x

Iklan

Mario Plasidius Manalu

JP Group Reporter
Bergabung Sejak: 20 Agustus 2019

Selasa, 22 Februari 2022 07:37 WIB

Cengkeraman PT TPL Membuat Masyarakat Tak Berdaya (Bagian 1)

Dua minggu di kampung (Aekraja, Taput, Sumut) saya semakin paham kenapa masyarakat  tak berdaya sama sekali ketika berhadapan dengan hegemoni perusahaan penghasil bubur kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan ini memiliki perkebunan ekaliptus di kampungku dengan dampak kerusakan lingkungan yang membuat prospek pertanian masyarakat suram. Dalam keadaan itu, perusahaan memperkuat cengekeramannya terhadap hampir semua sendi kehidupan masyarakat sekitar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua minggu di kampung (Aekraja, Taput, Sumut) saya semakin paham kenapa masyarakat  tak berdaya sama sekali ketika berhadapan dengan hegemoni perusahaan penghasil bubur kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan ini memiliki perkebunan ekaliptus di kampungku dengan dampak kerusakan lingkungan yang membuat prospek pertanian masyarakat suram. Dalam keadaan itu, perusahaan memperkuat cengkeramannya terhadap hampir semua sendi kehidupan masyarakat sekitar.

Di salah satu dusun dekat kampungku bernama Pea, ada satu areal persawahan luas dengan pemandangan indah petak-petak sawah terasering. Pinggir-pinggi sawah itu sekarang di jadikan kebun ekaliptus. Air mulai susah, bahkan menurut petani di sana ancaman kekekeringan sudah di depan mata dan saya menyaksikan sendiri perubahan drastis volume air di selokan pinggir sawah tersebut dibandingkan masa kecilku dulu.

Kalau dulu pohon ekaliptus hanya ditanam di hutan-hutan dengan jarak relatif jauh dari sawah, sekarang pinggir-pinggir sawah juga sudah didominasi ekaliptus. Tidak perlu menunggu satu dekade, petani akan kesulitan mendapatkan air. Jika itu terjadi, langkah paling logis bagi petani agar bisa bertahan hidup adalah menyerahkan bekas areal sawah mereka ke TPL untuk dijadikan perkebunan ekaliptus dengna sistem bagi hasil. Ini praktek yang makin lumrah sekarang karena TPL menggalakkan sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan PKR (Perkebunan Kayu Rakyat)—tentang ini akan saya terangkan di bagian lain untuk melihat bagimana TPL membuat semua perlawanan rakyat terhadap perusahaan menjadi perlawanan rakyat terhadap rakyat (yang menikmati keuntungan dari TPL).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cengkeraman lingkungan berikutnya berjalan melalui hama tanaman. TPL dalam beberapa tahun terakhir rutin melakukang pengasapan (fogging) di kebun-kebun ekaliptus. Pengasapan itu membuat hama mati atau pidah ke hutan lain atau ke kebun masyarakat. Para petani kemenyaan sekarang mengeluhkan ulat yang memakan daun-daun pohon kemenyaan. Petani bertanya ke orang-orang yang lebih tua apakah hama seperti itu pernah mereka lihat sebelumnya, semua geleng kepala. Artinya hama ulat daun itu merupakan hama baru sehingga logis untuk menduga kaitannya dengan pengasapan-pengasapan yang mulai rutin dilakukan TPL beberapa tahun terakhir.

Ketika mendengar cerita tentang hama kemenyaan tersebut, saya membayangkan dalam dua atau tiga tahun lagi TPL akan mendapat tambahan lahan minimal 30 Ha.  Itu terjadi kalau 10 orang saja petani kemenyaan bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menyerahkan lahannya ke TPL dengan sistem bagi hasil (PIR). Tiap petani kemenyaan menguasai minimal 3 Ha hutan.

Perluasan kebun ekaliptus akan terus terjadi secara organik. Petani akan menyerahkan sendiri lahannya menjadi  kebun ekaliptus karena kerusakan lingkungan membuat prospek pertanian semakin suram. Selain debit air yang semakin mengecil, hama baru yang belum pernah muncul di kampungku sekarang mulai mengganggu pohon kemenyaan, cabe, jagung, kopi dan tumbuhan-tumbuhan lain.

Keadaan diperparah oleh keberadaan monyet yang membuat banyak orang heran karena populasinya meningkat tajam dalam 1 tahun terakhir. Petani andaliman di Sampinur (sekitar 5 Km dari Aekraja) menderita kerugian karena pohon andaliman dirusak kawanan monyet. Begitu juga petani jeruk dan jagung.

Terus terang saya belum berani menuding TPL secara langsung sebagai pihak yang melepas monyet-monyet tersebut. Tapi tetap menjadi pertanyaan: Siapa yang mensponsorinya dan semoga jawabannya segera terkuak sebelum saya kembali ke Jakarta.

Saya mendapat dua kesaksian tentang pelepasan monyet tersebut. Saksi pertama mengatakan, tahun lalu melihat truk besar berisi monyet melintas di jalan dekat Areal TPL pada sore hari. Kesaksian kedua lebih detail, bersama dua temannya mereka melihat truk tersebut pada sore hari ke arah Sampinur. Mereka sempat melihat platnya merah dan ada tulisan “Pemda” di badan truk tersebut.

Akumulasi dari gangguan pertanian tersebut akan terus membuat masyarakat semakin tergantung pada TPL, hingga ada guyonan “semua akan menjadi TPL pada akhirnya”.

Untuk mengambarkan secara lebih konkrit ketakberdayaan masyarakat menghadapi cengkeraman TPL, saya akan ceritakan pengakuan seorang warga di lapo tuak. Sambil menikmati tuak saya menunjukkan melalui layar hp berbagai penelitian tentang dampak kebun ekaliptus pada lingkungan. Segera dibantah oleh seseorang yang saya panggil “Amang Boru”. Bantahannya selalu didasarkan pada pengalaman konkritnya bertani selama bertahun-tahun. Tapi dua jam kemudian (setelah menegak tuak lebih banyak) dia tiba-tiba berkata:

 “Tak perlu penelitian. Anak-anakpun tahu ekaliptus itu merusak banyak hal. Lihat saja aliran air di sawah kami semakin mengecil. Sepuluh tahun lagi kita takkan bisa lagi mengandalkan air minum dari hutan, kita pasti akan memakai sumur bor. Tapi kepada siapa kita mengadu? Kita mau melawan TPL? Sekejap mata kita semua bisa digusur”.

Ketika mabuk orang sering kehilangan rasa takut sehingga lebih mampu berkata jujur.

Pada bagian dua saya akan menguraikan cengkraman sosial di mana TPL memainkan apa yang disebut para teoritikus “relasi kuasa” untuk melemahkan kekuatan sosial budaya masyarakat. TPL merekrut orang-orang yang vokal dan berpengaruh secara sosial budaya di kampung. Mereka dijadikan karyawan atau pegelola PKR yang segera menjadi kaya raya. Berkat hubungan kuasa ekonomi itu, mereka menjadi tameng TPL menghadapi suara-suara kritis dari warga lain.

Ikuti tulisan menarik Mario Plasidius Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler