Pendekatan Pragmatik dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” Karya Kuntowijoyo
Minggu, 10 April 2022 12:43 WIB
Artikel ini mengenai pendekatan pragmatik dalam cerita pendek "DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA” karya KUNTOWIJOYO.
PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM CERPEN “DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA” KARYA KUNTOWIJOYO
Secara umum, pendekatan pragmatik ialah pendekatan yang melihat karya sastra sebagai media untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan yang ada hubungannya dengan pendidikan, moral, politik, agama, dan tujuan lainnya.
Sedangkan menurut para ahli, pendekatan pragmatik diartikan sebagai berikut:
Menurut Teeuw (1994) berpendapat “bahwa teori pendekatan pragmatik adalah bagian dari ilmu sastra, yang merupakan pragmatik kajian sastra dengan fokus pada dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna karya sastra”.
Menurut Relix Vedika (Polandia) berpendapat “pendekatan pragmatik adalah pendekatan seperti artefak (benda mati) di mana pembaca menghidupkan kembali melalui proses konkritasi”.
Kemudian menurut Dawse and User (1960) berpendapat “pendekatan pragmatik adalah campur tangan pembaca terhadap suatu karya sastra ditentukan oleh apa yang disebut “horizon penerimaan”, yang mempengaruhi reaksi dan kesan penerimaan karya sastra tersebut”.
Pendekatan ini menganut prinsip bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang membawa kesenangan bagi pembacanya. Penggunaan metode ini harus berhadapan dengan realitas konsep keindahan dan konsep nilai deduktif.
Metode pendekatan pragmatik dalam menganalisis karya sastra dapat dijabarkan dengan tiga langkah, yaitu:
Pertama, pembaca secara individu atau kelompok yang diminta untuk membaca karya sastra, kemudian pembaca akan menjawab beberapa pertanyaan dalam angket, termasuk reaksi, kesan, dan penerimaan mereka terhadap karya yang dibaca serta menganalisis data yang diperoleh. Kedua, mintalah pembaca individu atau kelompok untuk membaca literatur, kemudian minta mereka untuk menjelaskan literatur tersebut. Analisis kualitatif terhadap interpretasi yang dilakukan pembaca untuk memahami bagaimana mereka menerima atau menanggapi karya sastra. Ketiga, memberikan kuesioner kepada beberapa orang untuk melihat pendapat mereka tentang karya sastra, seperti pendapat sekelompok kritikus tentang karya sastra modern dan pendapat beberapa orang tentang karya sastra daerah mereka sendiri.
Dalam ketiga langkah tersebut dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang harus dipelajari dalam pendekatan pragmatik sastra.
Pada kali ini saya ingin membahas mengenai pendekatan pragmatik pada cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” karya Kuntowijoyo yang sudah tidak asing lagi bagi para kawula muda.
Cerpen "Dilarang mencintai Bunga-Bunga" menceritakan tentang seorang anak laki-laki bernama Buyung yang menyukai bunga, namun ditentang keras oleh ayahnya. Cerita dimulai dengan keluarga Buyung yang pindah dari desa ke kota. Di kota, rumahnya bersebelahan dengan rumah berdinding tinggi. Buyung mendapat kabar dari orang-orang bahwa seorang lelaki tua tinggal sendirian di rumah itu. Didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat, dia akhirnya memanjat pagar melalui pohon kates kemudian dia terkejut ketika melihat pemandangan di halaman rumah kakek itu yang penuh dengan banyak bunga.
Namun, dia gagal melihat si kakek. Dia juga bertanya kepada orang-orang tentang kakek tersebut, tetapi tidak ada yang tahu. Meskipun teman-temannya menertawakannya, dia tetap mencari informasi tentang kakek itu. Hingga suatu hari, dia bisa melihat si kakek dari dekat. Pertama kali mereka bertemu, kakek itu memberinya bunga yang di selipkan pada tangannya. Hebatnya, dia langsung jatuh cinta dengan bunga itu. Tetapi ayahnya menentang dan menghancurkan bunga itu. Buyung pun merasa sedih.
Setelah itu, Buyung sering pergi ke rumah si kakek untuk membawa pulang bunga. Dia menaruh bunga di kamarnya. Ayahnya sangat marah ketika melihat bunga itu. Akhirnya, perang dingin pecah antara dia dan ayahnya. Dia menghindari pertemuan dengan ayahnya. Dia lebih suka mengunci diri di kamarnya dan menatap bunga, atau pergi ke rumah kakek itu.
Ayahnya tidak menyukai hal tersebut, jadi Buyung diperintahkan untuk bekerja di bengkel yang berada di halaman rumahnya. Bahkan, seluruh waktunya dihabiskan untuk sekolah, mengaji, dan bekerja. Dia hampir tidak punya waktu untuk pergi ke rumah kakek itu. Ketika ada kesempatan, barulah ia dapat menemui si kakek.
Saat itu, dia bertanya tentang pekerjaan si kakek. Kakek menjawab bahwa dia mencari kehidupan yang sempurna melalui bunga. Ia pun bertanya kepada ayahnya. Ayahnya menjawab bahwa dia mencari kehidupan yang sempurna melalui pekerjaan. ”Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti. Mesti, Buyung! Lihat tanganmu!” kata ayahnya. Buyung pun menemukan jawaban bahwa kedua tangannya harus digunakan untuk bekerja. Kemudian, cerita ditutup dengan sebuah kalimat singkat, ”Bagaimanapun aku adalah anak ayah dan ibuku”.
Analisis Cerpen dengan Pendekatan Pragmatik
Cerita “Dilarang mencintai bunga-bunga”, yang dipilih sebagai judul kumpulan cerpen ini, mengungkapkan masalah yang dihadapi seorang anak ketika harus menentukan pilihan antara bunga dan bengkel. Tokoh dalam cerpen itu adalah seorang anak laki-laki yang bersama orang tuanya baru saja pindah ke kota. Ayahnya adalah sorang pekerja bengkel, gagah, berotot, dan tak kenal lelah kerja apapun. Pendiriannya: Malas adalah musuh besar laki-laki.
Di kota, anak itu bertemu dengan seorang kakek. Mula-mula adalah misteri, jika bukan takhayul, dan memilih bunga sebagai simbol kehidupan. Permainan lambang Kuntowijoyo tampaknya mengikuti konvensi yang ada. Simbol ini menggunakan kontras untuk memberikan makna. Anak-anak terperangkap di antara kakek dan ayah, bunga dan mesin, ketenangan pikiran dan kekacauan kerja, surga dan neraka. Dari kakek, anak-anak belajar mencintai bunga, mencari ketenangan pikiran dan kehidupan yang sempurna. Ayahnya mengubah rumahnya menjadi bengkel yang bising dengan pukulan palu. Sang ayah mengendalikan anak, membuat anak melupakan "bunga" dan mengetuknya di tempat kerja. Ibu mendukung ayah dan menawarkan satu tambahan, masjid. Di akhir cerita, si anak memilih orang tuanya, bengkel dan masjid, mengaji, dan bercerita. Ini bukan ketenangan jiwa dan bunga.
Dalam ceritanya, terasa dialog antara kakek dan sang anak yang menjadi tidak ringan lagi, bahkan melampaui takaran nalar sang anak, misalnya saat mereka berdialog untuk mencari kesempurnaan hidup : “Rumah ini”, kata kakek, “sebagian kecil dari sorga” (Hal.9). Atau ungkapan ini: “Katakanlah, cucu. Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” sang anak itu pun menjawab, “Tidak ada Kakek! Tidak ada yang lebih dari itu! (Hal.12)
Dikisahkan kemudian Kakek menuntun anak ini untuk menikmati bunga-bunga: “Segala yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan”. Itu adalah ajaran kakek kepada sang anak, yang tentu maksudnya menyodorkan keseimbangan.
Dalam kumpulan cerpen ini, Kuntwijoyo mengungkapkan keprihatinannya terhadap berbagai persoalan sosial yang mungkin tampak sepele bagi kebanyakan penulis yang lebih memperhatikan gagasan "besar". Dia meneliti pikiran dan perasaan berbagai tipe orang yang sering tampak bingung tentang situasi sosial tertentu, apakah itu tentang diri mereka sendiri atau orang lain. Kesalahpahaman ini mengarah pada "kelambanan" bereaksi para tokoh-tokohnya. Hal ini terlihat dari karakter anak laki-laki yang masih gemetaran dengan postur yang tidak stabil. Cerpen ini menekankan pada penjelasan yang sangat detail tentang hubungan antara kakek dan anak. Kuntowijoyo telah menyatakan lebih banyak pemandangan kehidupan kakek, yaitu kebatinan.
Kumpulan cerpen tersebut mengandung “benang merah” dari gaya pengarang, perkembangan pengarang, dan pesan yang dihayati pengarang. Mungkin kumpulan cerita pendek juga merupakan retrospeksi penulis dengan cara lain. Hal inilah yang melatarbelakangi ulasan singkat 10 cerpen karya Kuntwijoyo. Siapa yang tidak mengenalnya? Tidak hanya dia seorang penulis, dia juga seorang sejarawan, guru, dan pemikir Islam yang luar biasa. Mungkin inilah hal pertama yang perlu diketahui Sunu Wasono sebelum mendalami lebih jauh karya yang diterbitkan ulang dengan benar dalam buku ini. Namun demikian, cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini tidak pernah mengesankan keberadaan Kuntwijoyo sebagai seorang ulama atau ahli. Dia membatasi dirinya pada kemampuan cerita pendek. Tidak ada nasihat, dia berkhotbah, tidak ada sejarah. Tentu saja, sebagai seorang pemikir, ia mengemukakan hal-hal ini dengan premis bahwa isi cerpen bukanlah isi novel. Karena itu, jangan bandingkan kumpulan cerpen ini dengan novel monumentalnya “Khotbah di Atas Bukit”.
Cerpen Kuntowijoyo adalah cerpen “filsafat” dengan pola konvensional. Pemikiran filosofisnya diekspresikan secara intens, tetapi emosi ceritanya diresapi melalui susunan puitis kata-katanya. Pikiran-pikirannya problematik, penelitian dan analisisnya menarik, selain itu dia didorong untuk membuka dimensi tentang makna keberadaan manusia di planet ini. Pola hidup, pola pikir, dan sistem pertumbuhan manusia sebenarnya berbeda satu sama lain tergantung pada latar belakang dan persepsinya.
Tampaknya setting yang dibangun Kuntwijoyo diperhitungkan untuk membangun karakter watak para tokoh-tokohnya. Kepribadian Ayah yang tangguh dan dinamis diwakili oleh lingkungan kerjanya sebagai seorang teknisi, kepribadian Kakek yang diwakili oleh bunga-bunga yang harum semerbak dan dianggap angker oleh anak-anak. Kakek adalah perwakilan dari dunia kebaikan wanita yaitu kelemah lembutan. Sedangkan "aku" adalah seseorang yang ditarik dari sisi ke sisi dan menghabiskan waktu yang tidak pasti, yang semuanya sangat cocok dengan analisis karakter. Dibandingkan dengan kebanyakan cerpen Indonesia, cerpen ini cukup panjang. Walaupun cerpen ini panjang, namun tetap menarik dan tidak pernah bosan untuk dibaca. Tentu saja, ini adalah masalah yang tampaknya sederhana, sehingga mudah untuk membayangkan bahwa ucapan-ucapan rinci itu penting. Inilah teknik utama cerpen Kuntwijoyo. Cerpen ini menekankan pada penjelasan yang sangat detail tentang hubungan antara kakek dan anak. Kuntowijoyo terutama mengungkapkan pandangan hidup kakek yaitu kebatinan. Saya membaca bahwa ada tarik ulur dan ketegangan berlanjut sepanjang cerita.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pendekatan Pragmatik dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” Karya Kuntowijoyo
Minggu, 10 April 2022 12:43 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler