
Ilustrasi Pemimpin. Karya: Mariana Anatoneag dari Pixabay
Selasa, 31 Mei 2022 13:36 WIB
Membebani Rakyat Bila Nyapres Hanya Berbekal Popularitas
Kehangatan cuaca politik 2024 mulai terasa embusannya. Partai-partai sudah melempar batu untuk menguji ombak: seperti apa reaksi masyarakat bila Prabowo dimunculkan, Ganjar ditampilkan, Anies, Puan, Airlangga—siapa lagi yang belum tersebut? Sebagian nama begitu populer dalam survei-survei, sebagian lainnya belum beranjak dari tangga bawah. Pengalaman pemilu sebelumnya seharusnya jadi pengingat bahwa popularitas seseorang bukanlah jaminan kualitas kepemimpinan yang baik.
Dibaca : 1.145 kali
Kehangatan cuaca politik tahun 2024 sudah mulai terasa embusannya. Partai-partai sudah melempar batu untuk menguji ombak: seperti apa reaksi masyarakat bila Prabowo dimunculkan, Ganjar ditampilkan, Anies, Puan, Airlangga—siapa lagi yang belum tersebut? Sebagian nama begitu populer dalam survei-survei, sebagian lainnya belum beranjak dari tangga bawah.
Partai-partai berkepentingan untuk terus memantau hasil survei yang diadakan lembaga survei, yang menjelang pemilihan umum kerap merangkap peran sebagai konsultan politik bagi partai maupun perorangan—khususnya yang berhasrat mencalonkan diri. Konsultan politik akan menawarkan jurus-jurus mendongkrak popularitas calon yang diinginkan partai—lebih khusus lagi, yang dikehendaki elite partai.
Isu popularitas capres sesungguhnya bukan hanya menjadi kepentingan capresnya sendiri, para pendukungnya, maupun elite politik dan partai penyokongnya. Rakyat banyak juga berkepentingan, tapi terkait dengan bagaimana nasib demokrasi kita bila kepemimpinan nasional ditentukan berdasarkan popularitas. Bagaimana masa depan negeri ini bila pertimbangan elite politik dalam memilih capres lebih ditentukan dari segi popularitas?
Aspek-aspek lain yang justru penting bagi kepemimpinan yang diperlukan negeri ini berpotensi terabaikan, karena pikiran elite politik didominasi oleh pertimbangan popularitas. Pilihan atas popularitas cenderung akan mengabaikan, misalnya saja, integritas, kapasitas pengetahuan dan pengalaman, kompetensi manajerial, keluasan pergaulan nasional maupun internasional, kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, hingga pemahaman mengenai isu-isu nasional dan global.
Lagi pula, popularitas berpeluang direkayasa, sedangkan kualitas yang lebih penting merupakan buah dari proses penempaan yang berlangsung bertahun-tahun. Bukan dadakan dan karbitan. Pengalaman membuahkan kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan negara, sedangkan popularitas cenderung menutupi kualitas yang tidak memadai—yang menonjol dan ditonjolkan adalah kemashuran, sehingga kualitas yang tidak mencukupi akan tertutupi.
Masyarakat, sayangnya, kerap kurang mencermati kualitas kepemimpinan figur-figur yang mencalonkan diri atau dicalonkan oleh elite dan partai. Masyarakat lebih terpukau oleh popularitas, sehingga berpikir bahwa yang populer itulah yang terbaik. Masyarakat terjebak dalam ukuran-ukuran permukaan serta kehilangan kedalaman dalam melihat kepemimpinan seseorang. Masyarakat mudah terpukau oleh pencitraan serta gimmick politik.
Pengalaman pemilu yang lampau seharusnya jadi pengingat bahwa popularitas seseorang bukanlah jaminan kualitas kepemimpinan yang baik. Popularitas bisa direkayasa melalui pencitraan, penampilan yang diatur, penyebaran narasi-narasi populis seperti merakyat, sederhana, dan predikat-predikat lain yang didesain untuk membuat rakyat banyak terpikat.
Semua rekayasa itu membuat rakyat lantas lupa akan isu yang lebih pokok, yaitu apakah calon itu memahami persoalan fundamental bangsanya dan apakah ia punya alternatif gagasan untuk membawa bangsanya keluar dari persoalan itu. Rakyat dibuat bingung oleh lalu-lalang narasi yang saling bersaing meraih perhatian. Seringkali, narasi-narasi ini lebih menyerupai jargon-jargon populis dan tidak memiliki nilai praktis yang sangat mungkin diwujudkan.
Partai memilih popularitas sebagai ukuran karena ingin memastikan calonnya terpilih. Keterpilihan calon ini merupakan jaminan bagi elite partai untuk berada di dalam lingkaran kekuasaan, yang berarti terbukanya akses-akses strategis kepada pengambilan keputusan maupun sumber-sumber daya ekonomi. Bagi elite partai, seorang capres dengan kualitas kepemimpinan yang kuat justru dipandang membahayakan kepentingan mereka.
Karena itulah, sepanjang popularitas menjadi ukuran bagi seorang politisi agar dipilih oleh elite partai untuk jadi capres, sepanjang itu pula rakyat tidak akan memperoleh figur presiden dengan kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dan rakyat akan kembali kecewa karena pemimpin yang terpilih bukanlah pemimpin terbaik, melainkan pemimpin yang populer tapi bukan karena kualitas kepemimpinannya, melainkan karena rekayasa pencitraan. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
16 jam lalu

Generasi Milenial Butuh Hal Baru dari Politik dan Aktivisme Mahasiswa
Dibaca : 166 kali
1 hari lalu

Netizenokrasi: Wajah Intelektualisme Publik Era Milenial
Dibaca : 268 kali
2 hari lalu

Ironis, 85% Taman Bacaan di Indonesia Tidak Pernah Dibantu Pemerintah Daerah
Dibaca : 277 kali
2 hari lalu

Seperti Apa Kriteria Parpol yang Dipilih Masyarakat?
Dibaca : 237 kali
2 hari lalu

Novela Seno Gumira Ajidarma: Suara Hati Seorang Pelacur
Dibaca : 2.121 kali
Rabu, 29 Juni 2022 19:19 WIB

Apa Kata Dunia Andaikan Ganjar-Anies Diduetkan?
Dibaca : 1.224 kali
4 hari lalu

Apresiasi juga Dengki Iringi Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Dibaca : 970 kali
4 hari lalu

Pendidikan Jarak Jauh Ketlisut dan Raib dari Draft RUU Sisdiknas?
Dibaca : 725 kali
5 hari lalu

Timnas Israel Ikut Piala Dunia U-20 pada 2023, Apa Sikap Indonesia Sebagai Tuan Rumah?
Dibaca : 597 kali
1 hari lalu
