x

Foto menggambarkan seorang ibu mengasuh anak

Iklan

Indri Fahrunisa 198

Penulis Indonesia
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Selasa, 30 November 2021 14:44 WIB

Pesan dari Segenggam Padi

Padi seringkali terlihat menunduk. Sopan sekali tampaknya, karena dari padi kita bisa mengambil begitu banyak pesan. Begitu banyak makna dan begitu banyak cerita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pesan dari Segenggam Padi  

 

            Sang fajar mulai menyingsing halus dari ufuk timur sana. Kabut tipis yang mulanya melahap hamparan sawah mulai menghilang diantara rimbunan padi. Terlihat sosok muda lelaki yang berjalan di setapak kecil itu. Membawa sabit dan bekal untuk pagi hari. Langkahnya berhenti di sebuah saung biru, lantas diletakannya perbekalan sembari duduk menunggu para pekerja yang belum datang pagi itu. “Yanu, pagi sekali kamu datang kemari ?” sapa suara dari arah belakang saung. Terlihat lelaki paruh baya yang menghampirinya dengan berjalan di pematang sawah. “Iya Pak Budi, biar tidak telat saja makanya Yanu datang lebih pagi” kekehnya tersenyum sopan. Pak Budi membalasnya dengan anggukan maklum. “Kamu memang anak yang rajin Yan. Ya sudah tunggu yang lain datang ya, Bapak mau melihat area sawah dulu” timpal Pak Budi. “Baik pak” ujar Yanu kepada pemilik sawah itu.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Pekerja sudah berkumpul lengkap di sawah. Mega-mega sudah berbaris tidak beraturan di luasnya cakrawala. Anak-anak yang memakai seragam sekolah mengayuh sepeda melawati jalan setapak diantara sawah itu. Beragam warna seragamnya, mulai dari putih merah, putih biru tua, hingga putih biru muda. Yanu yang sedang mengarit padi menatap penuh arti pada gerombolan anak itu. Tanpa Yanu sadari, sang ibu yang sedang berdiri di sampingnya juga sedang menatap Yanu dengan lekat. Melihat bagaimana sang anak melihat dengan nanar gerombolan anak sekolah yang melintas. Hatinya terasa pedih seakan tertusuk ribuan duri. Goresan rasa bersalah itu kian beradu. Seharusnya tahun ini Yanu bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang menengah. Namun kondisi keuangannya sangat tidak memungkinkan. Untuk makan sehari-hari saja hanya mengandalkan beras yang didapat dari hasil mengasak padi di sawah. Upah pekerjaan membantu Pak Budi panen memang tidak seberapa. Namun setidaknya cukup untuk membeli telur atau sayuran sebagai lauk makan. Untungnya Yanu sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana. Walaupun batinnya seringkali berperang keras dan mengeluh karena harus membantu ibunya bekerja sehingga tidak bisa melanjutkan sekolahnya.  Belum lagi untuk biaya sekolah rasanya tidak akan mungkin sang ibu bisa mencukupinya.

            Raja singa terasa semakin terik. Beruntungnya siang itu awan tidak menangis sehingga para pekerja bisa leluasa menyelesaikan pekerjaannya. Rimbunan padi sudah terkumpul tinggi membentuk undakan. Tiga orang menyelesaikan mengarit sedangkan dua orang lainnya menggepyok padi. Setelah pekerjaan selesai para pekerja duduk beristirahat di pematang sawah dan beberapa duduk di saung biru. Yanu menepi di saung itu. Diseruputnya teh dalam cangkir diselingi memakan pisang goreng bekalnya dari rumah. Tidak lama ibunya menghampiri Yanu dan menyerahkan karung berukuran sedang. Yanu yang sudah mengerti maksud sang ibu menerimanya dengan helaan nafas pasrah.

            Disaat para pekerja sudah mulai berjalan pulang. Tersisa Yanu dan ibunya di saung itu. “Ayo kita mulai mengasak padi, ibu tadi sudah meminta izin Pak Budi sebelum beliau pulang” ajak sang ibu berdiri berjalan ke area sawah kembali. Yanu mengikuti langkah ibunya dengan pelan. Mulai diambilnya sisa-sisa padi yang berceceran di tempat para pekerja menggepyok padi tadi. Dikumpulkan sampai cukup segenggam tangan dan dimasukannya ke dalam karung. Terus-menerus sampai dirasanya sisa-sisa padi sudah terkumpul semua.

            “Ibu rasa sudah cukup. Kita sudah mendapatkan hampir setengah karung, nanti tinggal kita bersihkan dan pilah saja. Ayo Yan, kita istirahat sebentar “ kata sang Ibu sembari mengajak Yanu duduk di saung. “Bu kenapa ibu betah hanya mengandalkan pekerjaan ini yang tidak seberapa hasilnya. Kalaupun Ibu izinkan Yanu bisa mencari pekerjaan diluar sana bu. Lihat saja Mas Surya yang merantau 3 tahunan di ibu kota saat pulang sudah bisa membeli beberapa hektar sawah dan sebuah mobil. Jika Yanu bisa melakukannnya mungkin saja Yanu bisa melanjutkan sekolah sembari bekerja di sana” Lirih Yanu menunduk takut tidak berani menatap wajah ibunya.

            Ibunya hanya tersenyum sendu menatap anaknya. Jadi ini yang Yanu rasakan selama ini.“Yanu, bukan maksud ibu menghalangi Yanu untuk sukses. Orang tua manapun pasti mau melihat anaknya sukses. Maaf jika ibu belum bisa menghidupi Yanu dengan cukup. Ibu hanya ingin hidup penuh rasa syukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Harta kekayaan tidak menjamin seseorang bisa bahagia Yan. Seperti segenggam padi ini, memang jika dilihat ini sangat sedikit. Setengah karung yang kita dapatkan dari hasil mengasak padi mungkin jika sudah dipilah itu tidak seberapa karena masih tercampur dengan padi yang lapuk. Tapi bayangkan jika dari segenggam padi ini bisa kita kumpulkan sampai penuh sekarung. Bukankah akan menghasilkan butiran beras yang banyak juga ?. Bersyukurlah walau hanya mendapat segenggam padi tapi kita bersenang hati daripada padi selumbung namun bersusah hati” tutur sang ibu membuat Yanu tersentak. “Astagfirullah, maaf bu. Yanu bukannya bersyukur malah banyak mengeluh” sahut Yanu penuh rasa bersalah. “Tidak apa-apa Yan, mengeluh itu wajar. Kita ini manusia yang tidak sempurna. Tapi jadikan itu motivasi untuk kamu memperbaiki diri dan berusaha menggapai apa yang kamu inginkan dengan usahamu sendiri” sambung sang ibu tersenyum menatap anaknya. Dia sangat bersyukur mempunyai anak seperti Yanu yang selalu memahami keadaannya.

            Keduanya berjalan melewati pematang sawah menuju arah rumah. Di tepinya rimbunan padi menari bersama angin mengiri perjalanan mereka. Namun suara keributan saat akan melewati rumah Pak Budi sempat membuat mereka tertegun dan memilih untuk berhenti sejenak. “Pak kenapa hasil sawah hanya segini. Biasanya juga selumbung lebih. Ingat ya pak anak kita perlu biaya untuk pembayaran semesteran kuliah. Hanya dari penjualan padi kita bisa membayar semesteran” suara wanita yang tidak lain adalah istri Pak Budi. “Bu, kamu tidak bisa menyalahkan bapak begitu saja dong. Bapak sudah berusaha untuk merawat padi di sawah dengan baik. Tapi ibu tahu kan saat ini sedang banyak hama yang menyerang. Harusnya ibu bisa lebih bersyukur selumbung padi saja sudah sangat banyak dan cukup untuk kita makan. Masalah uang pembayaran semester harusnya anak kita bisa berusaha mendapatkan beasiswa sehingga tidak terlalu membebani kita. Ibu juga terlalu berfoya-foya jika sudah bapak kasih uang bulanan. Selalu saja seperti itu !” sahutan gelagar suara Pak Budi menatap marah istrinya.

            Yanu yang sebelumnya terpaku mendengar pertengkaran itu segera tersadar dan menyusul langkah ibunya ke rumah. “Ternyata benar segenggam padi tapi besenang hati lebih baik daripada selumbung padi tapi sersusah hati” renung Yanu sembari menatap punggung Ibunya yang mulai menjauh. “Seharusnya aku tidak boleh mengeluh dan menyalahkan ibu. Untuk melanjutkan sekolah aku bisa mencari beasiswa agar ibu tidak terbebani dengan biaya sekolahku” ujarnya seakan menemukan solusi dari permasalahnnya. Diubahnya langkah pelannya menjadi semakin cepat menyusul sang Ibu.  

Ikuti tulisan menarik Indri Fahrunisa 198 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu