x

illustr: Mamas Uncut

Iklan

Revi Wina Adelline

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Rabu, 24 November 2021 21:04 WIB

Ayah, Smartaphone, dan Anak Perempuan

Cerita fiktif yang di kemas dalam bentuk Cerpen (Cerita Pendek) yang mengisahkan cerita pelik antara seorang ayah dengan anak perempuannya yang ingin memiliki smartphone.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konon, menjadi sosok anak perempuan tidaklah mudah.

Adanya larangan dan tuntutan yang menjadi teman cerita seumur hidup dalam menghadapi bumi dan penghuninya dengan segala karakter jiwa.

Menjaga pandangan dan harga diri, pandai memasak dan segala macam aktifitas yang dilakukan dirumah, mandiri, dan hak memilih yang terkadang adil dan tidak adil, seolah menjadi hal yang biasa dan harus dihadapi bagi sosok anak perempuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lucu sekali.

Begitu menurut ungkapan dua kata yang hadir dalam kepala Dahniar Lokasamira, yang ingin berbagi ceritanya melalui template memori pada smartphone yang didapatkannya setahun lalu, hasil dari saran dosennya.

Iya, benar sekali mendapatkan smartphone dari saran dosennya, dikarenakan tugas kuliah, rapat, dan segala kawannya  yang ada di dunia perkuliahan ini, memang sudah mengikuti kemajuan zaman dengan teknologi yang semakin berkembang. Lalu mengapa? Apa alasannya Dahniar baru mendapatkan ponsel pertamanya, di masa perkuliahan yang sudah memasuki tahun kedua? Sedangkan teman-teman lainnya sudah memilikinya jauh sebelum memasuki dunia perkuliahan tersebut.

Alasan itu sederhana. Ayah Dahniar memiliki prinsip yang kuat terhadap anak-anaknya. Semua hal yang dijalankan oleh Dahniar harus lurus dengan pandangannya. Ayah dengan segudang larangannya, membuat Dahniar berusaha menjadi penopang dan tameng yang kuat agar adik satu-satunya tidak mengalami nasib yang sama dengannya di kemudian hari.

Kecamasan beliau, terhadap anak-anaknya yang akan tertindas oleh kemajuan zaman, yaitu hilangnya budaya membaca buku, membuatnya menanamkan tekad yang begitu kuat untuk tidak mengizinkan anak-anaknya memiliki smartphone hingga kedua anaknya tersebut memiliki penghasilan sendiri.

Aturan yang ayahnya buat pada kediaman keluarga Lokasamira, membuat keinginan Dahniar yang ingin memiliki smartphone tertahan. Hanya dapat tersajikan melalui koran-koran yang memuat harga smartphone dengan berbagai tingkatan harga dan merk nya.

Dahniar bersama Rania, adik satu-satunya itu, setiap hari liburnya selalu senang ketika mendapatkan koran-koran yang dibelikan ayahnya hanya untuk sekedar membaca artikel cerita dan tentu saja membaca katalog smartphone.

“Dek, kayaknya kalo kita punya handphone ini seru banget kali yaa?  kita bisa foto-foto sama ayah sama bunda juga. Nanti tinggal di cetak ke tempat Fotokopi buat dipajang sebagai kenang-kenangan.” Ucap Dahniar kepada adiknya Rania disebuah kamar yang ditempati oleh ibu, Dahniar, dan adiknya tersebut.

Rania pun menjawab “Wah, bener juga ya, apalagi mbak Iyar bakalan butuh banget pasti buat hubungin temen-temen lewat chat, kerjain tugas kuliah. Tapi, kalo dilihat harganya lagi, masih mahal banget, mbak.”

Dahniar pun sempat mengiyakan perkataan adiknya itu, Smartphone idamannya masih memiliki harga yang cukup mahal bagi golongan seperti dirinya yang hanya mendapatkan uang jajan seratus ribu rupiah dan entah untuk berapa hari harus digunakannya.

“Iya sih ya, betul. Mbak Iyar juga cuma bisa nabung sepuluh ribu per minggu nya. Tapi ya dek, kalo nabung ada kemungkinan kita bisa beli Smartphone, itu deh”.

“Mungkin sih mbak, tapi… kalo diliat kembali, kebutuhan mbak Iyar buat kuliah kan banyak, sedangkan uang seratus ribu pasti ada aja keperluan yang dipake buat bayar fotokopi dan print-an, bayar uang kas, patungan, sama jajan kalo dirumah lagi gaada lauk buat bekal. Apa Mbak Iyar, sanggup jalanin itu semua?”.

Dahniar terdiam beberapa menit, memikirkan segala resiko yang akan ia hadapi, demi sebuah smartphone tersebut.

“ Ya, mau bagaimana lagi, dek. Mbak gaada handphone buat jalanin tugas kuliah atau sekedar chat dosen buat pengumpulan tugas. Kan gak mungkin juga dek, Mbak pake handphone ayah terus setiap mau kuliah, sedangkan ayah pasti butuh buat pekerjaannya.”

Dalam hati dan pikiran adik satu-satunya tersebut, merasa bahwa sosok kakak dan anak perempuan yang ditopang oleh Dahniar terasa begitu berat.  Tekad hatinya, mengatakan berharap dapat turut andil menabung demi membantu sang kakak, panutan dan cerminan layaknya sosok ‘anak perempuan pertama’ dalam keluarga.

Mimpi Dahniar untuk memiliki smartphone, tidak kunjung usai.

Kala itu tugas kuliah mencekiknya dalam keadaan yang mengharuskan dirinya untuk meminjam smartphone ayah, untuk melampirkan tugas yang diberikan oleh dosennya tersebut pada keesokkan harinya.

Dengan bermodalkan hati dan pikiran, Dahniar memantapkan perkataan dan ketenangan hatinya untuk membicarakan perihal smartphone ayah yang harus dipinjamnya esok hari demi menjalankan tugas kuliah, dibantu oleh ibu.

“ Yah, besok Dahniar boleh pinjam handphone ayah engga? Soalnya Dahniar bilang besok, ada tugas yang dikasih sama dosennya tapi harus pakai handphone.” Ucap ibu sebagai sosok pembuka pembicaraan antara anak perempuannya itu dengan ayahnya.

Ayah melihat sekilas lalu kembali menatap layar smartphone nya untuk menuntaskan pekerjaannya,“Emang gabisa pakai laptop aja. Pinjam dulu sama adekmu sana. Kan bisa tugas kuliah tanpa pake Smartphone.”

“Yah, kan bisa pinjemin sehari aja handphone buat Dahniar. Lagian, kalo ayah gamau pinjemin, yowes bisa. Tapi beliin Dahniar handphone, yang murah saja, sing penting Dahniar gak kesusahan lagi kalo harus hubungin temen-temennya atau dosen kalo ada tugas.”

“Hmm.. dikira beli handphone gapake duit, itukan mahal. Mana cukup uang yang ayah punya, lagian tar kalo si Dahniar punya handphone, dia bakalan jadi males belajar. Udah kalo gitu, ini ayah pinjemin, tapi inget ya Dahniar Cuma buat kuliah bukan yang lain.” Ucap sang ayah dengan tegas.

Apakah sudah tidak ada pilihan bagi dirinya untuk mengajukkan  pernyataan yang bahkan belum sempat ia ungkapkan kepada ayahnya terkait keadaan kuliah dan dirinya yang sangat membutuhkan Smartphone tersebut. Dahniar hanya bisa menundukkan kepala dengan mengucapkan terima kasih kepada ayah, karena telah dipinjamkan smartphone.

Keesokkan harinya, Dahniar bergegas menaiki kendaraan bermotor lengkap dengan membawa Surat Izin Mengemudi dan Helm, bersiap menuju stasiun kereta, untuk menuju kampusnya. Membutuhkan waktu dua jam lamanya, untuk menuju lokasi tersebut. Tak lupa dengan smartphone ayah yang ia bawa dalam tas nya.

Lalu setelah sampai di stasiun kereta, ia mulai berjalan menuju loket, serta menyiapkan uang dengan nominal sebesar Rp. 20.000,- untuk ia tukar dengan Tiket single trip yang hanya berlaku selama 7 hari menuju arah jurusan Pondok Cina. Setelah ia mengantri sebentar, kemudian Dahniar bergegas menunggu di Kereta di Peron 4.

Tepat sekali, saat Dahniar sampai di Peron 4, kereta pun telah sampai untuk menjemput penumpangnya menuju tujuan yang berbeda. tersebut telah sampai Sebelum kelas dan kuis dimulai, Dahniar mulai memainkan smartphone ayah untuk belajar dan mendownload aplikasi untuk ia gunakan nanti saat menjawab kuis sesuai arahan dosen nya.

Selama ia memainkan smartphone tersebut, tiada hentinya nada dering terus berbunyi untuk memanggil sang pemilik.

Aduh, aku jawab gak yah, gaenak banget kalo gak diangkat teleponnya. Daritadi bunyi terus, pasti ini rekan kerja ayah yang telfon, tapi…. Nanti kalo aku angkat, aku harus jawab apa ya? Handphone ayah di aku. Batin Dahniar.

Seribu pikiran dalam kepala Dahniar bercampur jadi satu, mana yang harus ia pilih? Mengangkat telepon dari rekan kerja ayah, untuk menjawab bahwa smartphone nya sedang ia gunakan untuk tugas kuliah atau membiarkannya tersebut terus berbunyi, hingga terlelap sendirinya, lalu membiarkan beberapa orang terus menatapnya seperti sekarang, karena memberikan suara kebisingan pada gerbong kereta tempat ia berdiri sekarang.

Dahniar pun memutuskan untuk mengangkat handphone tersebut. Ia pun menggeser icon telepon genggam pada layar smartphone untuk menjawab panggilan tersebut. setelah menggesernya, terdengar suara pria yang ia yakini sebagai rekan kerja ayahnya.

“Halo, Assalamu’alaikum pak, kok saya telepon gak diangkat-angkat ini. Saya mau Tanya pak, nanti daftar nama peserta lomba matematika Nasional tingkat Sekolah Dasar ini akan di kirimkan ke guru sekolah nya langsung atau bagaimana pak? Karena menurut pihak panitia penyelenggara lomba, data nya hari ini juga harus dikirimkan pak.” ucap seorang pria yang Dahniar tafsir berumur sekitar 30 tahunan.

Dahniar mencoba menjawab pertanyaan dari bapak tersebut, dengan berhati-hati, “Maaf sekali pak, saat ini handphone ayah saya sedang dibawa oleh saya pak untuk kuliah nanti.”

“Lho, gimana?! Ini nanti saya nyampein ke bapak gimana? Data nya kan mau dikirim sekarang. Kenapa gak pake handphone sendiri, mbak? Kalo begini kan jadi lama nungguinnya, yaudah mbak makasih ya, sama jangan lupa nanti sampaikan ke bapaknya ya.” Suara terputus diakhiri dengan nada ketus dari sang penelpon.

Dahniar tergugup diam, keringat dingin mengucur memikirkan kata-kata yang terucap sebelumnya. Ia berfikir apa salahnya dengan dirinya yang meminjam smartphone ayahnya? Apakah kebutuhan semua orang diharuskan untuk bergantung pada barang dengan bentuk ukuran persegi panjang tersebut.

Satu jam pun telah berlalu, diisi dengan materi mengenai Mata Kuliah Manajemen Bisnis oleh dosen nya, saat nya kuis pun dimulai.

Suasana kelas berlangsung riuh, dikarenakan waktu sudah semakin siang yang menyebabkan para mahasiswa yang menyimak merasa ngantuk namun rasa berdebar serasa terus mengiringi jiwa tatkala bayangan soal pertanyaan kuis muncul dalam rekaman pikiran yang tiada hentinya.

“Baik, silahkan diakses link nya ya, yang sudah saya tautkan pada di whatsapp ya. Buka nya pakai aplikasi yang sudah saya sampaikan pada ketua kelas. Selamat mengerjakan rekan-rekan mahasiswa dan jangan lupa berdoa supaya bagus nilai kuisnya.” Ucap sang dosen Manajemen Bisnis.

“Eh, yar, kamu udah beli handphone. Kapan? Alhamdulilah, wah, aku ikut seneng, akhirnya kamu kalo ada tugas gini-gini lagi gak kelimpungan ya, harus ngalah jadwal pinjam laptop sama adek mu.”

“Bukan handphone aku ini, Wi. Aku pinjam ayahku sementara untuk 5 kali pertemuan kedepan.” Jawab Dahniar, kepada sahabatnya Widya.

“Lho, terus kan ayah mu kerja, tar kalo ada yang telepon nanyain ayah mu, tapi handphone nya di kamu gimana? Ini kan masih lama, yar kuisnya pake aplikasi gini.” Ucap Widya.

“Ini juga aku usahain, Wi. Udah syukur dipinjemin sama ayahku. Kalo engga terpaksa pake laptop adekku, ganti-gantian makenya. Seminggu ini aku, minggu depan adekku.”

“Yaa Allah, yang sabar yah, yar. Pasti ada jalan kok, nanti kamu bakalan punya handphone sendiri kok, aku yakin.”

Dahniar hanya membalas dengan tersenyum, seraya mengaminkan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu.  

Minggu semakin berlalu, semakin banyak masalah yang mengintai dirinya. Lagi-lagi kena ‘kata protes’ oleh rekan kerja ayahnya yang mengeluh.

Mengapa smartphone ayahnya dipegang oleh anaknya?

Kenapa tidak dibelikan saja?

Pilih saja smartphone dengan harga murah.

Sesulit itu kah untuk membelinya?

Sudah kuliah, masa handphone saja tak terbelikan?

Menurut pandangan-pandangan manusia berkecukupan, yang jikalau membeli barang sesuatu, sudah tidak perlu memikirkan berapa harga dan gunanya untuk apa.

Nyatanya keadaan ekonomi seseorang tidak bisa diukur untuk semua golongan manusia dengan ragam cerita rumah dan lingkungan di dalamnya.

Sampai suatu ketika, saat itu Dahniar sedang berhadapan dengan dosen mata kuliah Manajemen Bisnis. Perihal kelalainnya hari itu, yang lupa tidak membawa smartphone ataupun laptop untuk pengerjaan kuis sebagai pendukung nilai akhir ujiannya.

“Dahniar, kok bisa kamu sampe kamu gatau kalo sekarang ndak ada kuis? Kan semalam sudah saya hubungi via whatsapp melalui grup kelas, kalo kuis dimajukan jadi hari ini. Memangnya tidak jelas pesan yang saya sampaikan semalam?” sang dosen berkata demikian.

Terlihat raut pias Dahniar dengan setelan pakaian sederhana lengkap dengan hijab yang melekat rapih menutupi rambut hitam nya.

Dahniar tertunduk memikirkan kata pertama apa yang akan ia ungkapkan pada dosen nya, untuk menanggapi soal smartphone yang tidak ia miliki. Ia tidak merasa malu akan keadaan dirinya yang hanya terlihat jauh lebih sederhana tanpa kemajuan teknologi yang menyertainya. Ia hanya merasa bingung, mengapa harus dirinya yang harus menghadapi masalah ‘tentang harus memiliki’ ini?

“Maaf sekali pak, saya lupa bawa handphone atau laptop saya pak. Maaf jika saya lalai akan kuis kali ini, bolehkah saya meminta keringanan untuk pengerjaan kali ini?”

“Masa lupa bawa handphone, itukan handphone kamu, ya bawa lah. Buat apa ditinggal di rumah, kan tujuan punya handphone ya mempermudah kamu kuliah. Perasaan 3 minggu lalu, saya liat kamu bawa handphone, kok. Gaada alas an lupa.”

“Sekali lagi maaf pak, saya tidak bawa handphone, karena itu milik ayah saya dan sedang digunakan oleh ayah untuk rapat kerja, sedangkan laptop saya sedang dipinjam oleh adik saya untuk presentasi hari ini.”

Sang dosen terkatup diam, mendengar jawaban yang diutarakan oleh salah satu mahasiswa nya, yaitu Dahniar. Ia berpikir, sekarang zaman sudah maju, bahkan sekarang smartphone sudah hadir dengan berbagai tipe dan harga yang menengah ke bawah. Apakah keadaan ekonomi begitu mencekiknya? Melihat Dahniar yang selama ini tidak mengalami kesulitan saat membayar uang pangkal semester, lalu mengapa memiliki smartphone sesulit itu.

“Yasudah, kali ini saya maafkan. Kamu boleh nyusul pake laptop atau pinjam handphone teman yang lain, ya. Saya gak habis pikir, mahasiswa-mahasiswa sekarang udah gaada yang asing sama handphone. Bahkan udah ada yang ganti lebih kekinian. Kenapa kamu ndak minta ayahmu buat dibelikan handphone? Bilang sama ayah mu, handphone ini buat keperluan kuliah, gaperlu yang mahal dan terpenting bisa berhubung dengan teman lain pake aplikasi Whatsapp. Kalo pake handphone biasa, kan ribet harus ada pulsa, mana boros kalo dipake buat sms berkali-kali. Jangan lupa bilang ya, permisi dan selamat sore.” Ucap sang dosen yang bergegas merapikan barang-barangnya yang terletak di meja, lalu menuju keluar pintu kelas.

Tinggalah Dahniar yang termenung seorang diri memikirkan perkataan yang terucap oleh dosen nya tersebut.

Malam pun tiba, Dahniar langsung membicarakan perihal yang terjadi kala sore itu, kepada ibunya. Ibu nya yang mendengar  merasa iba dan memendam sejuta rasa sedih, haruskah anak perempuan sulungnya mendengar dan menghadapi masalah seperti ini hingga kuliah 1 tahun kedepan?

Karena rasa frustasi yang begitu besar menyelimutinya, ibu nya dengan berurai air mata, menyampaikan apa yang dirasakan oleh ‘anak perempuan sulungnya’ kepada suaminya.

“Yah, apa sulitnya sih belikan Dahniar handphone?  Sesulit itu ayah percaya sama anak perempuanmu? Dia udah besar ayah. Ayah hanya perlu menasihati bukan membatasi. Mau sampai kapan sih, yah? Ini sampe di komen lho, sama dosen nya Dahniar. Dahniar sudah bisa jaga diri, yah. Tau mana yang harus dan tidak harus dilakukan. Kasih kesempatan buat Dahniar bisa ngerasa bebas, selayak temen-temen sebayanya. Menurutmu aturan yang kamu buat ini benar, gatau kan apa yang dipikirkan sama anak perempuanmu? Untung anakmu sabar ngadepin bapak nya yang egois, kalo gak udah kabur kali.”

“Kamu tuh kalo ngomong mikir. Ya wajar lah saya ngelakuin itu sama anak saya, dia perempuan, selain harus mandiri juga harus disiplin dan jangan boros. Disini saya kepala keluarga, apa jadinya kalo istri sama anak-anaknya gak nurut. Kamu perempuan, ndak usah ikut campur aturan yang laki-laki buat. Besok ayah belikan handphone, suruh Dahniar pilih mau yang mana gitu.”.

Air mata Dahniar turun perlahan untuk yang pertama kalinya.

Mendengar suara ribut yang bersahutan. Begitu memekakkan telinga, mengiris jiwa, dan memenuhi seluruh isi kepala nya malam itu.

Semakin deras air mata membanjiri seluruh raut mukanya, saat adik nya Rania memeluknya dari arah belakang, di saat Dahniar tidur berbaring memunggungi adiknya yang saat itu juga sedang tidak bisa tertidur, tatkala malam semakin larut.

“Rania selalu dukung kakak, nanti kalo udah dibelikan handphone sama ayah, di jaga baik-baik, ya Mbak. Mbak, kan dapetinnya gak mudah, harus dengar ribuan kata respon dan air mata. Dan satu lagi…… Mbak Iyar, kita sama-sama jangan benci ayah dengan perkataannya, ya. Walaupun pernah terpikirkan kenapa ayah kita ga sebaik ayah-ayah tetangga kita lainnya. Tapi kan, semua manusia punya tantangan dan cobaan yang ndak bisa di sama ratakan. Pokoknya Rania yakin, mbak Iyar itu, mbak paling terhebat yang aku punya. Rania sayang Mbak Iyar selalu.” Ucap sang adik yang ditutup dengan kekehan dan suara senggukkan karena tangis yang tertahan.

Tuhan, seberat itukah tugas menjadi anak perempuan?

 

 

Ikuti tulisan menarik Revi Wina Adelline lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler