubungan Tiara dan Kabul, mereka berdua lahir di hari Jumat Wage dan Rabu Pahing. Sedangkan orang yang lahir di pasaran hari Wage dan Pahing dalam weton Jawa, sangat tidak dianjurkan untuk bersatu dalam rumah tangga, karena jika dipaksakan maka akan terjadi berbagai malapetaka yang menimpa keluarganya.

Ikuti tulisan menarik Choirul Anwar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler