x

Iklan

Siti Mutmainnah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Jumat, 17 Juni 2022 19:28 WIB

Karakteristik Karya Sastra Setiap Periode

Arikel ini akan menjelaskan tentang karakteristik masing-masing sastra di setiap periode. Selamat membaca!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perlu kalian ketahui, bahwasannya setiap periode karya sastra memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Untuk mengetahui lebih lanjut karakteristik setiap periode, yuk simak berikut ini.
Beikut karakteristik Karya sastra setiap Periode.

1.    Periode 1850 – 1933
Sebagian besar karya sastra yang ditulis sebagai roman yang beralur lurus, gaya menggunakan klise dan peribahasa, tetapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, banyak penyimpangan, romansa, dan dogma. Romanroman mempertanyakan adat, khususnya soal kawin paksa, campur aduk, konflik antara orang tua yang melindungi adat dan anak muda ingin maju dalam memahami kehidupan modern, berada di wilayah, dan kehidupannya.
Termasuk dalam periode ini antara lain sastrawan Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abas St Pamuncak (Pertemuan), Nur Sutan Iskandar (Katak Hendak Jadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih, Hulubalang Raja), Abdul Muis (Salah Asuhan), Hamka (Tenggelamnya Kapal van der wijck), Panji Tisna (Sukreni Gadis Bali), Selasih (Kehilangan Mestika).

2.    Periode 1933 – 1942
Sebagian besar karya sastra ditulis sebagai puisi, tetapi ada juga drama, cerita pendek, kisah cinta dengan sayap romantis, genre puisi dan soneta baru. Puisi-puisi ini menggunakan kata-kata indah, bahasa perbandingan, gaya puisi diafan dan sederhana, pantun adalah alat puitis. Prosa ditulis dengan karakter membulat, teknik deskripsi karakter tidak langsung dianalisis, alurnya padat karena tidak keluar topik, mempertanyakan kehidupan warga kota seperti pembebasan, memilih memilih profesi, idealisme, cita-cita kekerasan, dan pengajaran.
Pengarang yang termasuk periode ini adalah Amir Hamzah (Nyanyian Sunyi, Buah Rindu), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang dan Tebaran Mega), J.E. Tatenteng (Rindu Dendam), Armyn Pane (Belenggu), Sanusi Pane (Sandiyakalaning Majapahit dan Madah Kelana), Mohammad Yamin (Indonesia Tumpah Darahku).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

3.    Periode 1942 – 1945
Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik Jepang. Untuk mempengaruhi rakyat Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya, pemerintah melalui Balai Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan karya-karya baik novel, puisi, dan cerpen yang kebaikan dan keunggulan Jepang. Selain itu Jepang menggunakan sandiwara sebagai media proganda.
Untuk melengkapi karya-karya proganda, Jepang mengadakan sayembara penulisan cerita baik cerpen maupun naskah sandiwara. Salah satu pemenang cerpen adalah Rosihan Anwar (“Radio Masyarakat”) sedangkan pemenang sayembara, seperti F.A.Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), dan A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Bererong).
Pengarang yang menerbitkan novel proganda lainnya adalah Nur Sutan Iskandar berjudul Cinta Tanah Air (1944) dan cerita pendek “Putri Pahlawan Indonesia”. Karim Halim menerbitkan novel Palawija, ia juga pernah menyadur tonil karangan Henrik Ibsen berjudul de Kleine Eylof menjadi Djeritan Hidoep Baroe. Semasa Jepang ia menulis cerpen propanda, salah satu cerita pendeknyanya berjudul “Aroes Mengalir”.

4.    Periode 1945 – 1961
Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan mengetengahkan masalah kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak perang), dengan gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan kehidupan batin/kejiwaan, dengan mengenakan filsafat ekstensialisme.
Pada karya sastra puisi menggunakan puisi bebas, dengan gaya ekpresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya presmatis, dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, dengan bahasa kiasan seperti metafora, juga ironi dan sinisme.
Sastrawan-sastrawan yang berkiprah dalam periode ini adalah Chairil Anwar (Deru Campur Debu, Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus). Charil bersama Asrul Sani dan Rivai Apin menulis Tiga Menguak Takdir. Sastrawan lainnya ialah Idrus (Dari Ave Maria Jalan Lain ke Roma), Achdiat K. Miharja (Atheis), Sitor Situmorang (Surat Kertas Hijau dan Dalam Sajak), Pramudya Ananta Toer (Keluarga Gerilya, Perburuan, dan Mereka yang dilumpuhkan), Moctar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok, dan Si Jamal).

5.    Periode 1961 – 1971
Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama struktur estetisnya, mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan, dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebuyaan Indonesia sendiri, karena dampak parta-parta corak sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan. Banyak ditulis cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Tidak muncul novel-novel besar.
Sastrawan-sastrawan yang muncul pada periode ini W.S. Rendra (Blues untuk Bonie, Balada Orang-orang Tercinta), Toto Sudarto Bachtiar (Suara), Nugroho Noto Susanto (Hujan Kepagian dan Tiga Kota), Ramadhan K.H. (Priangan si Jelita), Trisnoyuwono (Lelaki dan Mesiu), Toha Mochtar (Pulang), B. Sularto (Dombadomba Revolusi), dan Subagyo Sastrowardoyo (Simphoni).

6.    Periode 1971 – 1998
Peride selain maraknya karya-karya populer juga banyaknya bentuk eksperimentasi sastra dalam sastra. Dalam karya puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi yaitu mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam puisi mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang kaya dan miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat dalam balada. Prosanya umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari yang kental dengan warna daerah dan pedesaan.
Tokoh-tokoh penting sastrawan periode ini adalah Umar Kayam (Priyayi, Sri Sumarah, Bawuk), Gunawan Mohamamd (Asramaradana), Taufiq Ismail (Tirani), Bur Rasuanto (Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono (Dukamu Abadi), Abdul Hadi WM (Meditasi), Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak), Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering), J.B. Mangun Wijaya (Burung-burung Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H. Dini (Pada Sebuah Kapal dan Dua Dunia).

7.    Periode 1998 – Sekarang
Periode ini ditandai dengan maraknya karya sastra, puisi, cerpen, dan novel, dengan tema sosial politik, khususnya tentang seputar reformasi. Misalnya, pada rubrik nomor majalah sastra harian Republika, selama beberapa bulan ada rubrik-rubrik minat anak bangsa yang terbuka atau puisi-puisi reformasi. Pertunjukan pembacaan puisi dan antologi puisi yang berbeda juga didominasi oleh puisi dengan tema sosial dan politik.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 menghasilkan karya sastra puisi, cerpen dan novel pada tahun saat ini. Memang, penyair awal menjauh dari topik sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online mereka: duniasastra (dot) com, juga bergabung dengan untuk mencerahkan suasana dengan sosial politik mereka.
Penulis dan karya periode ini antara lain, Ayu Utami (Saman dan Larung), Seno Gumira Ajidarma (Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai), Dewi Lestari (Supernova 1 : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova 2.1 : Akar, dan Supernova 2.2 : Petir), Raudal Tanjung Banua (Pulau Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang Hidup, Parang Tak Berulu, dan Gugusan Mata Ibu), Habiburahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, dan Dalam Mihrab Cinta), Andrea Hirata (Laskah Pelangi, Sang Pemimpi, Maryamah Karpov, dan Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas).

Demikian karakteristik sastra di setiap periode semoga dapat membantu. Terima kasih sudah membaca.

Ikuti tulisan menarik Siti Mutmainnah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB