x

Iklan

Silivester Kiik

Penulis Indonesiana.id, Guru, Penulis, Founder Sahabat Pena Likurai, Komunitas Pensil, dan Pengurus FTBM Kabupaten Belu. Tinggal di Kota Perbatasan RI-Timor Leste (Atambua).
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Februari 2022 18:10 WIB

Pendidikan di Perbatasan RI - Timor Leste dalam Perspektif Literasi Spasial

Pendidikan di daerah-daerah perbatasan masih minim perhatian. Letaknya yang strategis sebagai wilayah terdepan menjadi rawan. Sebab pendiidkan penting guna menangkal ancaman yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Mesti diingat, majunya suatu bangsa tidak hanya bergantung pada kekayaan alam melimpah dan pengelolaan tata negara yang mapan. Juga berawal dari penguatan literasi berkelanjutan dari generasi ke generasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Silivester Kiik , Guru, Penulis, Pegiat Literasi Kabupaten Belu, Founder Komunitas Sahabat Pena Likurai

Email: kiiksilivester@gmail.com

Kabupaten Belu, Malaka, dan Timor Tengah Utara (TTU) merupakan tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Jika dikaji dari aspek pendidikan, maka akan ditemukan berbagai permasalahan. Mulai dari literasi digital yang dicanangkan pemerintah pusat sampai daerah 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) belum ditemukan pucuknya seperti kota-kota metropolitan. Tidak heran jika jalur perbatasan yang berada di beberapa daerah disebut sebagai “Jalur Sabuk Merah” karena dapat mengaksesnya tanpa harus menyeberangi lautan. Jalur ini pada satu sisi tentunya memberikan dampak positif dan negatif bagi ketiga kabupaten ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenyataannya di daerah-daerah perbatasan ini masih minim perhatian serius dan proporsional, padahal letaknya teramat strategis sebagai wilayah terdepan guna menangkal segenap ancaman yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Wilayah perbatasan mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam. Banyak terjadi berbagai persoalan seperti penyelundupan barang dan jasa, perubahan batas wilayah, serta kejahatan trans-nasional.  Selain itu, sarana prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Sehingga situasi paradoks antara “harapan” dan “kenyataan” yang diperlihatkan dari peran dan fungsinya perlu dibenahi.

Salah satu sorotan utama adalah aspek pendidikan yang memadai harus menjadi perhatian secara baik dari pemerintah seperti segi pelayanan terhadap siswa, ketersediaan tenaga pendidik, fasilitas belajar, kelengkapan buku pelajaran dan lain sebagainya. Sebagai salah satu contoh adalah tenaga guru. Sekolah-sekolah harus mati-matian mencari guru yang bisa mengisi mata pelajaran tertentu. Sekolah ini terpaksa mengambil guru dari luar sekolah yang sudah mendapatkan amanah di sekolah asalnya. Persoalan ini mungkin dapat teratasi dengan program pemerintah seperti Guru Garis Depan (GGD) yang ditempatkan di Sekolah Garis Depan (SGD) melalui program Nawacita ke-3 yaitu membangun dari pingiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Namun, kenyataan dari contoh di atas belum tersebar dengan merata di daerah-daerah perbatasan.

Majunya suatu bangsa tidak hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah, pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguatan literasi yang berkelanjutan dari generasi ke generasi. Namun, yang terjadi saat ini (bahkan daerah-daerah perbatasan), budaya literasi sudah semakin jauh ditinggalkan oleh generasi muda seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi. Kegiatan masyarakat, khususnya kaum muda menggunakan internet lebih banyak sebagai sarana hiburan. Padahal, pendidikan berbasis budaya literasi, termasuk literasi digital merupakan salah satu aspek penting yang harus diterapkan di sekolah-sekolah guna memupuk minat dan bakat yang terpendam dalam diri mereka.   

Pentingnya budaya literasi dalam pendidikan menjadikan perkembangannya tidak hanya seputar baca, tulis, berhitung (calistung), namun juga berkaitan dengan konsep “berpikir” seperti kemampuan berpikir tentang ruang, kemampuan penguasaan gagasan baru atau cara mempelajarinya, dan kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik, agama, sosial, budaya lokal setempat. Perkembangan konsep literasi saat ini dihubungkan dengan berbagai kehidupan manusia, sehingga muncul terminologi literasi sains, teknologi, sosial, politik, bisnis, dan lainnya. Tuntutan untuk menjadi masyarakat berliterat yang tinggi menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan di generasi milenial ini.  

Masyarakat yang berliterat di daerah-daerah perbatasan patut mendapat perhatian ekstra dari segala komponen. Di mulai dari pembinaan literasi khusus kepada pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah, dan masyarakat secara umum merupakan tanggung jawab dan keharusan yang tidak dapat dianggap remeh. Berdasarkan data dari BPS Provinsi NTT (https://ntt.bps.go.id) Tahun 2020 jumlah persentase penduduk berumur 15 tahun sampai 24 tahun yang melek huruf dari ketiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Belu (88,04), Kabupaten Malaka (89,96), dan Kabupaten TTU (97,63). Dari data-data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat melek huruf di ketiga kabupaten tersebut masih sangat tinggi.

Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa minat baca di kalangan masyarakat termasuk anak-anak dan para remaja kita memang masih rendah. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa sampai terjadi demikian? Apakah budaya membaca, sebagai wujud komitmen terhadap proses pendidikan sudah sedemikian dipandang tidak penting oleh sebagian masyarakat kita? Wilayah perbatasan sebagai pintu penghubung terutama para intelek muda sebagai agen perubahan harus membentang tikar untuk berbenah diri agar menjadi sebuah jawaban untuk menjawabi tantangan global. Hal tersebut dibentuk melalui suatu informasi dengan memahami, menerapkan, menganalisis, dan mentransformasikannya. Inilah parameter yang menjadikan seseorang disebut literat.

Kaum milenial diharapkan untuk mampu membaca dan bertindak terhadap segala kebutuhan manusia. Salah satu yang ditawarkan oleh penulis adalah membangun juga literasi spasial sejak dini bagi generasi kita. Sebab, pentingnya literasi spasial bagi masyarakat masa kini yang berubah begitu dinamis dan semakin global adalah kemampuan untuk menganalis berbagai fenomena yang ditemukan dalam kehidupan nyatanya di masyarakat. Sehingga memiliki karakter yang sadar dan peduli lingkungan sekitarnya termasuk lingkungan alam tempat tinggalnya.

Literasi spasial merupakan kemampuan untuk menggunakan sifat-sifat ruang dalam menganalisis, memberikan solusi, dan mengkomunikasikannya dengan orang lain melalui pengetahuan dan keterampilan untuk mengekplorasikannya dalam berbagai ide dengan berbagai cara. Saat ini berbagai permasalahan lingkungan banyak terjadi akibat ulah jahil dari manusia seperti pembakaran hutan, penggundulan tanpa reboisasi, alih fungsi lahan-lahan produktif, pencemaran, banjir akibat membuang sampah sembarangan, limbah rumah tangga maupun industri. Permasalahan lingkungan hidup tersebut menggambarkan kurangnya kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungannya.   

Literasi spasial melibatkan setiap individu mengembangkan membaca dan melihat, menulis dan menciptakan, berbicara dan mendengarkan. Mereka menggunakan ini untuk mengeksplorasi, menafsirkan, mengevaluasi fenomena geografis dan masalahnya, dan mengomunikasikan ide-ide mereka secara geografis. Hal ini juga melibatkan siswa yang bekerja dengan berbagai teks cetak, lisan, visual dan digital untuk mengumpulkan, mensintesis, dan menganalisis informasi, menyajikan dan membenarkan ide, kesimpulan dan pendapat di berbagai konteks permasalahan.

Konsep-konsep ini sebagai pilar untuk setiap orang mampu membaca dan mengetahui karakteristik ruang tempat tinggalnya, dan mampu memahami dan mengenali konsekuensi dari susunan keruangan dari berbagai objek di muka bumi, melihat antar-hubungan antara berbagai objek, tempat, ruang dan lingkungan serta berperilaku secara efisien secara spasial dan berperilaku ramah secara ekologikal (interaksi manusia dan lingkungan) dalam dunia nyata. Sehingga makna dari dari literasi adalah individu yang memperoleh hidup dasar melalui keterampilan, mampu memecahkan masalah yang mungkin dihadapi dalam hidup, memahami masyarakat, dan sosial-budaya di revolusi 4.0 secara aktif berpartisipasi di dalamnya.

Dengan demikian, literasi di daerah-daerah perbatasan harus menjadi pemenang dalam era globalisasi ini. Tentunya dengan melibatkan diri secara inovatif, kreatif, kolaboratif, dan menyenangkan menjadi masyarakat berliterat dengan bergerak melalui perpustakaan keliling, pegiat literasi yang dengan semangatnya membuka taman bacaan masyarakat, taman bacaan anak, seminar literasi perbatasan, gerakan literasi sekolah dan lainnya sebagai penyedia sumber bacaan bagi masyarakat.

Pada nadi setiap orang harus memahami bahwa dunia kita saling berhubungan, dan keputusan yang dibuat memiliki jangka panjang. Jika ingin meningkatkan masyarakat berliterat di daerah-daerah perbatasan, maka harus memberikan peluang nyata untuk mempraktikkan pemikiran kritis, menyimpulkan, dan kemudian mengevaluasi hasilnya berdasarkan keputusan dari berbagai perspektif. Mari menumbuhkan literasi di bumi Flobamora ini. Biarkan mewangi seperti harumnya cendana yang membahana di bumi yang kita cintai ini. Salam literasi. 

Catatan: Artikel ini merupakan Juara 1 dalam  "Lomba Festival Literasi Perbatasan FTBM NTT (Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao) Tahun 2021" - Kategori Guru. 

TENTANG PENULIS

Silivester Kiik, lahir di Kecamatan Io Kufeu Kabupaten Malaka, 14 September 1987. Karya antara lain buku antologi puisi dan buku pendidikan: “Amor (2020); DEBU dan Sebuah Pesan yang Belum Sempat Terbaca Oleh Rembulan (2020); Menabur Matahari (2020); INOVASI PEMBELAJARAN GEOGRAFI ZAMAN NOW (Suatu Penerapan dalam Model Pembelajaran Outdoor Study, Gaya Belajar, dan Kemampuan Berpikir Spasial Siswa)”. Puisinya mengisi antologi bersama nasional dan regional diantaranya: “Sepotong Hati yang Terluka (2018); Tetes Embun Masa Lalu (2018); Seutas Memori dalam Aksara (2018); Warna-Warni Aksara (Jilid II) (2018); Laki-Laki Perkasa yang Tak Pernah Menangis (2018); Diam yang Bersuara (2018); Prelude (2019); Romantisme Perahu Kertas (2019); Montase Kenangan (2019); Berapi (2019), Pucuk-Pucuk Harapan (2019); Bercengkerama di Musim Rindu (2019); Topeng Jiwa (2019); Sepasang Tangan yang Terpasung (2019); Sajak-Sajak Penaku dan yang Bersemayam dalam Diri (2019); Segelintir Kesucian (2019); Selamat Datang Mas Nadiem: Gagasan Literasi Maju untuk Menteri Baru) (2019); Menyalibkan Cemburu (2020); HIDUP ITU PUISI dan Sajak-Sajak yang Terlempar di Tengah Kampung (2020); Rumah Sebuah Buku (2020); Seribu Suara Warna-Puisi Pendidikan dan Literasi Media Guru-Gurusiana (2020); Corona-Penyair Indonesia Mencatat Peristiwa Negeri-Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia VIII (2020); Tadarus Puisi IV-Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2020); Sampah-Puisi Penyair Indonesia (2020); Seruling Sunyi untuk Mama Bumi (2020); Gembok- Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia IX- Penyair Indonesia (2021); Antologi Puisi Nasional “ASU”- Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia IX- Penyair Indonesia (2021); dan lainnya. 

Pada tahun 2020, penulis mengikuti kegiatan Magang Pegiat Literasi Kemdikbud. Selain itu, penulis bersama teman-teman penggiat Relawan Literasi Belu mendirikan sebuah komunitas literasi yang dinamakan dengan “Komunitas Pensil”. Komunitas ini terbentuk dengan tujuan memberikan nuansa baru dalam menumbuh dan mengembangkan kreativitas dan minat baca anak-anak di wilayah perbatasan Kabupaten Belu-NTT dengan menyediakan bahan-bahan bacaan. Penulis juga mendirikan komunitas menulis bagi kaum muda yakni “Komunitas Sahabat Pena Likurai” dan “Komunitas Sabana”. Saat ini tinggal di Kota Perbatasan RI-RDTL (Atambua-Timor-NTT).

Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler