x

ilustrasu guru di kelas, sebelum pandemi. (dokpri)

Iklan

Suniti Rohmawati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Minggu, 28 November 2021 15:13 WIB

Stigma Negatif Terhadap Kebijakan Program Merdeka Belajar

Membahas mengenai beberapa penilaian negatif terhadap kebijakan baru dalam program Merdeka Belajar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Stigma Negatif Terhadap Kebijakan Program Merdeka Belajar

Merdeka belajar merupakan salah satu kebijakan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Nadiem Anwar Makariem atau biasa di sebut bapak Nadiem. Dengan mengeluarkan kebijakan baru tersebut diharapkan murid dapat memahami pelajaran dengan leluasa tanpa di batasi dengan skor dan jumlah nilai tertentu. Selain itu, di tahun mendatang jika program tersebut benar-benar di terapkan, pembelajaran tidak terbatas di dalam kelas saja. Melainkan bisa belajar dan berekspor di alam luas. Murid bisa leluasa dalam berdiskusi dengan guru, dan pembentukan karakter anak merupakan hal yang utama.

Mengapa demikian ?<--more-->

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena nominal pada nilai tidak bisa dijadikan sebagai patokan minat dan bakat serta karakter pada anak. Setiap anak memiliki kemampuan berfikir yang berbeda, begitu juga dengan minat dan bakat anak.

Namun, sebelum program tersebut di terapkan, alangkah lebih baiknya jika guru program tersebut. Seperti pada motto dalam program Merdeka Belajar, yaitu "Merdeka Belajar, Guru Penggerak". Dengan maksut lain bahwa penggerak dari program tersebut adalah seorang bapak/ibu guru.

Terdapat 4 pokok kebijakan baru dalam program Merdeka Belajar. Yaitu :

  1. Ujian Nasional di ganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) atau dengan kata lain adalah survey karakter pada anak. Hal tersebut di berikan pada kelas 5 SD, 2 SMP sederajat dan 2 SMA sederajat. AKM ini menekankan penalaran literasi dan numerasi. Sekilas memang mirip dengan Ujian Nasional, hanya saja anak diminta untuk melakukan penalaran secara mendalam sebelum menjawab soal.
  2. Penyederhanaan dalam pembuatan RPP. Nadiem Makarim memaparkan bahwa RPP hanya cukup dibuat dalam 1 lembar halaman saja.
  3. Sekolah di beri kebebasan dalam mengatur Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Baik dalam bentuk portofolio, karya tulis ataupun dalam bentuk yang lainnya.
  4. Sistem zonasi akan di perluas pada saat Penerimaan Siswa Didik Baru.

Kebijakan-kebijakan tersebut memberikan dampak positif pada guru, anak dan orang tua. Salah satunya adalah memperluas wawasan siswa dalam berfikir dan mengembangkan potensi yang terdapat pada diri masing-masing.

Akan tetapi, ada beberapa stigma negatif yang muncul ketika program tersebut serempak dijalankan pada tahun 2021. Salah satunya adalah “kaget”nya siswa yang pada saat itu duduk di bangku kelas 5 SD dan 2 SMP/SMA. Yang mana bekal mereka untuk menghadapi asesmen belum maksimal. Apalagi di dukung dengan pembelajaran daring yang di lakukan hampir setahun membuat persiapan untuk menghadapi asesmen belum bisa dikatakan 100% maksimal baik dari sisi tenaga pendidik, operator dan juga siswa.

Stigma negatif kedua yang beberapa kali saya dengar adalah kegiatan Asesmen Nasional tersebut di anggap kurang "greget" dan tidak penting oleh beberapa guru dan orang tua. Mengapa demikian ?

Karena program tersebut di laksanakan pada saat kelas 5 SD dan 2 SMP/SMA. Kurangnya edukasi terhadap tenaga pendidik dan orang tua membuat stigma tersebut muncul sebagai suatu permasalahan. Yang berujung pada menganggap remeh. Hanya karena program tersebut tidak di laksanakan pada saat kelas 6 SD dan 3 SMP/SMA sederajat.

Di era sekarang memang di butuhkan perubahan dalam sistem tatanan pendidikan. Terutama pada pendidikan karakter anak. Karena semakin ke sini, pembentukan karakter anak semakin kurang di perhatikan dan lebih mementingkan jumlah nilai. Padahal keduanya harus seimbang agar tercipta generasi yang kompeten serta berkarakter untuk menghadapi dunia kerja.

Karena sebelum program ini dijalankan Indonesia sedang mengalami kelumpuhan akibat wabah corona, mengakibatkan sosialisasi dan persiapan untuk menjalankan program tersebut dinilai kurang maksimal. Alangkah lebih baiknya di berikan waktu barangkali 1-2 tahun agar lebih optimal dalam pelaksanaannya.

Terima kasih....

Ikuti tulisan menarik Suniti Rohmawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu