x

Iklan

Nina Septiningrum

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:34 WIB

Mengan Jamow-Jamow Sebagai Penjalin Komunikasi Positif antara Guru dan Peserta Didik

Mengan jamow-jamow atau dalam bahasa Indonesianya makan bersama adalah sebuah tradisi khas Lampung yang menyiratkan kebersamaan dalam menyantap makanan, dilakukan bersama-sama dan tanpa meja kursi, hanya makan dilantai beralas daun yg bersih dan diatasnya diletakkan makanan, dan juga lauk dan santapan diatas daunnya, disantap bersama-sama dalam suasana kebersamaan penuh keceriaan dengan perbincangan ringan yang penuh kehangatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengan Jamow-Jamow Sebagai Penjalin Komunikasi  Positif

antara Guru dan Peserta Didik

Oleh : Nina Septiningrum, S.Pd, M.Pd

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guru SMKN 1 Bandar Lampung

Guru merupakan cita-cita saya sejak kecil.

 

     Begitu penting peran dan tugas serta  tanggungjawab  guru untuk mengajar, mendidik, melatih para peserta didik agar menjadi individu yang berkualitas, baik dari sisi intelektual maupun akhlaknya. Menjadi guru ternyata adalah sebuah proses adaptasi tanpa batas untuk dapat menjadi jembatan ilmu bagi  siswa-siswanya. Diantaranya beradaptasi dengan lingkungan kerja, beradaptasi dengan teknologi, beradaptasi dengan gaya belajar siswa serta beradaptasi dengan budaya yang berkembang dimasyarakat.

     Suasana belajar yang nyaman adalah impian semua guru. Dengan kondisi ini guru akan optimal dalam melaksanakan tugasnya. Namun kondisi ideal ini tidak secara langsung bisa dihadirkan. Faktanya sangat mungkin terjadi kondisi kelas kurang kondusif sehingga proses belajar mengajar tidak  dapat optimal. Apalagi dengan kondisi pandemi seperti sekarang dan instruksi dari Mendikbud untuk melaksanakan Sekolah Tatap Muka paling lambat di  awal tahun ajaran mendatang, kelas yang kondusif adalah sebuah harga mati. Untuk itu diperlukan strategi dan cara mengkondisikan kelas agar kondusif dan mendukung pembelajaran secara aktif.

     Tidak kondusifnya kelas tidak hanya terjadi pada kelas-kelas tingkat rendah, semisal PAUD dan SD, akan tetapi dapat terjadi pada kelas dengan tingkat lebih tinggi yaitu SMP dan SMA atau SMK. Hanya saja bentuk ketidak kondusifan kelas antara kelas rendah dan tinggi mungkin berbeda. Jika kelas rendah cenderung ramai dan gaduh, maka untuk siswa kelas tinggi cenderung kurang memperhatikan, ngantuk atau sibuk sendiri.

    Ki Hajar Dewantara, dalam salah satu ajarannya menyatakan bahwa jiwa merdeka diperlukan dalam menjalankan pendidikan untuk mencapai perkembangan kepribadian anak bangsa. Azas kemerdekaan sendiri merupakan darma kedua dari Pancadarma Taman Siswa. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa jiwa yang merdeka dimaknai sebagai kepemilikan hak untuk bebas melakukan sesuatu. Merdeka dan bebas di sini dilakukan secara bertanggung jawab. Dengan demikian meskipun menyandang status sebagai jiwa merdeka, kita masih dibatasi oleh norma yang berlaku di masyarakat, sehingga tidak berbuat ‘seenak hati’. Merdeka mengajar diharapkan mampu menghantarkan siswa ke arah yang lebih baik. Siswa yang merdeka belajar nantinya dapat memimpin dirinya sendiri, keluarga dan bangsanya.

    Adapula hambatan dimana guru yang tidak merdeka melakukan inovasi karena adanya teman sejawat yang tidak mendukung, dan enggan bekerjasama mengembangkan metode pembelajaran atau mempraktikkan berbagai model pembelajaran yang inovatif namun nyatanya justru guru tersebut seakan mendapat perundungan bahkan dijauhi guru lainnya. Di saat guru menggenggam jiwa merdeka ke dalam kelas, para siswa pun akan terbawa. Dengan jiwa merdeka itu, anak akan terasah kreativitasnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang merdeka, bertanggung jawab dan sehat fisik serta mental.

     Pengalaman pribadi saya untuk dapat mencoba menjadi jembatan ilmu dan memiliki komunikasi hangat dengan peserta didik adalah mengagendakan acara diluar jam pembelajaran di kelas seperti misalnya ; mengan jamow-jamow (makan bersama-sama) yaitu ritual budaya khas Lampung dimana makan bersama tanpa meja dan kursi, makan dilantai (lesehan) dengan lauk pauk diletakkan diatas daun, dimakan secara bersama-sama dengan diiringi perbincangan ringan dan candaan disela-sela makan agar terjalin suasana yang makin akrab.

     Budaya mengan jamow-jamo juga dikenal pada daerah lain disebut “bancakan”.  Dalam tradisi makan ini tak ada jenjang di antara kami. Semua status dianggap sama karena budaya ini mencerminkan semangat gotong royong dan kerukunan dalam bermasyarakat. Sebelum memulai menikmati makanan, semua berdoa berdasar agama yang dianut, saling mendoakan dan saling mensyukuri atas nikmat makanan dan juga doa harapan terhadap prestasi peserta didik kedepannya, dan makanan juga berasal dari bekal  makanan  guru dan peserta didik yang akan dibagi dan disantap dengan teman lainnya, acap kali kami berbagi lauk atau sayur yang berbeda tak perlu mewah hanya kebersamaan yang membuat menyantap bertambah nikmat.

    Mengan jamow-jamow menjadi suatu momen dimana saya sebagai guru dapat membaur dengan peserta didik, diselipkan arahan dan nasehat bagi mereka. Tak jarang mengan jamow-jamow  juga dipersiapkan untuk mengirimkan doa khusus bagi rekan guru atau orangtua siswa yang mendapat musibah (meninggal, sakit,dll). Setelah mengan jamow-jamow, biasanya kami akan berbincang mengenai dekorasi kelas dan hasil prestasi mereka pada tiap mata pelajaran, apa saja hambatan dan tantangan pada tiap mata pelajaran. Berharap dengan terjalinnya komunikasi yang baik ini, maka prestasi mereka akan meningkat dan memahami pentingnya membangun citra diri yang baik dan memiliki budaya kinerja profil pelajar Pancasila.

     Menurut saya bahwa “Murid merdeka adalah murid yang mengarahkan  masa depannya dengan focus pada tujuan, cara,  mampu berproses memiliki kompetensi dan personalisasi, serta mampu mengekspresikan diri sesuai profil pelajar Pancasila” dan bahwa setiap peserta didik memiliki keunikannya masing-masing dan memiliki momentum yang berbeda untuk berkembang dan melesat.  “Bahwa bukan lagi orientasinya kepada hasil yang kita siapkan secara seragam, tapi bagaimana kita menyiapkan segala sesuatunya agar kompetensi  anak-anak ini yang berkembang dan berilah kesempatan kedua bagi yang ingin memperbaiki diri”.

 

Ikuti tulisan menarik Nina Septiningrum lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler