x

Iklan

Retno Palupi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:16 WIB

Menghargai dan Memperbaiki (Hidup)

Nasib ibarat telapak tangan di mana ada sisi atas dan bawah namun semua sisi memiliki kegunaan dan saling terhubung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertama dan kedua sudah menikah dan menjalin rumah tangga, serta jauh dari orang tua. kakak ketigaku Abang panggilannya Ia melanjutkan kuliah sembari bekerja. Pembelajaran kuliah tak pernah Abang tinggalkan dan pekerjaannya dilakukan ketika tak ada jam pembelajaran. Abang kuliah dengan beasiswanya sedangkan aku tidak, kerap kali aku diantar dan dijemput oleh Abang. Keluarga kami hanya memiliki satu kendaraan bermotor saja kemudian ayah dan ibu yang harus membuka ruko sejak pagi hari. Ayah tidak lagi bekerja di perusahaan dikarenakan usianya dan sudah pensiun, namun beruntungnya kami bisa mendapatkan uang yang lumayan untuk membuka ruko. Ayah dan ibu sudah tiga tahun lamanya membuka ruko buah di pinggir jalan tak jauh dari rumah. Pelanggan hilir dan mudik menghampiri ruko namun tak pasti jumlahnya. penghasilan dagang pun hanya bisa untuk membayar uang bulanan sekolahku dan Abang pun kerap kali membantu, walau tak banyak namun cukup dan aku bersyukur akan itu.

Kakak pertama dan kedua sudah jarang mengunjungi kami mereka berdalih bahwa tak ada cukup uang untuk pergi mengunjungi. Namun aku sudah lama tak melihat wajah ponakan-ponakanku dan rindu rasanya namun miris juga tak bisa bertemu hanya sekedar urusan biaya saja. Aku kerap kali membayangkan bahwa kami bisa hidup dengan nyaman dan tak perlu memikirkan uang.

Kadang kala aku merasa seperti bom waktu di mana ketika aku mengalami masalah maka akan keluar semua apa yang ada di benakku bahkan hal-hal menggangguku sejak lama pun akan aku ungkapkan dengan tiba-tiba. Saat itu aku pernah sesekali  mengungkapkan keluh kesahku kepada ayah, mengenai hidup kami yang melarat. Di saat hujan mengguyur rumah dengan derasnya hingga Lubang-lubang bermunculan entah dari mana dan menciptakan genangan yang tak nyaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku dan ibu saling memberi isyarat agar segera mengambil wadah yang besar untuk menopang air yang masuk. Sembari aku meletakkan beberapa wadah ayah terus memperhatikan raut wajahku beliau mengetahui bahwa aku tak menyukai suasana ini, aku tahu itu karena pandangannya ter jurus tepat kepadaku lalu beliau menegur dengan lembut dan mengajakku untuk berbicara di teras rumah.

Saat itu aku hanya terdiam dan menunggu beliau memulai pembicaraan. Ayah memulai pembicaraan dan berkata " nak besok pagi ayah akan memperbaiki atap bersama Abang jadi kamu tak perlu khawatir di lain hari jika hujan menghampiri kediaman kita karena tak akan ada celah air masuk lagi", mendengar ayah berbicara seperti itu aku hanya mengangguk saja. Setelah berbicara empat mata dengan ayah aku langsung kembali menuju kamar dan mengerjakan tugas sekolahku.

Sedari pagi ayah sudah mempersiapkan barang bawaan untuk memperbaiki atap, dan mengajak Abang untuk membantunya. Walaupun itu masih pagi buta dan ayam pun baru beberapa yang berkokok di kala itu. Aku beberapa kali menyarankan untuk Abang saja yang menaiki atap rumah dan ayah yang memantau dari bawah, namun usulanku di tolak tegas oleh beliau. Aku hanya bisa menerimanya saat itu dan merasa khawatir juga karena ayah yang sudah menginjak usia lansia tetap nekat menaiki atap rumah untuk memperbaiki celah. Sepuluh hingga lima belas menit lamanya ayah dan Abang memperbaiki atap rumah, sembari itu aku membantu ibu mempersiapkan barang bawaan dan buah untuk ke ruko. Pekerjaan pun selesai kemudian aku dan Abang berpamitan kepada ayah dan ibu untuk segera lekas pergi menuntut ilmu serta ayah dan ibu yang pergi mencari nafkah dan menuju ruko.

Di malam harinya terjadi hujan lebat disertai petir yang cukup lama, dan syukurnya rumah tampak dengan baik dan tak kebocoran lagi lalu beliau tersenyum dan pergi menuju kamarnya. Malam itu sangat tenang buatku karena tak ada gangguan dari bocornya air di atap sehingga aku bisa dengan leluasa belajar dan tak perlu kebingungan mempersiapkan wadah-wadah air lagi.

Terkadang semua hal bisa dinikmati dengan baik ketika bersyukur dan menghargai, atas apa yang telah ada dan aku tahu itu ketika ayah yang tak memarahiku disaat ku mengeluhkan nasib kami dan beliau hanya tersenyum dan berusaha memperbaikinya.

 

Ikuti tulisan menarik Retno Palupi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu