x

Empati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 April 2022 20:36 WIB

Menjadi Orang yang Menjernihkan Suasana

Semoga para orang tua dan anaknya terus menjadi penjernih suasana di dalam keluarganya masing-masing, dengan begitu, akan berimbas kepada suasana lingkungan masyarakat yang aman dan nyaman. Aamiin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kekacauan, bila tidak dijernihkan, maka akan menjadi kacau yang beranak pinak. Begitu pun, suasana Ramadhan di negeri ini, terus dilanda kekacuan yang tak berujung, sebab terus lahir kekacauan demi kekacauan.

Akibatnya, Senin (11/4/2022) harus ada gerakan aksi nasional yang diinisiasi oleh mahasiswa seluruh Indonesia? Apa yang akan dilakukan oleh para mahasiswa, tujuan dan sasarannya sudah jelas, karena rencana mulia itu pun sudah tersiar di berbagai media massa.

Marah orang tua-anak, anak-orang tua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gerakan aksi mahasiswa akibat kemarahan rakyat, bila saya analogikan sebagai bentuk kemarahan anak kepada orang tua, kira-kira, bagaimana sikap orang tua ketika menghadapi anaknya yang marah?

Bila anak marah, karena benar orang tuanya terus bikin kesalahan yang membikin suasana keluarga kacau, apakah orang tua akan mengabaikan kemarahan anak, meski kemarahan anak dilakukan dengan cara protes yang benar?

Selama ini, dalam sebuah keluarga, bila anak bikin kesalahan atau berbuat kesalahan, sudah pasti orang tua akan menegur, bisa jadi sampai marah karena kesalahan yang sampai fatal dibikin oleh anak.

Anak yang baik, tentu akan menurut dan mengerti mengapa orang tuanya sampai marah. Dan, anak yang baik dan cerdas, juga paham apa arti marah orang tua kepada anak. Kemarahan orang tua itu=rasa sayang.

Tetapi, bila yang bikin kesalahan adalah orang tua, sampai terbalik, anak yang marah pada orang tua, karena orang tua bikin kacau suasana keluarga, kira-kira apakah sikap marah anak salah? Bagaimana bila benar orang tua bikin kesalahan, lalu anak marah dengan maksud mengingatkan, karena tentu, marah sang anak juga=sayang sama orang tua?

Orang tua yang cerdas intelegensi, personality, tentu, pasti, akan menyadari kesalahan yang diperbuat, dan tak malu, tak segan, meminta maaf kepada anak atas kesalahannya, pun tentu akan janji tak mengulangi kesalahan demi ketenangan dan ketentraman keluarga.

Dari analogi itu, saat anak yang berbuat salah, maka orang tua menjadi penjernihnya. Sebaliknya, saat orang tua yang salah, maka anak menjadi penjernihnya.

Sebab, menjernihkan itu, selain membuat suasana jernih, juga menghilangkan perasaan susah, kacau, mengheningkan, menjadikan jelas duduk masalah hingga selesai masalah, dan membuat suasana tidak tegang.

Suasana negeri ini

Kejadian dan suasana kacau di negeri ini, siapa pelakunya? Siapa yang bikin suasana kacau dan siapa yang marah? Seperti analogi anak dan orang tua, maka saya ibaratkan pemerintah, parlemen, dan para pemimpin=orang tua, sementara mahasiswa=rakyat.

Andai saja orang-orang yang seharusnya amanah di negeri ini, tidak terus gila harta dan tahta (baca: orang tua). Mereka juga tidak membentengi diri atau tidak dibentengi oleh para pendukung yang dibayar demi terus mengamankan posisi mereka, tentu suasana di negeri ini akan aman dan nyaman. Rakyat (baca: anak) pun tidak terus diterpa penderitaan berkepanjangan.

Rakyat yang terus menderita, harusnya dientaskan dari keadaan yang menghimpit, tetapi justru sebaliknya, rakyat malah terus jadi segala obyek untuk kendaraan mereka meraih, mengeruk harta, sekaligus mempertahankan tahta.

Siapa yang seharusnya menjernihkan suasana di dalam bulan Ramadhan 1443 Hijriah? Mengapa di bulan penuh berkah dan ampunan, terutama di dunia maya, Indonesia terus dihiasi oleh perseteruan, permusuhan, saling serang, saling membenci dan lain sebagainya, yang pangkal masalahnya justru hanya berpusar di situ-situ saja, harta dan tahta?

Seandainya, orang-orang yang diberikan amanah duduk di singgasana kekuasaan mulai dari tingkat desa hingga pusat, pandai bersyukur, maka dapat saya pastikan negeri ini akan aman, nyaman, dan tenteram.

Sayang, ternyata orang-orang yang seharusnya menjadi teladan dan panutan, karena duduk sebagai pemimpin, malah konsisten seperti tak sadar diri karena mabok duniawi. Terus hidup berkubang masalah, dari masalah yang mereka cipta sendiri.

Coba, bila mereka meraih kedudukan sebagai pemimpin tidak dengan cara dimodali atau utang? Pasti mereka tidak akan brangasan dan menghalalkan segala cara demi meraih uang untuk mengembalikan modal dari pinjaman atau utang. Tidak akan membabi buta mempertahankan tahta hingga coba-coba memperpanjang tahta, kekuasaan. Tidak harus membayar buzzer demi melindungi dan membentengi.

Kegaduhan di negeri ini terus sengaja dicipta, bikin masalah A karena ada tujuan B. Bikin kisruh di zona C karena harapannya dapat D, dan segudang skenario yang arahnya tak pernah sulit untuk ditebak. Tapi selalu sasarannya rakyat.

Rakyat jadi prioritas sasaran tembak untuk ditindas, dilemahkan, dibikin menderita. Lalu, pada momen yang sudah disetting, rakyat dibantu dan dilambungkan hati dan pikirannya.

Para buzzer pun terus berperan mengadu domba. Memancing keributan, permusuhan, perseteruan, dengan modal apa pun masalahnya, akan jadi bahan cuitan. Lalu, dalam cuitan kelompok mereka akan saling mendukung dan membahu menyerang pencuit lainnya. Padahal, bisa jadi, para pencuit itu pun juga sudah settingan. Seolah lawan, tapi kawan. Siapa melempar umpan, yang lain memanasi dan membumbui.

Inilah orkestra gila harta dan tahta di negeri ini. Tak peduli, ini dalam suasana bulan puasa. Sang pemimpin pun, nampak tak pernah tegas, karena, mungkin juga menjadi bagian dari skenario yang dibuat.

Dalam kasus di negeri ini, masalahnya sudah rumit, sebab ibarat dalam keluarga, orang tua sudah diracuni dan terkena racun dari pihak lain. Orang tua pun malah melibatkan dan terlibat dengan orang lain pihak lain, maka saat anak marah, maka orang tua sulit untuk menjadi penjernih suasana dalam keluarga. Akibatnya, anak malah jadi tumbal keserakahan orang tua yang gila harta dan kedudukan, tapi hidupnya sudah terjerat dan dijerat oleh pihak lain.

Apakah saat anak marah dengan protes atau demo pada 11 April 2022, sang ayah akan mengakui kesalahan dan menjadi penjernih suasana?

Beginilah susahnya, bila orang tua bikin satu kesalahan, bukan di selesaikan, tetapi malah ditutup oleh kesalahan lainnya. Begitu seterusnya. Kebijakan dan peraturan terus dibikin, untuk keuntungan siapa? Tapi selalu atas nama rakyat. Jadilah, suasana kacau konsisten ada di negeri ini, karena memang sang ayah sudah terjerat dan dijerat.

Jernihkan diri sendiri

Dalam suasana Ramadhan, semakin saya/kita memahami apa itu suasana kacau dan bagaimana cara menyelesaikannya, maka marilah saya/kita terus belajar agar diri kita, keluarga, menjadi pelaku/orang pertama yang dapat menjadi penjernih suasana/masalah.

Menjadi penjernih masalah dan suasana juga akan lebih mudah, bila hidup saya/kita tidak terjerat atau dijerat sesuatu oleh orang lain/pihak lain. Dengan begitu, saya/kita, bukan menjadi pencipta masalah, pemicu suasana keruh, tetapi malah bisa membantu menjernihkan/menyelesaikan masalah diri, keluarga, orang lain, hingga masalah bangsa dan negara.

Semoga para orang tua dan anaknya terus menjadi penjernih suasana di dalam keluarganya masing-masing, dengan begitu, akan berimbas kepada suasana lingkungan masyarakat yang aman dan nyaman. Aamiin. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler