x

Iklan

Angga Wiwaha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:15 WIB

Dilarang Nyumbang


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rikam merasuk ke dalam ritualnya sendiri. Asap kemenyan semakin membumbung di hadapannya. Dawegan, secangkir kopi, teh dan air putih, nasi segenggaman tangan, jangan[1], jajanan pasar, beberapa batang rokok dan kembang setaman telah tersaji seperti santapan yang siap dinikmati. Dia terus merapalkan semua mantra yang memang biasa dia rapalkan. Lancar. Setiap kata semakin membuatnya merasakan kehadiran sosok yang sedari tadi dia undang. Ki Jomplang mendekat.

Sebagai sesepuh adat desa itu, adalah rutinitas bagi Rikam berkawan dengan Ki Jomplang, penunggu lapangan desa. Dia tinggal memanggilnya dengan beberapa rapalan, dan tentu saja sesajen, maka Ki Jomplang akan datang, acara masyarakat berjalan mulus, dan dia mendapat persenan dari si empunya hajatan.

Dan malam inipun Ki Jomplang juga datang. Hanya yang Rikam tidak tahu, di belakangnya, seseorang telah memperhatikannya sedari tadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak boleh dibiarkan.

###

“Kamu tidak boleh nyumbang!”[2] larangnya tegas. Tidak biasanya suamiku seperti ini.

“Kamu tidak diundang, kan?”

Memang tidak, pikirku. Dan memang tidak perlu. Wonge Dhewe[3] itu biasa datang ke hajatan orang sedesa tanpa undangan, khususnya bagi para ibu. Sedulur itu harus berbagi. Aku juga sudah membawa tenggok[4] dengan tiga kilogram beras di dalamnya, walaupun cuma beras pusing. Tapi kenapa dia melarangku? Mas Farid memang asli Jakarta. Keberadaannya di sini hanya karena dia mendapat tugas dinas, sekaligus terjerat cinta denganku. Seharusnya dia bisa mengerti kebiasaan ini. Aku tidak terima kalau alasannya bahwa aku tidak diundang.

“Kenapa, Mas? Biasanya Mas tidak melarang,” tanyaku heran.

“Kemarin-kemarin aku belum tahu apa yang dilakukan si Rikam itu,” jawabnya.

“Pak Rikam?” gumamku heran, “apa yang Mas lihat?”

“Yang di lapangan itu. Kamu pasti tahu, kan?”

Oh, pasti semalam dia melihat Pak Rikam, sesepuh adat di desaku, tengah melakukan ritual sajen sebagai penghormatan terhadap leluhur yang mendiami lapangan desa. Tapi seharusnya Mas Farid tahu, hal itu memang sudah lumrah di sini. Itu hanya sekadar cara menghormati leluhur. Jadi apa salahnya melakukan itu? Toh, tidak rugi apa-apa keluarga kita. Apalagi itu untuk mempertahankan budaya yang sekarang banyak disusupi budaya luar.

“Itu musyrik,” katanya.

Buatku, itu terserah mereka. Toh, aku bersama ibu-ibu yang lain bukan datang untuk sajen itu. Kami datang untuk ikut berbahagia bersama si empunya hajatan. Pagi tadi, Pak Karto melangsungkan pernikahannya yang kedua setelah setahun yang lalu bercerai dengan istri pertamanya. Istrinya yang baru jelas jauh lebih muda. Dan aku tidak peduli. Yang jelas, siang ini aku harus nyumbang.

“Ingat, kamu itu istriku, jadi tidak boleh pergi tanpa seizinku,” bentaknya. Sepertinya Mas Farid sudah benar-benar marah karena aku memaksakan kehendak untuk segera berangkat ke hajatan itu. Dia teguh betul memegang prinsip yang dia yakini benar itu. Tapi bisa apa aku, jika suamiku melarangku. Kata Bapak dulu, suamiku adalah pengganti dirinya. Aku harus taat, sebagaimana aku taat padanya.

Tapi aku tidak mau dianggap tidak bersosial dengan sejawat. Ibu-ibu yang lain juga pasti sudah menungguku di rumah Bu Retno. Ah, aku harus membuat keputusan sulit. Sulit? Tidak juga. Setelah meluapkan kemarahan dan ketidak-mengijinkannya, Mas Farid langsung masuk ke kamar. Di hari minggu seperti ini, ketika dia tidak bekerja, suamiku itu memang lebih senang merebahkan diri dan beristirahat. Di saat seperti itulah, bukankah aku tinggal pergi saja. Nanti juga, seperti biasa, kita akan bertengkar sebentar, kemudian berbaikan lagi kalau sudah merasa saling membutuhkan. Wong suami-istri.

Aku nekad.

Akhirnya kuputuskan untuk berangkat ke rumah Pak Karto. Ibu-ibu yang lain juga sempat bertanya perihal keterlambatanku, tapi aku diam saja. Kubilang saja ada urusan yang harus dielesaikan sebentar.

Anehnya, di tempat hajatan, aku tidak bisa melepaskan pandanganku pada laki-laki 52 tahun itu. Pak Karto. Aku menatapnya dengan pandangan yang sinis nan menjijikan. Tidak pernah aku begini. Biasanya aku tidak terlalu peduli; hanya datang, bersalaman dengan mempelai, makan sambil berbincang, kemudian pulang dengan membanwa tenggok yang sudah berganti isi menjadi ulih-ulih[5] berupa beberapa makanan kecil dan ketan. Tapi kali ini, aku geregetan sendiri melihat senyum di wajah Pak Karto tampak penuh kemenangan. Menikahi gadis muda 22 tahun yang aduhai, laki-laki (tua) mana yang tidak gempita. Dengan menunduk, kulihat wajah gadis itu memasrahtakdirkan diri.

Apa semua laki-laki begitu?

Tapi aku mencoba menepis semua itu. Aku tidak punya urusan. Yang jelas, urusanku dengan nyumbang hari ini sudah selesai. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Mas Farid. Melayaninya sepenuh jiwa raga, pasti akan meluluhkan kemarahannya. Sudah kubulatkan tekad, sisa hari ini hanya untuk Mas farid.

Tapi sayang, apa yang terjadi benar-benar tidak pernah kubayangkan.

###

Dok... dok... dok...

Suara itu masih terngiang jelas di kepalaku. Belum lama, sekitar dua bulan yang lalu, legalitas kewarganegaraanku telah resmi tercatat sebagai janda. Bapak Hakim Ketua dengan ketukan palunya secara resmi telah memutuskan perceraian antara aku dan Mas Farid.

Aku ingat benar, bagaimana saat aku pulang dari nyumbang di rumah Pak Karto, Mas Farid sudah duduk dengan wajah yang merah padam di ruang tengah. Dia marah karena aku membantah. Aku diam karena merasa salah. Sesunggunhnya Mas Farid bukanlah lelaki yang kasar, tapi bentakannya siang itu tidak bisa kutafsirkan dengan maksud lain: dia murka. Dan bercerailah kita. Aku masih ingat benar, ulih-ulih dalam tenggok itu tidak pernah kucicipi secuil pun.

Bahkan keberadaan dua putri kami tidak bisa kujadikan tameng. Mas Farid benar-benar mengatakan bahwa haram baginya memperistri perempuan yang mendukung kemusyrikan. Mau apa lagi, sedangkan aku benar-benar melakukan semua yang Mas Farid tuduhkan. Aku pasrah. Setidaknya, tangisanku bisa menjadi pertahanan terakhir. Kedua putriku juga menangis. Si sulung menangis di sisiku karena tahu dia telah kehilangan bapak, si bungsu menangis di dadaku karena kehabisan susu dariku yang kelelahan. Kami hancur. Tapi pasrah.

 

Namun belum sampai dua bulan berselang, ingatan dan kepasrahan itu sekelebat berubah menjadi geram ketika aku mendengar kabar dari Bu Retno.

Sial!

Apa sebenarnya yang ada di pikiran Mas Farid? Belum ada tiga bulan sejak kejadian “tidak boleh nyumbang” itu, dia hendak menikah lagi. Kabar yang kudengar dari Bu Retno, Mas Farid menikah dengan perempuan asli Kedungbanteng.

Aku ingat betul, bagaimana dia menghujatku sebagai pendukung hal yang dilarang agama. Musyrik. Dia menceraikanku karena itu. Aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak terlibat dalam ritual sajen itu. Aku hanya ikut tradisi untuk nyumbang sebagai bentuk ucapan selamat kepada sesama warga desa. Tapi dia tetap tidak peduli. Dia menceraikanku dengan alasan kegagalannya membinaku menjadi istri yang baik dan patuh terhadap suami. Untuk alasan itu, walaupun terpaksa, aku menerimanya.

Tapi aku tidak terima kalau secepat ini dia mau menikah lagi. Walaupun sudah tidak ada urusan, tapi aku ingin tahu, bisa-bisanya semudah itu dia melupakan keluarga lamanya. Aku dan dua putrinya, yang sejatinya masih berada di bawah tanggungan nafkahnya. Aku bersama Bu Retno pun pergi ke rumah si empunya hajatan. Rumah istri barunya. Aku tidak memberi tahu, apalagi mengajak kedua anakku. Mereka pasti tidak akan terima dengan apa yang dilakukan bapak mereka. Seperti aku. Aku hanyut dalam kekalutan yang menjengkelkan.

Sampai di sana, janur kuning itu terlihat jelas. Alunan genjring menghiasi suasana di dalam tenda biru yang pastinya penuh kebahagiaan itu. Kecuali aku. Setiap langkah mendekati kerumunan bahagia itu, hatiku terus diamuk redam oleh perasaan yang tidak bisa kujelaskan.

Hei, apa-apaan ini?

Saat itu aku tertegun. Beberapa ibu tengah berjalan beriring ke lokasi hajatan tersebut. Di setiap tangan mereka, sebuah kotak bertangkai bergelantung dengan hikmat: tenggok. Seperti halnya ibu-ibu di desaku, mereka juga tengah nyumbang dengan membawa tiga kilogram beras, sebagai bentuk ucapan selamat berbahagia kepada kedua mempelai.

Yang membuatku heran, bukankah dulu Mas Farid melarangku untuk ini. Kenapa sekarang dia malah mengijinkan mereka datang untuk ini? Aku mencoba berbaik sangka, bahwa dahulu bukan karena nyumbang yang salah, tapi karena ritual sajen  yang dilakukan Pak Rikam malam harinya.

Aku kini tepat di depan rumah itu. Aku melihatnya. Dia tidak melihatku. Di wajahnya tidak tampak sedikit pun rasa trauma akan kehancuran pernikahannya yang dulu. Dia benar-benar bahagia. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda. Dia cantik. Lebih dari aku. Dengan lesung pipit yang menggoda, kulitnya menampakkan keremajaan yang ceria. Tapi binar mata itu tidak asing bagiku. Aku juga pernah memilikinya, saat dipersunting oleh laki-laki yang kucintai, dan yang juga aku yakini dia mencintaiku. Aku penasaran. Akupun memberanikan bertanya kepada seorang ibu yang lewat.

“Bu, ini pernikahan siapa, ya?” tanyaku.

“Ini pernikahan Sulastri, Putri Bu Supiah, dengan suaminya. Saya tidak begitu kenal, yang jelas, mereka sudah pacaran setahun.”

Setahun!

Sesaat aku tidak mampu berpikir apa-apa. Tanpa berbicara lagi, aku melangkah pergi dari hajatan itu. Jika tidak tahu malu, mungkin aku sudah melabrak laki-laki gila itu. Bu Retno yang menemaniku pun bingung dengan tingkahku. Mungkin juga bersiap jika saja aku limbung dan pingsan. Tapi itu tidak terjadi. Yang jelas, aku sudah tidak berkepentingan lagi di sini.

Mas Farid sudah satu tahun berpacaran dengan perempuan itu.

Di lahan kosong yang aku dan Bu Retno lewati, seekor ayam tengah mematuki sisa-sisa nasi, lauk-pauk, dawegan, serta beberapa gelas kaca berisi kopi, teh dan air putih yang sudah tumpah ditendangnya. Di tengah sesajen itu, sisa asap kemenyan masih mengepul dengan binal.

 

[1] Sayur tumis (istilah Banyumas)

[2] Nyumbang: Menghadiri hajatan (pernikahan, sunatan, dsb.) biasanya dengan membawa tenggok berisi bahan makanan.

[3] Orang sendiri. Dalam idiom Banyumasan berarti kerabat atau orang dekat.

[4] Tenggok: Sejenis kotak untuk membawa bahan makanan. Dalam budaya Banyumas, alat ini digunakan pada saat nyumbang.

[5] Oleh-oleh

Ikuti tulisan menarik Angga Wiwaha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu