x

Kau adalah bayangan yang hanya bisa terbayang

Iklan

Azki Azifa Nabila Zahra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Sabtu, 27 November 2021 06:40 WIB

Kakak

Cerpen Fiksi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kak! aku takut.

Pukul 04.00 WIB dini hari. Air mataku menetes. Entah air mata keberapa setelah bertahun-tahun setiap shubuh menjelang. Rasa nya masih sama. Belum bisa lepas dari ingatan. Teriakannya, wajah ketakutan, air mataku, air matanya, rasa perih, sakit. Semua masih jelas terbayang. Menggigil tubuh ini tiap mengenang, sakit terasa dihati, menangis menahan suara. Semuanya menjadi kalut ketika memori itu terputar. Sudah lelah ku tahan agar tidak kembali teringat, merobek sebagian hati. Namun tak sanggup diriku untuk melupakan potongan kisah indah lainnya.

Tuhan mengapa kau hadirkan luka yang bertahan lama. Mengapa tak bisa kuhapus semua duka. Rasa sesalnya tak akan hilang sepanjang masa. Walau beribu cara kucoba tuk melupa. Dasarnya terlalu menyakitkan, menyeruak ke permukaan sakitnya semakin terasa. Tak terhitung lagi kata maaf kusampaikan padanya, dan pada diriku sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adzan shubuh berkumandang. Tak terasa setengah jam berlalu dengan kesenduan. Begitulah kira-kira yang kurasakan setiap hari saat sendiri, saat pikiran kosong, saat ada kesempatan untuk kisah lama itu kembali terulang.

Selepas mandi, sholat dan membaca beberapa lembar Al-Qur’an, rasanya sangat damai, sejuk merasuk hingga ke relung hati. Rasa ini yang selalu kurindukan ketika bersamanya. Ketika melihat senyumnya. Memang masih terlalu kecil dulu untuk ku mengerti tentang rasa ini. Saat kusadari ternyata terlampau indah maknanya. Terlampau besar rasa yang ingin kuberikan padanya. Mata indah itu, jemarinya yang lembut. Tak terasa menetes lagi air mata, kembali dalam kesenduan.

“Bening, kau sudah bangun? Bantu ibu buatkan teh untuk ayah, ibu sedang memasak ayah sudah menuggu.”

“Baik bu.”

*          *          *

“Gulanya terlalu banyak, ayah tidak suka teh yang terlalu manis.”

“Tapi aku suka teh yang manis kak.”

“Ini teh untuk ayah bukan untukmu, kau membuat lama saja.”

“Iihh.. tapi nanti ayah tidak akan menghabiskan tehnya kak, aku yang pasti akan menghabiskan sisanya. Jadi teh ini harus manis.”

“Terserah kau sajalah.”

*          *          *

“Ini tehnya yah.”

“Terimakasih nak.”

“Sama-sama yah, aku kembali ke kamar ya yah.”

Ayah hanya mengangguk.

Matahari pagi di sudut kota, elok memamerkan sinar hangat nya pagi ini. Semburat jingga nya menembus masuk lewat sela-sela jendela. Burung-burung berkicau ria saling bersahutan. Irama nya seperti musik klasik era 90-an. Merdu. Tapi menyiratkan kesenduan bagi sebagian orang yang merasakan, termasuk diriku.

Biasa nya selalu terdengar tawa anak-anak sekolah mengiringi langkah mereka pergi menjemput masa depan. Terkadang juga terdengar gurauan ringan disusul tawa renyah membuat perjalanan mereka semakin berwarna. Riang setiap hari. Seperti tak pernah mereka rasakan luka dalam hidup. Ah iya, ini hari Minggu. Alasan mengapa tawa anak-anak sekolah tak terdengar.

Aku selalu suka hari Minggu. Sejak dulu aku rasa hari minggu adalah hari terbaik untuk menghindari segala hiruk pikuk kota, kebisingan metropolitan dan polusi dari banyaknya kendaraan yang melintas di jalan raya. Namun terlepas dari segala sisi buruknya, aku akan tetap dan selalu mencintai kota ini. Dengan segala kisah yang terjadi di dalamnya. Kisah bahagia, haru, kelam. Sejak dulu, hingga sekarang.

23 tahun hidup di kota ini, aku masih merasa nyaman. Seperti yang kubilang, terlalu banyak kisah penuh kesan yang tak rela ku tinggalkan. Tak satupun dari semua kisah itu bisa dengan mudah kulupakan. Kubiarkan semua nya selalu teringat dalam memoriku. Semuanya. Tak mudah memang, karena tak semua dari banyak nya kisah itu adalah kisah bahagia.

“Bening.. kau tidak pergi ke kedai?”

“Ah.. ini hari Minggu bu, kedai tutup.”

“Oh iya ibu baru ingat. Kalau begitu kita pergi pagi ini yaa. Kau bersiaplah.”

“Pergi kemana bu?”

“Kau lupa Bening?” Ibu melirik ke arah kalender yang tergantung di tembok kamar, lalu tersenyum tipis.

21 Agustus.

Saat itu umurku 11, Embun 8.

*          *          *

“Waah bagus sekali yah.. harum kopi, aku suka!”

“Anak kecil tidak boleh minum kopi.” Aku tersenyum meledek. Dia memajukan bibirnya tiga senti.

“Hei Bening.. Embun.. Lihat inilah impian kita. Akhirnya selesai juga pembangunan kedai kecil kita ini.” Mata ayah terpejam lalu tersenyum, terlihat sangat bahagia.

“Terimakasih atas semua nikmatmu tuhan. Terimakasih juga atas semua dukungan dan do’a kalian.” Ayah tersenyum lagi, menatap kami satu persatu penuh penghargaan.

Ibu mengangguk tersenyum. Aku masih takjub memperhatikan setiap sudut kedai ini. Cantik.

“Saat besar nanti aku yang akan meneruskan kedai ini ya yah?”

“Tidak bisa.. kakak yang seharusnya melakukan itu. Kamu masih terlalu kecil.” Sahutku sebal.

“Aku bilang saat aku besar kak.. Kau tidak mendengar perkataanku dengan baik yaa, selalu menganggapku anak kecil.” Bibirnya maju lagi, kali ini lima senti.

“Sudah.. kalian berdua yang akan meneruskannya bersama-sama.” Ibu melerai dengan tenang.

Selanjutnya canda tawa kami memenuhi seluruh sudut kedai di hari itu.

*          *          *

20 menit aku berdiri di samping jendela. Memutar sedikit potongan kisah bahagia itu. Menatap mawar merah yang tumbuh di depan rumah. Bunga kesukaannya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Memori yang sangat indah untuk diingat.

“Bening kau sudah siap?”

“Sudah bu, sebentar aku petik bunganya.”

Satu tangkai, dua tangkai, tiga tangkai mungkin cukup. Semoga dia bahagia.

Dia bagaikan mawar. Terlalu cantik, tapi lemah. Aku pernah berjanji untuk selalu menjadi duri untuknya. Tapi sepertinya aku belum pandai untuk melindungi, dan baru kusadari ternyata diriku sama lemahnya, mungkin lebih lemah. Janji itu tak pernah terpenuhi.

Ibu bilang jangan pernah menyesali apa yang telah terjadi. Karena semua sudah sesuai masanya, sudah ada yang mengatur, sudah menjadi takdir. Aku paham. Tapi rasanya itu tidak berlaku untuk satu hal ini. Aku menyesal, sangat menyesal, boleh kan bu?. Air mataku menetes lagi membasahi salah satu kelopak mawar. Segera kuhapus, jangan sampai ibu melihat. 

“Ayo Bening ayah sudah menunggu di mobil.” Ibu mengunci pintu rumah, lalu beranjak masuk ke dalam mobil.

“Iya bu.”

Satu dua rumah terlewati. Mobil berbelok keluar ke jalan raya. Banyak bangunan besar berjejer di sepanjang jalan. Perjalanan ini akan membuka kembali lembar lama. Meskipun tujuannya tak terlalu jauh. Tetap saja memakan waktu yang sangat cukup untuk sekedar mengingat alurnya. Aku memang selalu menantikan perjalanan ini, tapi tidak untuk kisah kelamnya.

Sampai di ujung jalan, mobil berbelok ke kiri. Tepat disebelah kiri jalan setelah belokan. Toko sepatu Pak Kodir. Kesenduan kembali menerpa.

*          *          *

“Aku mau yang ini bu.” Dia menunjuk sepatu di rak barisan ketiga dari bawah. Bagus. Tapi aku tidak suka warnanya.

“Warna pink? Kau yakin?” tanyaku sedikit meledek.

“Iya.. memangnya kenapa? Kakak tidak suka?” Keningnya berkerut, matanya sinis menatap ke arahku. Aku jadi semakin senang menggodanya.

“Aku tidak bilang begitu.” Sahutku dengan wajah masih meledek.

Dia terlihat kesal, lalu mengadu kepada ibu. Ibu hanya mendengarkan kami bertengkar dengan tenang. Ibu selalu tenang.

“Sudahlah. Kau mau sepatu pink itu Embun?”

Dia mengangguk dengan wajah kesalnya. Pak Kodir berdiri menunggu dengan sabar, sesekali tersenyum melihat tingkah kami.

“Besok adalah hari yang kalian tunggu-tunggu. Sambutlah dengan bahagia, jangan bertengkar seperti ini. Sudah ibu belikan sepatu baru agar perjalanannya lebih seru. Kalian baikan ya?”

“Baik bu.” Kami saling tatap, mengaitkan kelingking satu sama lain. Berbaikan.

*          *          *

Ayah masih fokus menyetir. Disampingnya ibu duduk dengan tenang, dari dulu ibu selalu tenang. Tapi matanya tak bisa berbohong. Menyiratkan luka yang teramat dalam, menyimpan kesedihan, terselip kerinduan. Ibu yang paling teriris hatinya. Tapi selalu bisa menyembunyikan semua. Ibu memang selalu diam, tapi tak pernah henti mendo’akan. Sejak saat itu hari-hari yang ibu lalui terlihat berat, menahan segala rasa yang enggan ditumpahkan. Melihat guratan di wajahnya, membuatku semakin merasakan penyesalan itu. Maafkan aku ibu.

Lalu bagaimana dengan ayah?. Jika kalian mengira ayah baik-baik saja, kalian salah. Ayah tidak lebih baik dari ibu untuk menyembunyikan semuanya. Sejak hari itu ayah lebih banyak diam, berbicara seperlunya. Tatapannya lebih sering terlihat sayu. Selalu menghindari segala perbincangan tentangnya. Dan sejak hari itu juga ayah sangat suka teh manis.

Mobil perlahan berbelok ke tujuan. Ayah memperlambat laju mobil. Kita sudah sampai. Ya tuhan, setelah semuanya benar-benar sempurna kupahami akankah diriku sama tegarnya dengan tahun-tahun yang lalu?.

Kami turun dari mobil. Terdiam sebentar merasakan keheningan tempat ini. Aku menatap sekitar, suasananya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Sangat sunyi, hanya suara beberapa jangkrik dan daun-daun dari pepohonan yang sedikit menyamarkan kesunyian. Aku menghela nafas pendek, perlahan melangkahkan kaki menyusul ayah dan ibu yang sudah lebih dulu beranjak. Hatiku terasa sakit lagi, kali ini seperti disayat. Kesenduan kembali hadir, memaksa potongan peristiwa itu terputar lagi.

*          *          *

Bening, jaga adikmu ya.. pastikan ia selalu ada di sampingmu.

Baik bu.

Ibu turun dari bis, masih memperhatikan kami dari luar. Aku menatap ibu dari jendela, ibu tersenyum teduh.

“Bis nya dingin ya kak. Kursinya empuk.”

Matanya berbinar, mengagumi setiap sudut bis yang akan membawa kami pergi. Kakinya terayun dari atas kursi, kursi bis ini terlalu tinggi untuknya. Ternyata sepatu pink itu tidak terlalu buruk, sangat pas terpasang di kaki mungilnya, terlihat cantik. Sebentar lagi kami akan berangkat. Tahun ini pertama kali ibu mengizinkan kami ikut wisata sekolah.

20 menit berlalu. Bis perlahan meninggalkan halaman sekolah. Diluar ibu melambaikan tangan mengikuti pergerakan bis. Kami balas melambai. Ini akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Bis berbelok perlahan ke jalan raya, ibu sudah tidak terlihat lagi. Embun terlihat sangat antusias, lengkung manis itu tak bosan menghiasi bibir mungilnya. Dia sangat bersemangat sejak semalam. Menyiapkan semua perlengkapannya sendiri. Makanan, minuman, pakaian ganti, jaket, semua dengan rapih dia susun di tasnya. Dan ketika harinya tiba dia benar-benar bahagia.

Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. 30 menit berlalu sejak keberangkatan. Bis mulai melewati jalanan gelap dengan jurang di sisi kiri dan kanan jalan. Hujan turun sangat deras. Bunyi petir bersahutan dengan keras. Embun ketakutan hampir menangis. Aku berusaha menenangkannya, kami berdua berpelukan. Jalanan menjadi licin. Tak butuh waktu lama untuk aku tersadar bahwa bis mulai kehilangan keseimbangan. Suasana ceria di dalam bis seketika berubah 180o. Sangat mencekam. Satu dua teriakan nyaring terdengar, guru yang mendampingi sibuk menenangkan dan mengajak kami berdo’a. Seketika kepanikan melanda. Embun masih di sampingku.

Semakin lama hujan semakin deras. Petir masih berbunyi tak kalah keras, semua anak berteriak. tak sedikit juga yang memohon do’a diberi keselamatan. Petir berbunyi lagi, kali ini lebih keras. Semua semakin panik. Bis masih terasa bergoyang tak seimbang. Embun menangis di pelukanku. Tepat setelah bunyi petir ketiga bis sudah benar-benar kehilangan keseimbangan. Saat aku masih benar-benar sadar dan merasakan, bis berguling jatuh ke jurang di sisi kiri. Suasana sudah sangat kacau. Aku dan Embun masih berpelukan. Hanya soal waktu bis semakin berguling kebawah. Pelukan kami terlepas, tapi kami masih bisa berpegangan tangan. Embun berteriak, menangis, keadaanku pun sudah tak karuan. Bis berhenti berguling, tertahan sesuatu di pertengahan jurang, posisi bis miring ke arah kiri. Tubuhku terjepit diantara dua kursi. Jendela di samping kursi Embun hancur. Tubuh mungil Embun terlempar keluar jendela. Tapi masih sempat kuraih tangan nya.

“Kak! aku takut.” Embun menatapku, air mata sudah memenuhi pipinya.

“Pegang erat tanganku Embun.. jangan dilepas” Tubuhku terasa remuk, sakit, perih. Masih terus berusaha menggenggam tangan Embun.

“Kak.. sakit !” Lihatlah wajah Embun, dia begitu ketakutan, menangis sejadi-jadinya.

Pandanganku mulai kabur, tubuhku semakin lemas. Embun meringis menahan perih. Akhirnya aku menyerah, tak dapat kutahan lagi. Genggaman tangan Embun terlepas, aku kehilangan kesadaran.

“Kaaaakk..”

Kata itu yang terakhir kudengar dari mulutnya

*          *          *

Akhirnya sampai. Ibu berjongkok perlahan, menatap batu nisan yang sedikit usang. Ayah membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar. Aku menaruh bunga mawar kesukaan Embun, hadiah untuknya. Perasaan ini lagi, sakit sekali. Sudah 12 tahun berlalu, tapi lukanya masih sempurna tertanam di hati kami. Ibu mengeluarkan botol dari dalam tas, menyiram tanah yang tak lagi merah itu sambil menangis. Tak kuasa lagi untuk menahan.

Ayah mulai memimpin do’a. Kami berdo’a bersama, memanjatkan semua harapan untuk kebaikan Embun. Selepas berdo’a, ayah juga mulai meneteskan air matanya. Hanya dua tiga tetes, karena ayah tak mau terlihat lemah di depan aku dan ibu. Ayah selalu ingin terlihat kuat. Tapi matanya tak bisa berbohong, tatapannya menyiratkan kepiluan, juga kerinduan.

Maafkan kakak Embun. Seharusnya kakak bisa lebih kuat. Seharusnya kakak tidak melepaskan gengggaman tanganmu. Seharusnya kakak bisa menyelamatkanmu. Tak kuasa lagi kutahan, air mataku menetes, menangis menahan pilu. Ibu memelukku, tangisan kami memecah kesunyian. Sekarang kalian paham, mengapa aku tak bisa memenuhi janjiku pada Embun. Satu hal lagi yang harus kalian tahu, aku juga tak bisa memenuhi janjiku pada ibu, untuk selalu memastikan Embun ada di sampingku.

Selamat ulang tahun Embun. Anak cantik baik hati. Tenang di surga. Kami sangat menyayangimu.

Ikuti tulisan menarik Azki Azifa Nabila Zahra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler