x

merdeka belajar

Iklan

Erri Subakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Februari 2022 17:51 WIB

Gue Mau Jadi Ustad


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rumah tipe 45 di wilayah Bogor ini terlihat asri. Dihuni oleh sepasang suami istri yang masih muda dengan satu anak mereka.

Hampir tidak ada yang berubah dari Oji, salah satu sahabat masa kecilku ini. Tubuhnya tergolong kecil, namun dengan kapasitas otaknya yang besar.

Oji, yang aslinya bernama Rozikin, anak betawi asli yang tumbuh besar di Jakarta ini adalah orang yang sering membuatku terheran-heran. Bukan apa-apa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oji adalah anak seorang supir bajaj. Ekonomi keluarganya tergolong pas-pasan. Ia tinggal di daerah pemukiman padat waktu kecil yang penuh dengan lingkungan para preman dan bahkan dekat dengan tempat pelacuran. Namun ia bak intan dalam lumpur. Tumbuh tanpa terkontaminasi oleh perilaku negatif dari orang-orang sekitarnya.

Rumahnya kala itu terletak di sebuah gang sempit dan kumuh. Ia anak bungsu dari 5 bersaudara. Rumahnya yang kecil jelas sangat sesak untuk ditinggali oleh keluarganya itu. Karena itu sejak kecil ia malah lebih sering tidur di musholla terminal.

Hal yang membuatku takjub dari Oji selain tidak terpengaruh perilaku negatif orang-orang sekitarnya adalah pada otaknya yang sangat encer..!

Kadang aku iri melihat begitu pintarnya ia di ilmu-ilmu eksakta, terutama matematika. Tubuhnya yang kurus waktu itu seakan memperlihatkan tidak banyak nutrisi yang masuk ke tubuhnya. Namun ia selalu meraih ranking satu di sekolah.

Jika dibandingkan dengan diriku yang lumayan berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk membeli buku-buku yang menunjang pendidikanku di sekolah, Oji tentu saja tidak mampu membeli banyak buku-buku untuknya belajar. Ia selalu membaca buku-buku bekas yang memang banyak dijual di para pedagang buku loakan di dekat terminal. Dan ia hanya membaca saja, tidak membeli.

Berbeda denganku waktu kecil, selain di rumah memiliki ruang baca atau perpustakaan kecil, aku juga aktif menjadi anggota di beberapa perpustakaan. Baik itu perpustakaan sekolah swasta yang lebih menarik buku-bukunya atau bahkan di sebuah perpustakaan besar seperti Balai Pustaka.

Tapi memang dasarnya Oji terberkati dengan kecerdasan berpikirnya, ia selalu mengalahkan murid-murid lain dalam pelajaran di sekolah dan sering terpilih menjadi siswa teladan dan berprestasi untuk tingkat propinsi.

Ada hal yang buat saya geleng-geleng kepala saat kami duduk di bangku SMA. Oji pernah berbulan-bulan tidak masuk sekolah. Ia menunggak pembayaran SPP. Ini Dikarenakan ayahnya sebagai pencari nafkah utama keluarga, kala itu sakit dan membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan. Oji harus ‘berhenti’ sekolah selama 3 bulan dan menjadi kernet metromini sebagai pencarian penghidupan keluarganya.

Tapi luar biasanya adalah saat akhirnya Oji masuk kembali ke sekolah, dan mengikuti ulangan atau beberapa test, nilai-nilainya malah tinggi! Bahkan lebih tinggi dari semua teman-teman di kelas.

Seakan-akan tanpa belajar pun Oji mampu mengerjakan soal-soal test dengan baik. Dan prestasi belajarnya itu terus dicapainya hingga ia mampu menembus perguruan tinggi negeri, Fakultas Teknik, Jurusan Metalurgi.

Buat saya yang sudah mengikuti bimbingan belajar untuk menembus perguruan tinggi negeri dan hanya mampu menembus jurusan ilmu-ilmu humaniora, semakin takjub dengan prestasi anak supir bajaj ini.

Aku dan Oji memang sahabat yang saling melengkapi. Dulu saat Oji kelimpungan dengan urusan administrasi pendidikannya, aku yang mendekati pihak TU sekolah dan kampus untuk mengusahakan agar Oji mendapatkan beasiswa. Namun di saat aku kadang seperti layangan putus dan kehilangan arah, Oji kerap menguatkan dan memberikan pencerahan yang tak terpikirkan.

Aku sengaja menyempatkan diri bersilaturahim ke rumah Oji setelah 3 tahun tak bertemu muka karena rasanya saat ini aku terus berlari, berkejaran dengan sang waktu. Entah apa yang kukejar, namun beban di pundak terasa semakin memberat.

“Jadi lo milih jadi guru matematika? Dibanding kerja di perusahaan baja itu yang gajinya nyampe 80 ribu dollar??! IPK lo waktu kuliah kan terancam 4…! Dan kalau kawan-kawan harus jadi fresh graduate yang gajinya standar, lo udah ditawar dengan awal gaji yang tinggi dan perlu beberapa tahun untuk kita bisa nyaingin lo…,” tanyaku bertubi-tubi keheranan dengan pilihan hidup seseorang yang paling cerdas yang pernah aku kenal ini.

Oji cuma terkekeh. Dan dengan aksen betawinya yang kental, ia mengatakan kini ia sudah sangat bersyukur sekali mampu meningkatkan status sosial ekonomi keluarganya. Dan ia merasa dengan menjadi guru ada kepuasan batin yang tidak ia dapatkan dalam pekerjaannya terdahulu.

Ia pun bercerita telah mengalami pergulatan batin sebelum memutuskan untuk terjun menjadi guru di sebuah sekolah Islam berasrama di kawasan bogor ini. Dan aku mulai mengingat, ia pernah berucap saat SMA setelah ia berjibaku bekerja sebagai kernet bus metromini waktu itu, “Gue pengen jadi ustadz nanti…”

Dan kini Oji mencapai mimpinya dengan menjadi guru, menjadi ustadz yang mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk generasi masa depan bangsa.

“Lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan bangsa ini harus di putus Za… Karena miskin maka banyak yang bodoh bahkan tidak bisa mengecap pendidikan. Karena pada kenyataannya mereka harus membantu mencari nafkah di usia sangat belia. Dan karena mereka tak punya keterampilan apalagi pendidikan yang layak, maka tak jauh-jauh mereka pun akan hidup dalam lembah kemiskinan lagi… dan terus seperti itu…”

“Dan ane sadar… Ane gak bisa egois menumpuk harta buat diri sendiri dan keluarga ane aje, tapi ane juga harus tularkan ilmu yang ane punya ke banyak anak-anak yang sekarang ane asuh di madrasah masjid komplek Za… Banyak anak-anak pemulung ane ajak belajar di sana… Membuat mereka jadi seneng ame yang namenye belajar dan belajar Za.”

“Lewat medium internet sekarang ini ane mudah dapetin bahan-bahan ajaran yang sesuai dengan anak-anak itu. Ane print out sendiri materi e-book yang ade, terus ane jilid dan membiarkan anak-anak pada baca dan belajar…”

Aku hanya terpekur, mataku berkaca-kaca atas ketulusan anak supir bajaj ini, yang pernah kerja di perusahaan baja, namun memilih menjadi ustadz. Ya sahabat. Kamu membuatku amat malu dengan diri ini. Aku yang awalnya ingin meluapkan kegundahan hati dengan problema hidup yang membuat batin lelah, kembali mendapat pukulan telak dari sahabatku sendiri bukan dengan nasehat atau petuah menggurui. Melainkan dengan kebersahajaan hidupnya.

Benarlah sahabat, nilai seorang manusia bukan ditentukan dari seberapa besarnya angka pada slip gaji yang nempel di jidatnya, melainkan lebih pada seberapa bermanfaatnya diri ini untuk orang banyak dan lingkungannya. ***

Ikuti tulisan menarik Erri Subakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler