Refleksi Pembelajaran Kita: Sudahkan Kita Merdeka Belajar?

Minggu, 5 Desember 2021 08:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini untuk memnuhi lomba penulisan artikel dengan tema "GURU BICARA PENDIDIKAN"

Refleksi Pembelajaran Kita: Sudahkan Kita Merdeka Belajar?

 

Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan kebudayaan menginisiasi program Merdeka Belajar. Sejatinya program ini berakar dari filosofi Ki Hadjar Dewantara tentang konsep pendidikan yang memerdekakan. Artinya, baik pendidik maupun peserta didik didorong untuk belajar dan mengajar dengan mengedapankan gaya belajar (learning styles), metode belajar (learning methods) dan pendekatan pembelajaran (learning approaches) yang berbeda-beda sesuai dengan potensi dan perkembangan peserta didik. Akan tetapi, apakah konsep merdeka belajar ini benar-bener memerdekakan ? ataukah ini hanya sebuah jargon pemanis bagi mimpi Indonesia untuk mewujudkan generasi emas 2045?.

Merdeka Belajar: Benarkah Kembali ke Akar (Back to the Root) ?

Ide dasar merdeka belajar sesungguhnya  berakar dari kesadaran bangsa Indonesia tentang berharganya filosofi pendidikan yang diangkat Ki Hadjar Dewantara puluhan tahun lalu. Kesadaran ini timbul dari keresahan masyarakat tentang kondisi pendidikan Indonesia saat ini yang dirasa tidak memiliki arah yang jelas. Pendidikan Indoesia dirasa terlalu latah mengikuti berbagai sistem pendidikan negara lain. Sebagai contoh, saat perumusan kurikulum K-13 Indonesia, Indoesia berkiblat pada pendidikan Finlandia yang saat itu menduduki posisi puncak ranking PISA dalam bidang numerasi, Sains dan Literasi. Hal ini didasari pada rasa kompetitif yang mengarahkan Indonesia untuk merombak besar-besaran sistem pendidikanya. Tentu hal ini didasari pada fakta bahwa pada ranking Indonesia di PISA yang menduduki peringkat 74 dari 79 negara pada tahun 2019.

Kompetisi guna meningkatkan kulitas pendidikan merupakan hal yang positif. Namun, apabila kompetisi menjadikan peserta didik sebagai robot untuk mencapai ranking yang dituju tentu bukan merupakan hal yang patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan semacam ini cenderung menyamaratakan peserta didik (one size fits all) dan mengesampingkan kebebasan dan keunikan setiap peserta didik. Padahal, setiap peserta didik memiliki gaya belajar dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Kita tentu menyadari bahwa beberapa peserta didik akan dapat menyerap materi dengan baik dengan gaya belajar audio, sementara beberapa peserta didik cenderung belajar dengan baik dengan gaya belajar visual atau auto visual. Sistem pembelajaran yang menganggap semua siswa memiliki kemampuan yang sama tidak hanya berdampak buruk pada hasil belajar siswa, namun hal ini membunuh kreatifitas dan kemampuan berfikir kritis peserta dirik. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ide dasar merdeka belajar yang menjunjung pengembangan berfikir kritis peserta didik.

Tentu kita banyak menemui dilapangan bahwa peserta didik mampu mendapatkan skor sempurna pada setiap hasil ujianya. Akan tetapi pada praktiknya peserta didik cenderung kurang percaya diri dalam mengungkapan pemikiran nya. Mereka cenderung diam atau bersikap setuju pada pendapat umum. Hal ini secara jelas menandakan bahwa kepercayaan diri dan kemampuan berfikir kritis individual dikubur dalam lingkup pendidikan. Padahal, Ki Hadjar Dewantara berpesan bahwa “pengajaran umunya memerdekakan manusia dari hidup lahirnya, sedangkan pendidikan memerdekakan hidup batinya. Tentu saja, sistem pendidikan yang berjalan saat ini hanya sebatas memerdekakan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran jangka pendek, sementara tujuan pendidikan yang seutuhnya, seperti menjadikan peserta dirik mandiri, kritis, pecaya diri, dan kreatif,  justru dikesampingkan atas nama “kualitas”.

Contoh lain dapat diamati tentang bagaimana sistem evaluasi di Indonesia yang mengedepankan skor dari pada umpan balik yang membangun (constructive feedback). Pada faktanya, konsep penilaian formatif (formative assesment) justru mengarahkan umban balik dalam bentuk verbal maunpun komentar tulisan yang memungkinkan anak untuk mengetahui dilevel mana kemampuanya sekarang dan apa yang harus ditingkatkan dari dirinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sementara itu, sistem penilaian di Indonesia masih menekankan prinsip kuantitatif yang cenderung menekankan hasil daripada proses. Padahal merdeka belajar memungkinkan siswa untuk mendapatkan penilaian sesuai tingkat perkembangan dan menghargai belajar sebagai sebuah proses untuk merdeka.

Masihkah Guru Menjadi “Robot” Pendidikan?

Program merdeka belajar sejatinya memiliki tujuan mulia untuk memerdekakan guru dari segala bentuk beban kerja yang justru menghambat pengembangan diri untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Tugas guru dalam menyiapkan pembelajaran melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dulunya perlu kertas berlembar-lembar dipangkas habis menjadi satu lembar. Namun, apakah solusi ini benar-benar efektif meningkatkan kompetensi guru dalam mendidik?

Kenyataanya, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tetap menjadi tumpukan kertas diatas meja guru yang digunakan sekedar untuk memenuhi tuntutan administrasi. Rasanya tidak ada perbedaan yang berarti antara RPP puluhan lembar dan RPP satu lembar. Padahal hakikatnya, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harus bersifat interaktif. Artinya, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memberikan gambaran bagi guru, siswa, dan orang tua tentang proses pendidikan yang akan dilakukan. Sementara itu, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan sekarang selain masih menerapkan aturan penyusunan yang kaku juga menggunakan bahasa yang tidak komunikatif. Hal ini menjadikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menjadi barang yang sia-sia. Jangan harap menerapkan merdeka belajar yang mendorong guru untuk secara mandiri menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahkan guru sendiripun sulit memahami RPP yang disusunya.

Selain itu, sejatinya merdeka belajar didasari pada rasa percaya kepada guru untuk menjalankan roda pendidikan. Faktanya, guru masih dianggap sebagai sumber masalah setiap muncul masalah dalam sistem pendidikan. Selama pandemi COVID-19 guru dijadikan sasaran utama apabila kurikulum darurat yang dicanangkan pemerintah tidak berjalan dengan baik. Saat pembelajaran terhambat, guru banyak dievaluasi tentang kecakapanya menggunakan teknologi dan kemampuan mengajarnya. Oleh karena itu, pemerintah banyak menuntut guru untuk mengikuti berbagai macam workshop dan menuntut mereka untuk menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang ada di sekolah masing-masing. Padahal, jika dikembalikan ke filosofi Ki Hadjar Dewantara, guru berperan momong, among, dan ngemong. Tentu untuk memainkan peran ini perlu kerjasama dengan orang tua dan masyarakat yang menjadi komponen tak terpisahkan dalam pendidikan. Hal ini tentu saja hanya dapat dijalankan dengan baik apabila guru diberikan kepercayaan.

Terobosan pemerintah untuk mengakat program merdeka belajar patut diapresiasi setinggi-tingginya. Hal ini dikarekan roh dari merdeka belajar adalah mengembalikan bangsa ini kembali pada jati diri dan kearifan lokal. Akan tetapi, dalam proses pelaksanaanya, program Merdeka Belajar masih perlu evaluasi yang intensif dan komprehensif agar menjadi solusi yang benar-benar memerdekakan. Tentu hal ini tidak dapat dijalankan sendiri oleh pemerintah, perlu adanya kerjasama yang apik dengan stakeholder pendidikan, dimulai dari pemerintah daerah, guru, orang tua, masyarkat, hingga siswa. Apabila program ini dievaluasi kembali dan dihidupkan bersama-sama, bukan tidak mungkin merdeka belajar menjadi cikal bakal sekaligus jembatan untuk terciptanya manusia Indonesia yang unggul 2045.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Naning Pratiwi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler