x

Senyum siswa belajar sambil bermain

Iklan

Netti Herawati

Guru Besar Gizi dan Pangan Universitas Riau
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Senin, 29 November 2021 10:16 WIB

PAUD Rasa SD atau SD Rasa PAUD

Secara teori perkembangan anak SD awal kelas 1-3 itu masih tergolong PAUD. Di luar negeri rentang usia anak PAUD adalah 0-8 tahun. Proses belajarnya menggunakan pendekatan pembelajaran, bukan pendekatan akademik. Lingkungan belajar ditata kondusif yang memfasilitasi anak happy and active learning. Bukan seperti penataan kebanyakan SD kelas 1-3 saat ini. Sayangnya, karena tuntutan SD kelas awal sudah sangat akademik, guru-guru PAUD mendapatkan tantangan dari para orang tua dan masyarakat bila anaknya tidak mampu calistung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Netti Herawati*, Guru Besar Gizi dan Pangan Universitas Riau

Ini kisah nyata.  Anak saya pindahan dari Bogor, Jawa Barat  ke satu kota. Saat itu anak saya duduk di bangku kelas 2 SD. Mendapatkan SD negeri terbaik dan sekolah favorit di kota itu.  Setiap penerimaan murid baru, antrean panjang sejak subuh untuk mendapatkan formulir registrasi. Gedung bertingkat dengan sarana prasarana memadai, melebihi SD negeri lainnya di kota ini.  Hampir semua guru menyelesaikan pendidikan S2. Akreditasi A pastinya.

Guru juga kepala sekolah acapkali menjuarai berbagai lomba PTK (Penelitian Tindakan Kelas) terbaik sampai tingkat nasional.  Bukan hanya guru, murid-murid juga banyak mengukir prestasi dari sekolah ini.  Di koridor depan SD tersebut terdapat dua lemari kaca berisi banyak piala dan terdapat majalah dinding di sampingnya dengan berbagai informasi mengenai kehebatan sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisah anak saya ini dimulai ketika dua bulan menjelang ujian kenaikan kelas. Saya mendapatkan surat dari sekolah yang isinya meminta perhatian sehubungan anak saya berisiko tidak akan naik kelas.  Saat itu saya sedang menempuh pendidikan S3 di IPB Bogor. Saya segera pulang sambil merenung dan merefleksi diri.  Teringat masa kecil anak saya ini yang saya berikan ASI (Air Susu Ibu), makanan bergizi, dan stimulasi bukan hanya di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tapi kami kuatkan lagi di rumah.  Sedari kecil anak saya aktif dan produktif dengan berbagai karya hasil mainnya. Saya bertanya-tanya apa yang menyebabkan anak saya seperti ini?

Akhirnya, saya putuskan observasi selama tiga hari melalui jendela kaca kelas tanpa sepengetahuan guru yang sedang mengajar. Saya kaget dan bertanya-tanya, ke mana anak saya? Saya tidak melihat anak saya di antara kursi-kursi yang berjejer kaku menghadap  ke depan ruang kelas. Di mana anak saya berada?

Saya melanjutkan observasi dengan menahan diri untuk bertanya pada anak saya.  Selama tiga hari observasi keadaannya sama seperti itu. Akhirnya saya ketuklah pintu kelas. Saya masih di depan pintu kelas, gurunya sudah menyambut saya dengan kalimat sambil menunjuk ke anak saya yang duduk di lantai. Tenggelam di antara kursi dan meja belajar.

“Ibu, lihat itu anak ibu. Tidak mau belajar maunya main aja”.

Saya terdiam sambil melirik melihat reaksi wajah anak saya. Saya saja tidak nyaman dengan cara komunikasi guru itu. Apalagi anak saya yang setiap hari bersama guru tersebut. Lalu saya pun berkata, “Bolehkah saya masuk dulu untuk bicara dengan ibu?”.

Singkat cerita saya mendapatkan informasi dari guru bahwa anak saya tidak fokus mengikuti pelajaran dan tidak bisa lama duduk di kursi belajar. Jika ada ulangan nilainya selalu rendah.  Saya pun berjanji akan mendampingi anak saya belajar.

Bel pulang berbunyi, saya sudah siap menunggu anak di depan kelas.  Anak saya keluar, dia berlari menemui saya. Saya pun jongkok dan berkata. “Bagaimana perasaanmu hari ini, nak?”. Dia menangis terisak-isak seraya berucap, “Saya malu, bun”.  Dia mulai bercerita bahwa kalau di kelas suka menggambar dan merasa lebih nyaman duduk di lantai mengerjakan gambarnya. 

Saat itulah saya mendapatkan jawaban mengapa nilai anak saya rendah. Dia mengatakan kalau soal ulangan tidak dikerjakan semua. Bukan karena tidak bisa, tapi ingin cepat-cepat menggambar. Dia juga mengatakan sering dimarahi guru dan kerap pula mendapatkan hukuman.  Pulangnya saya lihat seluruh buku tulis dan buku cetaknya.  Ada banyak gambar. Bukan hanya di halaman kosong, tapi juga di bagian kosong halaman buku cetak.

Saya pun membuat program khusus mendampinginya belajar. Saya ajak anak saya ini mengeluarkan pikirannya terkait dengan kejadian di sekolah dan kemungkinan tidak naik kelas.  Ternyata dia tidak mengerti apa itu makna tidak naik kelas.  Wajahnya berubah saat saya jelaskan bahwa tidak naik kelas itu artinya tetap di kelas 2, akan sekelas dengan adik-adiknya. Sedangkan kawan-kawanya akan pindah ke kelas 3. Dia dengan cepat merespons. “Saya tidak mau seperti itu”. 

Jujur, saya memang ingin memancing keluar kalimat ini dari mulut anak saya.  Maka proses belajar semakin baik dan penuh semangat.

Ada kisah lainnya yang menyertai cerita ini.  Saat belajar dengan pedampingan saya, adiknya datang dan berkata sambil menyodorkan satu halaman kertas. 

“Mas tolong bikinkan gambar coret kayak waktu itu”. 

Saya terkaget melihat hasil gambar tokoh animasi yang goresannya hampir memenuhi kerta HVS itu.  Saya tiba-tiba punya ide dan berkata ke adiknya, “Coba gambar ini difotocopy dan jual ke teman-temanmu”.  Ternyata dibeli oleh 8 anak di kompleks rumah.  Adiknya datang lagi dan berkata, “Mas kita untung banyak”. 

Saya bahagia melihat kegembiraan dua anak itu.  Kesempatan ini saya pakai untuk menguatkan bahwa menggambar itu bakat yang tidak dimiliki setiap orang. Bahkan menggambar bisa menghasilkan uang, namun sekolah tetap penting.

Singkat cerita, anak saya berhasil naik kelas setelah bermusyawarah, terutama mendengarkan pilihannya. Kami memutuskan memindahkan anak saya ke SD lain. Kepala sekolahnya kaget saat saya menyampaikan alasan dan keinginan pindah. Mungkin karena biasanya orang berebut ingin anaknya diterima di SD negeri favorit, tapi anak saya malah pindah.  

Di SD baru anak saya berkembang baik sampai memenangkan sejumlah lomba menggambar dan ikut olimpiade matematika. Di SMP, anak saya juara menulis tema “Sekolah Layak Anak”. Tulisannya menggugah.

Harusnya sekolah mengajarkan kejujuran dan keadilan serta kasih sayang pada anak dan wali murid. Seharusnya guru agama itu paling baik dan penuh rasa sayang. Seharusnya guru matematika dan IPA itu tidak usah marah gara-gara muridnya kesulitan memahami mata pelajaran yang memang susahnya minta ampun itu. Seharusnya guru tidak hanya  menyayangi anak yang pintar-pintar saja. Seharusnya kelas akselerasi itu tidak perlu ada. Saat ini anak saya yang suka menggambar sudah menjadi dokter.

Kembali ke tema SD Rasa PAUD. Secara teori perkembangan anak SD awal kelas 1-3 itu masih tergolong PAUD. Itulah sebabnya mengapa di luar negeri PAUD rentang usia anak 0-8 tahun. Proses belajarnya menggunakan pendekatan pembelajaran, bukan pendekatan akademik. Lingkungan belajar ditata kondusif yang memfasilitasi anak happy and active learning.  Bukan seperti penataan kebanyakan SD kelas 1-3 saat ini dengan jejeran meja kursi yang kaku. Ruangan sempit yang tak mengizinkan anak memilih cara belajar duduk di lantai seperti di PAUD. 

Kondisi di atas diperparah dengan buku ajar kelas 1 SD model akademik dan menuntut anak bisa baca tulis dan berhitung (calistung). Idealnya, guru kelas 1 masih melanjutkan model belajar pra keaksaraan dengan metode aktif dan happy learning. Merdeka Belajar yang pemerintah canangkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat tepat. Guru PAUD sebenarnya sudah banyak mengetahui hal ini bahwa pembelajaran di PAUD itu berprinsip berpusat pada anak.

Sayangnya, karena tuntutan SD kelas awal sudah sangat akademik guru-guru PAUD mendapatkan tantangan dari para orang tua dan masyarakat bila anaknya tidak mampu calistung. Banyak guru yang mengeluh dan mengatakan, “Jika kami menggunakan principle of play dan tidak mengajarkan calistung secara akademik, orangtua tidak akan memilih memasukan anaknya ke PAUD kami. Mereka akan memindahkan anaknya ke bimbel atau kursus calistung”.

Apalagi bimbingan belajar (bimbel) kini marak menawarkan kemampuan calistung pada anak. Pemerintah daerah kadang juga dengan mudah  mengeluarkan izin operasional bimbel dan kursus calistung. Pengawasan juga rendah untuk menjaga malpraktik pendidikan.

Perbaiki masalah dasarnya, yaitu  mengubah Sistem Pendidikan Nasional sehingga PAUD itu untuk usia 0-8 tahun. Kurikulumnya tidak terdapat patahan antarjenjang dan semua guru profesional dari PAUD, SD, sekolah menengah, dan seterusnya. Tapi jika menunggu perubahan  Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional bakal lama.  Sementara itu waktu dan perkembangan anak-anak tidak bisa menunggu. Apa yang  bisa dilakukan sekarang? 

 

Fokus  Perbaikan Pembelajaran di SD.

 

Apabila pembelajaran SD berubah, maka orang tua tidak akan memaksa guru PAUD untuk fokus calistung. Tapi pembelajaran penting lainnya seperti pembentukan karakter, akhlakul karimah, nilai agama, dan moral juga wajib diberikan kepada anak didik.  Guru PAUD banyak yang sudah tahu penggunaan Principle of Play Based dan pendekatan Holistic Integratif dalam mengembangkan anak usia dini.

 

Agar mencapai tujuan PAUD, maka prinsip yang diterapkan di PAUD antara lain: 1. Berorientasi pada perkembangan anak, 2. Berorientasi pada kebutuhan anak,  3. Berpusat pada anak, 4. Pembelajaran aktif, 5. Berorientasi pada pengembangan nilai-nilai karakter, 6. Berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup, 7. Didukung oleh lingkungan yang kondusif, dan 8. Pemanfaatan media belajar, sumber belajar, dan narasumber. Setiap anak usia dini memang unik, sehingga seharusnya ada pendekatan individu, anak yang memutuskan cara, alat dan bahan main yang dipilih untuk mencapai tujuan yang sama.

 

Bisa jadi ada yang meragukan keberhasilan perubahan pendekatan pembelajaran di SD kelas 1-3 SD ini.  Saat awal SD rasa PAUD diterapkan, mungkin awalnya orang tua SD juga protes kok belajar di SD masih menggunakan Principle of Play.  Namun, orang tua akan tetap menyekolahkan anaknya ke SD karena itu jenjang pendidikan wajib. Yaitu sebagai syarat untuk masuk jenjang SMP, calon siswanya harus memiliki ijasah SD.

 

Berbeda dengan persepsi orang tua terhadap  PAUD saat ini.  Jika PAUD-nya tidak rasa SD alias tetap menjalanankan PAUD dengan prinsip PAUD, tidak mengembangkan calistung secara akademik, kemungkinan para orang tua tidak  memasukan anaknya ke PAUD. 

 

Banyak orang tua tidak beranggapan itu masalah. SD juga tidak menanyakan anak lulus bimbel dan ikut PAUD atau tidak.  SD acapkali fokus pada kesiapan dan kemampuan anak dalam calistung saat seleksi masuk. Padahal sudah ada larangan tes masuk SD. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 69 ayat (5) menyebutkan bahwa penerimaan peserta didik kelas 1 SD/MI atau bentuk lain yang sederajat, tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain. 

 

Sekarang bagaimana strateginya untuk sesuatu yang sudah kronis saat ini? Berikut ini sejumlah saran untuk dijadikan pertimbangan mengambil kebijakan.

 

  1. Berikan pelatihan yang menguatkan prinsip PAUD pada guru SD kelas awal 1-3.
  2. Pahamkan para guru tahap perkembangan anak sehingga mereka sadar batasan-batasan menuntut anak.
  3. Pahamkan guru-guru tentang pembelajaran berbasis otak, sehingga mereka sadar dampak jangka pendek dan panjang pada anak.
  4. Sadarkan para guru kelas 1-3 bahwa pendekatan active dan happy learning. Merdeka Belajar adalah cara yang sesuai untuk mencapai tujuan. Jika tidak, pendidikan justru membodohkan, memenjarakan ide anak, dan membuat ketidakpercayaan diri pada anak. Sejalan dengan adanya mirror neuron pada otak anak yang akan meniru apa yang dilakukan gurunya. Oleh sebab itu pendidikan yang memaksakan dapat berisiko pada berkembang pribadi anak sejak dini.
  5. Perbaiki buku ajar SD kelas rendah sehingga tidak akademik seperti saat ini.
  6. Ciptakan lingkungan belajar berkualitas.
  7. Program orientasi pengenalan SD pada anak-anak PAUD selama 6 bulan menjelang selesai perlu dilakukan. Seperti kunjungan ke SD, kelas bersama, bermain bersama anak SD dengan anak PAUD.
  8. Guru-guru SD kelas rendah perlu kunjungan dan observasi ke PAUD melihat anak didik usia 5-6 tahun untuk mendapatkan gambaran pembelajaran di PAUD.
  9. Akreditasi SD perlu penyesuaian ke arah how to asses the learning process. Akreditasi bisa mendorong perubahan di SD melalui permintaan pada butir-butir instrumen akreditasi SD.  Akreditasi SD harus fokus pada performa guru menstimulasi anak dalam mengembangkan kompetensi peserta didik.
  10. Jadikan guru sebagai Agen Penggerakan Gerakan Pendidikan Keluarga. Kita belum memiliki pola dan desain yang komprehensif dalam mengedukasi keluarga. Kita semakin disadarkan dengan kompetensi keluarga yang terbatas  sebagai pendidik pertama dan utama di rumah saat pandemi ini ketika sistem belajar dari rumah diterapkan. Kita mengetahui bahwa pembelajaran di sekolah harus tersambung dengan budaya belajar dan pembiasaan di rumah.

 

Pendekatan pembiasaan dan pembelajaran yang benar, penting disampaikan kepada keluarga. Guru dapat melakukan berbagai upaya peningkatan wawasan keluarga untuk membangun sinergi dan kerja sama  keluarga seperti yang dilakukan di PAUD. Bentuknya antara lain mengadakan kelas orang tua, secara berkala menyampaikan recana pembelajaran, menjelaskan dukungan keluarga yang diharapkan untuk kesuksesan pembelajaran di sekolah dan di rumah, kunjungan kelas dengan menjadikan keluarga sebagai guru pendamping atau narasumber di kelas, kunjungan rumah yang dilakukan guru secara berkala, buku penghubung dan mengirimkan buletin tematik kepada orang tua serta terbangunnya wadah komunikasi yang efektif.

 

Mesti kita sadari bahwa mendidik anak hari ini untuk siap hidup di masa depan dengan permasalahan yang tidak ketahui.  Pendidikan harus mengembangkan anak senang dan pandai belajar.  Apapun masalah di masa depan akan dapat dihadapi jika anak senang dan pandai belajar.  Hal ini dibangun secara utuh dan saling tersambung sejak di PAUD dan diteruskan di jenjang selanjutnya.  Pendidik PAUD dan SD kelas rendah membangun foundational skill yang dibutuhkan anak belajar di pendidikan selanjutnya. Sehingga diperlukan penyiapan pendidik yang profesional dalam mengembangkan anak senang dan pandai belajar. 

Pendidikan seharusnya menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak, bukan menurut pikiran guru.  Pendidik yang memerdekakan anak memilih cara, alat, dan bahan belajar untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu mewujudkan sumber daya manusia kreatif, kritis, berani, mandiri, piawai berkomunikasi, dan berkolaborasi.  Merdeka Belajar ini akan mewujudkan SDM yang senang dan pandai belajar dalam segala kondisi, tantangan, dan masalah apapun yang mereka hadapi.

 

*- Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia.

  - Pengelola PAUD Quantum Kid.

  - Anggota Badan Akreditasi Nasional PAUD dan Pendidikan Nonformal Kemendikbud

 

 

Ikuti tulisan menarik Netti Herawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB