x

Iklan

A.R.Salsabila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:23 WIB

6-5000

Tentang sebuah mahakarya yang menjadi bumerang bagi penerus si Pencipta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Alexander Graham Bell patut berbangga saat ini. Jika saja ia dapat hidup lebih lama atau memiliki kemampuan untuk menghidupkan dirinya dari ketiadaan sekarang juga. Melihat peradaban manusia niscaya hanya jumawa-lah sifat yang bisa ditemukan di pribadi seorang Bell. Ciptaan yang namanya diambil dari marga si pencipta telah berevolusi sedemikian rupa. Teknologi bermuka dua ini menyita waktu manusia berjam-jam lamanya. Benda yang seharusnya menyatukan insan yang terpisah, kini malah menjadi bumerang bagi orang yang telah eksis di sekeliling, “Kalo lagi makan ditaruh dulu HP-nya,” adalah yang diucapkan Bunda atau Ayah, bahkan terkadang keduanya, kepada anaknya, aku, saat sedang bercengkrama bersama di meja makan. Namun, yang kudapati adalah hampa saat layar kotak bergambar hilang dari pandangan. Dan selanjutnya, “Kamu tuh bebal banget, ya! Taruh sebentar aja, gak bakal ada yang nyuri hape itu darimu!” adalah kalimat yang keluar dari mulut Bunda, suatu saat amarah telah menggerombol di pucuk kepala.

 

         Kala tiba saatnya berjauhan, disebabkan oleh tuntutan pendidikan, watak Bunda yang jengkel pada karya Graham Bell itu seakan menguap pergi dari sosoknya, “Kamu kok sekarang gak pernah telepon Ayah sama Bunda lagi, sih?” Kendati menelepon, mendapatkan waktu untuk diri sendiri pun susahnya minta ampun. Berbagai cerita, dibumbui sedikit alasan, disampaikan dalam rangka mengharap maklum dari si malaikat pelindung yang kini sedang menabung rindu dan mendamba pertemuan dengan si buah hati sampai saatnya tiba nanti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

         Ciptaan Bell pun memainkan peran saat seorang keturunan Adam tersesat, secara harfiah maupun dalam arti lainnya, “Bunda di mana? Katanya udah di arrival gate. Hah, di mana? Shareloc aja ya, Bun,” dan akhirnya membawa mereka ke dalam pertemuan yang didamba dan pulang ke pelukan yang semestinya, atau bisa jadi malah membawa mereka ke dalam kesesatan. Teknologi yang jika ditambah fasilitasnya dengan kekuatan satelit bisa jadi membawa pengaruh buruk yang pada ujung waktunya akan mengangkat perpecahan ke permukaan, “Bunda apa-apaan, sih! Teman online gak selamanya seburuk yang ada di pikiran orang kolot zaman dulu kayak Bunda!” dan memunculkan tangis serta sakit hati.

 

         Teknologi tersebut juga perantara pesan sukacita yang baik, setidaknya selama kurun waktu yang telah berlalu beberapa bulan ini. Berita kelahiran seorang buah hati, undangan terikatnya dua insan dalam janji suci, juga status kelulusan siswa-siswi pun mahasiswa-mahasiswi yang mau tak mau melanjutkan hidup di bawah ekspektasi kedua orangtua, “Bunda, Ayah, aku lolos seleksi! Doakan sedikit lagi, aku janji,” Yah, paling tidak mereka telah mengantarkan rasa bangga hingga bisa singgah di hati orangtua.

 

         Akan tetapi, mahakarya Bell yang satu ini juga pengantar kabar pilu yang andal. Seperti komandan yang mengabarkan gugurnya seorang prajurit pada keluarga yang memanjat doa akan kepulangan sang kepala, atau kreditur yang dengan teganya menagih utang kepada orang dengan grafik finansial yang berbentuk seperti perosotan di taman kanak-kanak.

 

         Seminggu lalu, melalui sebuah panggilan, Ayah memberitahuku penyakit Bunda kian memburuk. Dan hari ini, sebuah momentum berharga akan terjadi, sebuah momentum yang akan membuat Bunda dan Ayah menumpahkan dan meluapkan seluruh emosi bahagia yang terpendam oleh tegang kala gadisnya mengenakan toga dan almamater kebanggaannya.

Sebuah panggilan kembali masuk ke benda pipih milikku, “Bundamu kritis. Dokter bilang siap-siap untuk kemungkinan terburuk, berdoa terus ya, Nak.” begitu katanya. Sepertinya dunia sedang ingin bermain-main dengan takdir. Setelah semua pahit yang kurasa terbayar dengan berhasil, seakan semesta tak rela melihat barang secercah bahagia terbit di hidup.

 

Tuhan mengikis harapan manusia secara perlahan dan menyakitkan. 

 

Kupikir aku telah berhasil menghapus bayang-bayang mengerikan akan makhluk yang cepat atau lambat akan membawa tubuh Bunda yang kian kurus dan pucat, serta napasnya yang tersengal, ke nirwana bersama para bidadari lainnya sebelum panggilan itu terjadi.

 

         Jutaan ribu harap yang disemogakan dan sekian juta doa berhasil dilangitkan. Aku kembali berkelana di dalam detik, menit, dan jam yang enggan berhenti sebelum nada dering familiar kembali terdengar, “Kak,” jeda singkat yang sengaja dibuat oleh orang di seberang sambungan sangat mencekik. Kentara sekali jika sesuatu akan terlihat jika ia tak mengambil jeda tersebut terlebih dahulu. “Bunda udah nggak ada, Nak,” suara yang biasanya selalu tegas terdengar berbeda di runguku kini. Suara Ayah penuh dengan keputusasaan. “Yang tabah ya, Nak,”

 

         Dan lewat sebuah panggilan melalui karya Graham Bell, aku resmi berganti status, entah dari mana asalnya, entah apa maknanya, tapi yang kutahu mereka menyebut itu piatu. Racauan pilu dengan cepat menarik perhatian seisi ruangan berukuran 6x6 meter tanpa tingkat yang kutempati.

 

         Sudah cukup ungkapan apresiasinya. Untuk saat ini, yang kulakukan adalah mencaci maki ‘mahakarya’ tersebut dengan sepenuh hati, melemparkannya ke seberang ruangan masih diiringi pilu yang kian membiru disertai buruan air mata yang tumpah meremuk redamkan bising keterpurukan. Tatapanku buram pada benda berserakan di seberang sana. Memaki-makinya seakan dia ikut menampung keluh kesahku juga. Tapi palung batinku masih tahu, sadar bahwa benda itu, pun diriku, tak ada yang bersalah atas perginya malaikat-ku. Bunda-ku.

 

Dari kesendirianku, semua perasaanku saat ini hanyalah angka. Berjejer menanti suasana apa lagi yang diberitakan dari pengabar. 

 

Traumaku berlanjut dengan benda pipih itu, yang tentu saja tak sebahagia perasaan Kakek Alexander menunggu dering teleponnya kala itu, di 6-5000, buyut dari angka-angka para penunggu kabar di dunia seperti aku.





Ikuti tulisan menarik A.R.Salsabila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini