x

Iklan

Sri Utami

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 06:11 WIB

Sekuntum Binar dari Sekolah Alam

BIO NARASI: CERITA PENDEK INI DI AMBIL DARI KISAH NYATA HASIL DARI WAWANCARA PENULIS DENGAN SUATU SEKOLAH YANG SANGAT SEDERHANA DI YOGYAKARTA DAN SEMANGAT BELAJAR.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEKUNTUM BINAR DARI SEKOLAH ALAM

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu ketika pada tanggal 25 November saya dan teman saya bernama Giarti mewawancarai seorang wanita paruh baya. Wanita tersebut merupakan guru sekaligus kepala sekolah, beliau bernama ibu Sri Wahyuningsih, pendiri SALAM atau biasa disebut dengan sekolah anak alam yang berdiri sejak tahun 1988. 

Sampainya di sana kami di damping oleh seorang guru muda bernama mbak Dian. Angin sepoi nan sejuk dari sawah menyusup lewat rongga dinding bambu menuju ruang kelas di SALAM. Di kelas tidak ada bangku-bangku di ruangan itu hanya ada satu meja kayu panjang yang dipakai untuk bersama. 

 SALAM merupakan sekolah yang dikelilingi persawahan hijau, dan memiliki banyak tanaman yang terawat di lapang yang cukup luas. Suara-suara burung pipit menambah kesan asrinya alam dari sekolah SALAM ini. Ketika memasuki gerbang terdengar suara lagu dolanan anak dengan musik tradisional yang memanjakan telinga kami. 

Saat sampai di ruang kepala sekolah mata saya dan teman saya tertuju pada banyaknya foto yang ada di dinding ruangan bu Sri. Hampir setiap foto-foto tersebut menampakkan beliau bersama rombongan anak-anak yang sepertinya sudah lulus. Ada salah satu hal yang sama dan unik di dalam foto-foto yang di pajang tersebut. Semua siswa yang ada di dalam foto-foto yang terpajang di dinding tidak memakai seragam sekolah, seperti sekolah-sekolah pada umumnya. 

Beliau bernama, Ibu Sri Wahyuningsih berusia sekitar 50 tahunan, dengan rambut yang memutih hampir menutupi rambut belian dan kacamata kotak berwarna coklat muda, sedang duduk di suatu kursi roda yang diiringi oleh anak angkat beliau yang dulunya juga pernah bersekolah di sekolah anak alam bernama mbak Dian.

“Sekolah ini sudah cukup tua, 33 tahun nak,” ujar ibu Sri dengan senyum lebarnya ketika saya sedang melihat-lihat foto di dinding ruangan beliau.

“Kapan tepatnya sekolah sanggar ini di bangun bu?” Tanya Giarti kepada beliau.

“Sekolah anak alam pertama kali didirikan tahun 1988 nak, di Lawen Banjarnegara bersama suami saya namanya Toto Rahardjo, kemudian kami pindah ke Yogyakarta dan mendirikan lagi sekolah ini.” Jawabnya.

“Apa yang memotivasi ibu untuk mendirikan sekolah ini” Tanya saya kepada bu Sri.

“Semua berawal dari keikutsertaan saya membantu Romo Mangunwijaya di Lembah Code nak. Saat itu di lembah Code sebagian besar dihuni gelandangan dan pengemis yang gagal bertransmigrasi. Ketika ingin pulang ke desa mereka sudah tidak mempunyai aset, sehingga mereka terdampar di kota. Keadaan tersebut sangat mengiris hati saya melihat ada banyak anak putus sekolah, hal ini mengingatkan saya yang dulunya juga dari kampung dan luntang lantung untuk bisa sekolah harus bekerja ekstra.” Ujarnya.

“Bahkan, setelah saya menikah, di desa tempat saya tinggal, saya melihat masih banyak anak yang putus sekolah akibat faktor perekonomian dan maraknya pernikahan dini. Di desa Lawen desa saya itu memang merupakan daerah subur, akan tetapi masih banyak masyarakat yang buta huruf dan buta akan pentingnya pendidikan sehingga belum mampu memanfaatkan sumber daya yang ada yang membuat desa tidak berkembang.” Tambah ibu Sri sembari memanggil dan meminta tolong mbak Dian untuk memuatkan minuman.

“bagaimana awal berdirinya bu” Tanya saya kembali.

“Saat berjuang membangun dulu saya berkolaborasi dengan beberapa rekan di Lawen dan  kami mempunyai organisasi sendiri dengan nama Anane 29. Kemudian di Organisasi ini kami mengkoordinir semua kegiatan-kegiatan sosial yang ada di desa. Kami juga melibatkan beberapa kelompok-kelompok tertentu di antaranya kelompok tani dan kelompok pertukangan.” Ujarnya.

“saya percaya bahwa pendidikan bisa mengubah dan memperbaiki taraf hidup mereka.” Tambahnya.

Bu Sri bercerita bahwa suatu ketika di sebuah tempat barang rongsokan ia memilih buku-buku bekas yang masih bisa dipakai untuk ia pakai bersekolah. Saat mencari-cari buku, ia menemukan buku dalam bentuk stensilan yang bertuliskan perjalanan Ki Hadjar Dewantara. Ia melenggong ketika  membaca buku tersebut yang menerangkan niteni, niroke, nambahi hasil buah pikir Ki Hadjar Dewantara. Dalam bukunya, Ki Hadjar menyebutkan bahwasannya seorang anak belajar sesuai dengan ketertarikan masing-masing menyesuaikan kodrat alam anak dan bagaimana metode among. Bagi Sri menemukan buku Ki Hadjar Dewantara, seperti menemukan hidayah Tuhan sehingga hal ini selaras dengan apa yang dilakukan beliau merasa dikuatkan dengan adanya buku tersebut. Hingga akhirnya sekolah anak alam terbentuk menggunakan ajaran berbasis tamansiswa. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. 

Ia juga bercerita pernah suatu ketika ada seorang pengusaha yang menawarkan ingin membeli tanah dari sekolah ini untuk membangun cabang gedung mereka dengan harga 5 milyar. Tetapi bu Sri menjawab “mereka menawarkan sesuatu hal yang mustahil. Bagaimana dengan nasib 104 anak di sini waktu itu''

“uang hanyalah kertas nak, yang kita hadapi ini adalah jiwa. Jiwa manusia.” Ujarnya dan sesaat kemudian mbak Dian dating membawakan kami sebuah wedang uwuh.

“bagi ibu memukul bukan solusi, banyak obsi lain. Ada baiknya dari pada memukul dua orang anak saat mereka berantem misalnya, seorang guru harus lebih bijaksana menghadapi kasus-kasus semacam itu, contoh kasus penyelesaiannya misalnya dengan memasangkan borgol pada kedua anak yang sedang berantem. Supaya mereka saling memahami. Iya kan bu?” ujar mbak Dian.

“saat mereka terborgol seharian mereka akan saling memahami, saat mereka istirahat untuk makanan mereka harus berdiskusi terlebih dahulu tangan siapa yang akan makan, saat ingin ke toilet mereka harus saling memahami siapa yang terlebih dahulu ke toilet, saat guru sedang menerangkan di kelas dan mereka ingin bertanya, mereka harus berdiskusi dulu siapa yang akan bertanya.” Jawab mbak Dian dan menunjuk kearah siswa-siswanya dari jauh sembari tersenyum lebar.

“mari saya ajak berkeliling sekolah ini.” Tambah mbak Dian lagi, mengajak kami berkeliling melihat-lihat lingkungan sekolah sembari melanjutkan obrolan kami tadi. 

            Noni namanya. Merupakan salah satu siswa kelas V sedang duduk membaca buku soal obat herbal. Terbelalak matanya saat melihat foto-foto obat tanaman herbal dari sebuah buku yang dipegangnya. 

“nanti saya mau bikin obat nyamuk.” Ujarnya saat kami temui. Lucu bagi kami mendengar pernyataan Noni, tapi kami tau dia serius dan lantang menjawabnya. Hal ini bisa terlihat dari buku yang ia pegang pun berhias lipatan-lipatan di ujung halamannya. Menandakan bahwa ia serius.

Di sebelah noni ada samsul namanya. Ia tengah meriset soal tari salsa. Samsul lebih unik lagi “mau jadi penari salsa.” Ujarnya.

Sambil membuat sketsa seorang penari dengan pakaian warna-warni. Selain samsul ada juga yang belajar soal shampo organik. Neo meriset kopi, dan lain-lain. 

Sekolah alam percaya bahwa cara belajar dan pengetahuan yang dibutuhkan anak-anak berbeda. Semua anak memiliki keunikan, tugas guru dan pendidik ialah menuntun si anak menuju kodrat alam tersebut supaya merdeka lahir dan batinnya. Penyeragaman pendidikan justru akan mematikan potensi dan kepribadian unik anak itu sendiri. Maka, jika ada seorang anak yang terjebak pada sistem pendidikan tersebut. Bukan tak mungkin anak tersebut hanya akan menjadi sekrup di pabrik-pabrik yang mengarahkan anak jadi produk-produk industri seperti lagu another brick in the wall seolah antara terpelajar dan berijazah adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

Arif eko widodo, fasilitator kelas VI sekolah dasar (SD) juga menceritakan siswa-siswanya. 

“ini dari siswa VI, kami sedang melakukan riset soal langsung dan kemangi lewat duat media tanam, tanah, dan aquaponik. Nah dari situ siswa kami belajar bahwa kangkung dan kemangi banyak tumbuh di asia selatan. Jadi belajar geografi juga, Negara di asia selatan apa saja, ibu kotanya apa, mata uangnya apa. Jadi meluas.” Ujarnya sumringah.

“Dari kegiatan kegiatan inilah nak anak-anak mulai berpikir untuk mencari dan menemukan solusi.” Ujarnya

“Pembelajaran yang sebenarnya dimulai melalui riset. Belajar melalui pengamatan itu bisa  menumbuhkan daya kritis, anak-anak  juga tahu apa yang mereka butuhkan,” tambahnya lagi.

Sanggar Anak alam sangat memegang teguh ajaran Ki Hadjar Dewantara. Religiusitas di Salam diwujudkan dengan kesepakatan menjaga diri, menjaga teman, menjaga lingkungan, serta salam, tertib, damai, dalam menemukan swadisiplin. Visi Sanggar Anak Alam sendiri menciptakan ekosistem belajar ditengah-tengah masyarakat. Bahwasannya keluarga, lembaga, dan masyarakat menjadi satu kesatuan dalam proses belajar. Belajar tidak lepas dari di mana kaki berpijak, tidak ada kata tamat, dan dalam prosesnya belajar adalah seumur hidup. 

Sanggar anak alam terdiri dari  kelompok bermain, taman anak, SD, SMP, dan SMA. Setiap kelas terdiri atas 15 anak, mengingat ruangan yang minim sekaligus menjaga intensitas kegiatan belajar. Pembagian jam belajar di Salam pun berbeda dengan sekolah pada umumnya. Jam pertama, anak-anak diberi keleluasan agar bisa melihat kecenderungan mereka. Selanjutnya pembelajaran menyesuaikan minat dan bakat sang anak dengan metode riset menyesuaikan kelas. Kurikulum yang disusun dari tingkat SD sampai SMA berdasarkan riset, akan tetapi masih memadupadankan kurikulum nasional.  

Selain itu guru-guru di Salam sebagian besar merupakan volunter dari alumni, mahasiswa dan orang tua murid. Syarat pertama menjadi guru di Salam adalah mencintai anak-anak, mau belajar, dan bisa bekerja sama. Pihak Salam tidak pernah mensyaratkan harus sarjana melainkan orang-orang yang mau belajar. 

Sekolah alam dengan bangunan sederhana ini selama 30 tahun belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah dan pihak sekolah belum pernah mengajukan proposal kemana pun. “Salah satu gedung di Salam merupakan bantuan dari kedutaan besar Australia dan itu juga karena Duta Besar (Dubes) datang ke Salam. Beberapa bulan terakhir, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar; Ir Haris Iskandar, Ph.D sudah dua kali berkunjung ke Salam,” terang Sri. Selama ini sekolah berproses dan berkegiatan, 

Sekolah alam merupakan sekolah mandiri yang memiliki banyak karya dan prestasi. Beberapa kelompok dan organisasi dari anak-anak salam berhasil membuahkan hasil baik bidang seni budaya, maupun kriya serta bahan-bahan produk hand made seperti sabun, sampo, dan makanan. Seperti Organisasi Anak Salam (OAS) yang awalnya hanya di Pasar Legi sekarang berkembang dengan bertambahnya pasar ekspresi. Semua aktivitas dilakukan karena Salam percaya  akan Tri sentra yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah selalu berkolaborasi.

Budaya literatur di Salam tergolong maju, dengan terbitnya dua yang menggambarkan konsep-konsep sekolah merdeka dan metodologi buku kumpulan hasil riset anak-anak. Selain itu, bidang lain seperti kewirausahaan, IT, dan seni seperti fotografer dan melukis juga di gancarkan melalui kegiatan pelatihan secara gratis, bahkan dari beberapa karya lukis siswa sudah diikutsertakan di berbagai pameran dan dilelangkan baik orang domestik maupun orang asing seperti Amerika. 

Salam optimis, bahwa cara belajar dengan mendekat dengan alam ini bisa di akses banyak orang. Sekolah Anak Alam berpandangan bahwa proses belajar jangan sampai terjebak pada penyeragaman, karena Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, dan sumber daya masing-masing. “Anak-anak  yang telah belajar di Salam kedepannya bisa berkembang dan mengembangkan di tempat lain yang sesuai dengan situasi mereka, dimanapun mereka berada sehingga memang benar-benar  Bhineka Tunggal Ika bukan penyeragaman,” Sri Wahyaningsih kembali menegaskan.

Dari sekolah alam, kita belajar bahwa meskipun dalam segala keterbatasan tetapi semangat untuk belajar pengetahuan dan pendidikan tidak boleh padam. Seperti kutipan tulisan Ki Hajar Dewantntara “setiap orang menjadi guru, dan setiap rumah menjadi sekolah”. Pendidikan tak berhenti di bangunan sekolah saja tapi juga lingkungan, rumah, di jalan, di pasar, di kebun, dan di mana-mana. 

Dari guru-guru di SALAM kita belajar bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia. Dunia pendidikan tak lepas dari jasa seorang guru atau semoga tuhan selalu memberikan kesehatan untuk semua guru-guru yang telah mendedikasikan ungkapan cinta, sayang, apresiasi, dan terimakasih setinggi-tingginya kepada semua guru dimanapun berada. Setiap guru yang mulia, tulus, dan ikhlas dalam dedikasi haruslah memiliki kesadaran bahwa siapapun berhak mendapatkan pendidikan. Seperti anak dan ibu, guru dan murid pun akan selalu menjadi guru dan murid, meski guru itu tak lagi mengajarnya. AMIN. Selamat Hari Guru.

_SELESAI_

 

 

1 Niteni,nirokke, nambahi: merupakan bahasa jawa yang di populerkan oleh Ki Hadjar Dewantara (falsafah Tri N) yang berarti melihat, mengamati, menambahkan.

2 Another brick in the wall: merupakan bahasa inggris yang berarti bata lain di dinding

3 Tri sentra pendidikan: suatu gagasan dari Ki Hadjar Dewantara biasa disebut dengan tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dam lingkungan masyarakat).

4 hand made: merupakan bahasa inggris yang berarti buatan tangan.

5 Tut wuri handayani: bahasa jawa yang berarti di belakang, seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan.

6Bhineka tunggal ika: berbeda-beda tapi tetap satu.

 

 

BIO NARASI: CERITA PENDEK INI DI AMBIL DARI KISAH NYATA HASIL DARI WAWANCARA PENULIS DENGAN SUATU SEKOLAH YANG SANGAT SEDERHANA DI YOGYAKARTA DAN SEMANGAT BELAJAR.

Ikuti tulisan menarik Sri Utami lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler