x

Iklan

Angga Wiwaha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:56 WIB

Selepas Hujan di Toko Sepatu


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah kenapa, aku hanya sedang ingin berkeliling melihat kota yang tengah basah diderai hujan. Membiarkan rintikku larut bersamanya, atau kupasrahkan derasku rinai di dalamnya. Mengenakan jas hujan di atas tunggangan roda dua, aku melintasi jalanan yang sejatinya sudah sering kulewati. Namun, rasanya tak pernah ingin selesai kususuri. Berkali-kali. Mungkin karena serpihan-serpihan kenangan tak pernah pungkas kuberesi dari trek beraspal ini. Aih, melankolis sekali aku hari ini.

Sekadar informasi, jas hujanku muat untuk dua orang, lo. Barangkali di luar sana ada gadis yang sedang kehujanan, jas hujan dan motorku bersedia jika membutuhkan boncengan. Dia kuizinkan untuk menumpang asal aku diiizinkan untuk untuk menetap di hatinya. Benar-benar menetap.

Dasar mahasiswi baru dari rantau, tak tahu kah dia kalau musim hujan di kota ini berlangsung sepanjang tahun?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku tak bisa lupa dengan cara gadis bermata candu itu menatapku, sesaat setelah kutawari tumpangan untuk melintasi hujan siang itu. Dia tengah tergesa, tapi tersebab hujan dia tidak tahu harus berbuat apa. Dengan rambut ikal yang telanjur basah oleh siraman hujan kala berlari ke tempat berteduh, serta mata yang berbinar menatapku, dia seperti melepaskan peluru berbentuk hati yang tepat membunuh pertahananku.

Tak bisa kujelaskan rasa di hari itu. Kami yang baru bertukar nama dan dan tatap, sudah merasakan desir-desir ajaib di bawah naungan jas hujan. Tangannya mencengkeram bajuku, tepat di samping pinggangku, kepalanya yang tersembunyi di bawah jas hujan bersandar di balik pundakku, seolah mempercayakan hidupnya padaku.  Dalam suasana dingin kala itu, dapat kurasakan hangat napasnya membelai punggungku hela demi hela, berpacu seiring dengan cepatnya degup jantungku. Mungkin juga dia.   

“Kamu suka hujan?”

“Iya.”

“Aku suka kamu.”

Hari pernyataan itu juga dibelai hujan, seolah hati kami memang ditautkan oleh air langit itu. Tanpa selang yang lama setelah kuizinkan dia menumpang di motorku, dia pun mempersilakanku untuk menetap di hatinya. Kasmaran pun menjadi payung yang menaungi cerita kami di masa-masa indah itu.

Namun sayangnya, aku tidak diizinkan untuk benar-benar menetap. Ternyata statusku di hatinya hanya residen sementara. Mungkin setelah dua tahun bersama, ongkos cintaku tidak mampu lagi memenuhi biaya sewa di bilik hatinya. Aku harus segera angkat kaki. Kisah kami melenceng jauh dari harapan, malah berakhir seperti repetisi dari cerita picisan kebanyakan. Alasan-alasan klise yang hanya kudengar di sinetron semacam “kita sudah tidak sejalan” dan “kamu pantas dapat yang lebih baik dari aku” terlontar juga dari bibirnya. Cerita kami pun usai di sebuah sore tanpa hujan.

Jika alasannya benar seperti apa yang dia ucapkan, mungkin aku dapat ikhlas dan segera melepas. Namun ketika aku masih sibuk mengemasi kenangan dan merapikan harapan, sebilah fakta menusukku: sudah ada penghuni lain yang menempati bilik hatinya, dengan nilai kontrak yang lebih tinggi tentu saja.

Aduh, sakitnya bukan main.

Aku mengibaratkan diriku seperti tokoh-tokoh protagonis yang papa dan bernasib tragis dalam sinema-sinema televisi. Ditendang paksa dari kontrakan karena tak sanggup membayar sewa, kemudian terlunta sambil berisak di tengah jalan, lengkap dengan dramatisnya petir dan badai membasahi tangisnya. Bedanya, aku lebih beruntung dari tokoh itu, karena aku bisa berlindung di bawah jas hujan.

 

Sebenarnya hujan hanya bersisa rintik ketika aku memasuki jalan utama yang melingkari komplek Istana Kepresidenan, namun aku memilih untuk tidak melepas jas hujanku. Selain khawatir hujan akan kembali dera selepas reda, aku masih ingin lebih lama menunaikan ritual sepi. Siapapun barangkali tahu rasanya, ketika deru bermacam kendaran hanya tertangkap sebagai gema karena telinga tertutup helm berlapis tudung jas hujan, kemudian segala hal yang ada di setiap sisi jalan, aspal dan juga garis marka jalan seperti berlari meninggalkanku ke belakang. Aku menyukai rasa saat menyelami kesendirian itu.

Setiap melintasi jalan ini juga, yang tak bisa lepas dari mataku adalah sebuah pohon meranti besar yang menjulang canggung di sisi kiri jalan searah itu. Megah perhotelan dan rapi pedestrian yang mengapitnya tetap tidak bisa menutupi usianya. Jelas, dia ditanam ratusan tahun lalu, kemudian tumbuh bersama pikuk zaman yang bergulir dan berulang. Sepanjang berabad hidupnya, entah berapa banyak polah manusia yang telah dia saksikan, dari segala penjajahan yang bersambut perlawanan, perjuangan sekaligus keputusasaan, banyaknya cinta juga kebencian, berbagai kesetiaan yang berbalas pengkhianatan. Kadang aku memimpikan diriku bisa setegar pohon itu, dan membiarkan Tuhan saja yang menentukan waktu tumbangku.

Aku ingat sore itu juga hujan, ketika perempuan bermata candu itu memintaku untuk menepi sejenak. Di bawah pohon tua itu, seorang penjual bandrek sedang mangkal sambil berteduh. Hujan yang tidak deras namun hawanya menggigilkan rusuk adalah alasan sempurna untuk meneguk segelas minuman berbahan dasar jahe itu, sekadar menghangatkan tubuh dan hati. Sepasang cangkir belimbing di tangan kami menyeduhkan waktu, seiring bahu kami yang saling sentuh merapat, membahasakan hangat.

Kedekatan itu membahagiakannya. Aih, sederhana sekali dirinya kala itu.

Hujan sepenuhnya berhenti, seiring bumi mengeringkan diri. Kupikir akan semakin canggung jika tetap kukenakan jas hujan ini, sementara di antero jalan hanya tersisa aku yang begitu. Berjarak 50 meter di depan ada sebuah toko sepatu yang cukup besar. Tepat rasanya jika aku mampir mengeringkan waktu yang kuyup diguyur kenangan dari tadi.

Kupinggirkan motorku di barisan parkir bersama motor lainnya, terpisah dari barisan mobil, tentu saja. Selepas meniriskan sisa basah di jas hujanku, kubiarkan dia tergelar di atas motor agar sempurna keringnya. Baju yang kusut sejenak kurapikan sambil memandang baliho yang memampang nama toko itu besar-besar. Bukannya sembuh, memori di kepalaku malah kembali mengaduh. Aku ingat betul, di toko sepatu itu pernah ada seorang mahasiswa semester enam yang rela menyisihkan uang saku dan sisa-sisa tabungan hasil kerja paruh waktunya, hanya untuk membelikan kado ulang tahun untuk adik angkatannya di semester dua yang tak lain adalah kekasihnya, gadis berambut ikal dan bermata candu.

Ya, mahasiswa itu aku.

Tak bisa lagi kutahan langkah untuk tak mampir ke dalam. Mungkin di rak-rak sepatu itu ada obat yang bisa menyembuhkan sakitku, walau bisa saja di sana malah ada racun yang semakin menyiksa. Membeli salah satu? Tentu saja tidak.

Tak banyak yang berubah di dalam toko sejak terakhir kali aku ke sini, kecuali beberapa rak yang dipindahkan dan tentu hadirnya koleksi-koleksi terbaru. Seorang penjaga menghampiriku dan menawarkan bantuan, kutolak dengan alasan hanya ingin melihat-lihat dulu. Sekadar alasan tentu saja, karena aku tahu dia tidak akan bisa membantuku menemukan sepasang pemuda jatuh cinta yang mampir ke sini dua tahun lalu.

Mungkin karena kecamuk kenangan itu, aku seolah mendengar suara gadis itu kembali memanggil mesra namaku.

“Mas Sandi.”

Bahkan suara itu terdengar sangat nyata.

“Mas Sandi.”

Kubalikkan tubuhku, dan kutemukan dia ada di sana.

“Nadia? Kamu di sini?” Bodohnya. Memangnya dia ada di mana?

Sudah cukup lama sejak kami terakhir bertemu, kami malah dipertemukan kembali di sini. Aku semakin curiga, hujan benar-benar memprakarsai suratan aku dan dia.

Tatap itu mendekapku lekat-lekat. Itu masih kerling mata yang sama, memancarkan semburat citra yang sama, persis seperti yang kutemukan di matanya saat menyambut tawaranku berjas hujan bersama di siang yang hujan itu.

Yang berbeda adalah penampilannya. Dia bukan lagi mahasiswi baru yang kukenal polos dan tidak paham musim hujan di kota ini. Kulitnya kini lebih putih, bibirnya dipulas dengan baik dan cantik, rambutnya kini lurus dan sedikit warna pirang di beberapa bagian. Aku pun dapat segera menangkap aroma mahal dari kibasan rambutnya saat dia berjalan cepat mendekatiku.

Kurasa kau hidup dengan baik, Nadia.

“Sudah lama sekali, ya, Mas?”

“Iya, sudah lama sepertinya.” Aku pura-pura mengabaikan waktu, padahal aku ingat persis kapan terakhir kami bertemu.

“Lagi cari sepatu baru, nih?” tanyanya.

Lagi mencari kamu dalam rak-rak kenangan ini.

Enggak, kok. Tadi mampir karena hujan. Sekalian berteduh. Nadia sendirian?”

“Ehmmm ....” Ada ragu saat dia memalingkan pandang ke belakang. Seperti mencari contekan jawaban untuk pertanyaan yang kuutarakan. Namun, sesaat setelah menyadari ke mana matanya tertuju, aku langsung sadar bahwa pertanyaanku emang cukup rumit untuk dijawab.

Dari arah pandangnya itu, seorang pria muda berjalan menghampiri kami. Penampilannya simpel tapi mahal, seimbang dengan penampilan Nadia saat ini. Pacarnya, penyewa bilik hatinya, tentu saja. Segera kualihkan debar menjadi tegar yang benar-benar harus kupaksakan.

“Nadia?” ucap pria muda itu sambil mengerenyitkan dahi. Aku bisa merasakan kecurigaannya, karena kutahu jelas, tidak ada orang yang memanggil Nadia dengan nama tengahnya itu kecuali keluarga dan, pastinya, kekasihnya. Semacam panggilan kesayangan.

“David, ini Mas Sandi. Mas Sandi, ini David.” Nadia mengenalkan kami.

“Kuliah di IPB juga?” tanya pria itu saat menjabat tanganku, masih curiga.

“Sudah lulus,” balasku.

“Mas Sandi ini kakak angkatan satu jurusan,” timpal Nadia, “kenalan waktu zaman Maba[1] dulu.”

Kenalan, katanya. Dari situ aku langsung mengerti kalau kamus seputar “mantan kekasih” benar-benar telah ditutup oleh Nadia. Atau mungkin hanya aku yang dihapusnya?

Menanyakan hal-hal yang berbau formal adalah caraku untuk menghormati hubungan dan keputusannya untuk melupakanku. Teramat pedih rasanya menghadapi itu semua di tempat yang menjadi saksi perjuanganku untuk membahagiakannya dulu.

Jalanan di luar sudah sepenuhnya kering, tapi luka di jiwa malah kembali basah dan menganga, seolah ditaburi garam di atasnya. Kemudian kami pun berpisah selepas bincang sapa. Setelah kupastikan mereka tak lagi ada di dalam toko, aku pun beranjak pergi.

Langkahku tak sempat kutarik mundur lagi ketika kutemukan Nadia ternyata masih berdiri di depan toko dengan tas belanja di tangannya. Apa dia menungguku? Aih, masih sempat-sempatnya kubodohi diriku sendiri dengan percaya diri.

“Nadia, belum jalan, toh?”

“Eh, belum, Mas.” Ada getar yang kelu dalam suaranya, seperti ingin membahasakan sesuatu namun tercekat di rongga ragunya. Sempat terlintas untuk meminta nomor barunya, berbincang lebih dekat, atau sekadar bersama mengakrabi kenangan lagi. Namun langkah kakiku memilih haluan yang berbeda.

“Saya duluan, ya.” Saya duluan, ya? Salam perpisahan yang bodoh. Tak sempat juga kulirik tanggapan Nadia.

Aku masih melipat jas hujan ketika dari sudut mata dapat kulihat Nadia masuk ke mobil berwarna merah mengkilap. Ternyata dia hanya menunggu kekasihnya datang menjemput. Sekali lagi Nadia mencambuk kebodohanku yang sempat-sempatnya berharap. Aku hanya perlu sadar, jika kekasihnya itu adalah pangeran yang mengendarai kereta kencana, maka aku hanyalah petani yang menarik pedati.

Sengaja kuulur waktu berdiri di samping motorku, memastikan mobil merah itu benar-benar pergi. Aku beranjak kemudian, sambil berjanji tidak akan pernah menyambangi toko sepatu itu lagi. Kunyalakan motorku, segera menarik gas untuk pulang.

Mendekati gerbang, kurogoh saku jaket mengambil uang receh untuk membayar jasa parkir.

“Gak usah, Mas,” tolak penjaga parkir.

“Lo, kenapa?”

“Tadi sudah dibayarin sekalian sama yang naik mobil merah.”

Bahkan di pertemuan kami yang masih menyisakan debar itu, Nadia masih sempat mempermalukanku. Sialan.

 

[1] Mahasiswa baru

Ikuti tulisan menarik Angga Wiwaha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu