x

Iklan

musdalifah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Juli 2022

Senin, 18 Juli 2022 15:51 WIB

Benarkah Amerika Berpihak pada Palestina?

Presiden Joe Bidden nampaknya mulai melakukan pendekatan kepada Palestina. Salah satu yang sedang disoroti adalah dibukanya lagi kantor konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem. Tapi benarkah itu tulus untuk menciptakan perdamaian? ataukah seperti pepatah “ada udang di balik batu?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Konflik Palestina dan Israel sudah terjadi begitu lama, kurang lebih 74 tahun sejak Israel menduduki wilayah Palestina. Tidak dapat dimungkiri permasalahan tersebut bukanlah konflik antar negara melainkan penjajahan secara nyata. Jika kita mencoba memahami sejarah yang terjadi, konflik ini telah terencana secara sistemis dan massif. Berbagai pandangan terkait masalah ini, mulai dari persoalan kemanusiaan, agama, politik hingga ideologi.

Di masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II, Israel selalu berusaha untuk membeli tanah Palestina dengan harga selangit. Tentu Israel berpikir mudah merebut tanah Palestina karena saat itu Kesultanan Turki Utsmani sedang terlilit utang dan berada dalam berbagai masalah. Namun, ternyata tidak semudah itu, bagi Sultan tanah Palestina tak terbeli dengan harta atau apapun juga. Namun, semua itu menjadi berbeda saat Kesultanan Turki Utsmani runtuh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah PD I dan II yang menyebabkan terpecah belahnya negeri muslim. Negara-negara muslim dipecah dan dibagi-bagi ke negara yang tergabung pada blok Sekutu. Hal ini menjadi awal negeri muslim kehilangan pemimpin yang mempersatukan kekuatannya. Daulah Islam (Turki Utsmani) terbukti menjadi penghalang bagi entitas Yahudi untuk mendapatkan tanah Palestina. 

Perjanjian Sykes-Picot (Inggris-Perancis) tahun 1916 membagi daerah muslim dan menetapkan Palestina sebagai perbatasan, kemudian menjadikannya wilayah internasional. Pada tahun 1917, melalui perjanjian Balfour, Inggris menyerahkan wilayah Palestina pada bangsa Israel. 

Setelah restu dari Inggris, AS menjadi pihak yang mengamini penjajahan yang terjadi pada Palestina. Pasca PD II AS mempelopori terbentuknya PBB yang tujuannya untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan perdamaian dunia. Namun, nyatanya jauh panggang dari api, upaya tersebut justru semakin mengokohkan AS sebagai negara adidaya. Konsekuensi dari menjadi anggota PBB ternyata membuat umat muslim terpecah belah dan dicekoki paham nasionalisme. 

PBB kemudian melakukan pembagian wilayah dengan persentasi 56 % untuk Israel dan 44 % untuk Palestina. Lambat laun upaya pencaplokan terus dilakukan Israel, hingga hanya 22 % wilayah yang dikuasai Palestina. Bukankah jelas ini adalah sebuah penjajahan yang terencana?

Paham nasionalisme sendiri dipandang sebagai hal yang harus dimiliki oleh seluruh warga negara. Perasaan cinta tanah air dan rela berkorban untuk tanah air akan menimbulkan semangat untuk mempertahankan keamanan negara. Ternyata dengan pandangan seperti ini negara menjadi individualis dan hanya mengurusi tentang negaranya. Maka jika negara lain mengalami ketidakamanan dan penderitaan, bukanlah urusan dari negeri lain. Prinsip ini tentu berbeda dengan prinsip seorang muslim. 

Presiden Joe Bidden nampaknya mulai melakukan pendekatan kepada Palestina. Salah satu yang sedang disoroti adalah dibukanya lagi kantor konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem. Tapi benarkah itu tulus untuk menciptakan perdamaian? ataukah seperti pepatah “ada udang di balik batu?”.

Upaya yang dilakukan saat ini, seolah memberikan dukungan kepada Palestina. Padahal ini adalah upaya menjaga keamanan Israel. Sebagaimana disampaikan oleh Fatma Suardi (pengamat politik), kepentingan Amerika adalah menjaga komitmen dan hagemoninya di seluruh dunia. Amerika sedang membangun citra baik di mata dunia dengan menjadi pihak penengah. Saat ini AS sedang fokus mengonsolidasi kekuatan Eropa untuk melawan agresi Rusia (dalam perang Rusia Ukraina) dan Kawasan Indo-pasifik untuk melawan pengaruh Cina.

Upaya Amerika yang terencana dan sistemik tentu bukan tanpa sebab. Pertama, Islam bukanlah sekadar agama teologi, melainkan sebuah ideologi yang memancarkan peraturan hidup di dalamnya. Islam memiliki sistem politik, ekonomi, hubungan internasional yang tentu menjadi tandingan ideologi kapitalisme. Ideologi kapitalisme yang saat ini sudah tampak berbagai kerusakan dan kecacatannya terbukti tidak mampu memberikan kesejahteraan.

Kedua, ketakutan Amerika terhadap kekuatan Islam yang begitu besar terlebih lagi Palestina menjadi titik sentral politik yang merupakan jantung Islam di wilayah Timur Tengah. Kepentingan AS untuk menguasai Timur Tengah Raya dan Afrika Utara membuatnya terus menerus memelihara konflik panjang di Palestina.

Ketiga, peradaban Islam yang mampu menguasai sepertiga bahkan duapertiga dunia telah tercatat dan terbukti melalui peninggalan yang dapat kita saksikan sekarang. Mulai dari ilmu pengetahuan, hingga bangunan-bangunan yang tetap berdiri kokoh. Hal ini jelas menjadi ketakutan bagi pengusung ideologi kapitalisme yang tengah berkuasa hari ini.

Sangat tidak mungkin AS memberikan dukungan kepada Palestina, sementara Palestina adalah representatif Islam yang merupakan musuh besar ideologi kapitalisme yang dianut AS. Tentu tidak berlebihan jika menisbatkan AS sebagai pelopor yang memudahkan penjajahan Israel terhadap Palestina, terbukti dari bantuan finansial hingga politik luar negeri yang berlaku. 

Memang benar sampai saat ini begitu banyak upaya yang dilakukan oleh muslim lainnya untuk membantu muslim di Palestina. Namun, sejatinya negeri negeri muslim hari ini hanyalah sebagai pembebek AS dalam mewujudkan solusi dua negara sehingga menghasilkan solusi parsial. Misalnya peran OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dalam upaya mendamaikan Palestina-Israel. Tindakan Israel adalah penjajahan yang berusaha untuk mengusai seluruh tanah Palestina.

Secara individual, muslim di berbagai dunia memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Palestina. Namun, segala upaya tersebut tidak memberikan penyelesaian yang tuntas. Bantuan kemanusiaan tidak akan mampu mengalahkan agresi militer yang dilakukan oleh Israel. Maka situasi ini adalah situasi perampokan, yang harus segera diatasi dengan kekuatan yang sama.

Menyebarkan Islam dan Memerdekakan Kaum Muslim

Palestina sudah pernah dibebaskan oleh Daulah Islam. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, pembebasan terjadi tanpa adanya pertumpahan darah, justru sangat damai. Pada tahun 637 M Uskup Patriarch, simbol kekuasaan tertinggi yang mewakili penduduk Yerusalem, menyerahkan kotanya kepada umat Islam. Syaratnya, mereka hanya meminta Khalifah Umar bin Khattab datang ke Yerusalem untuk serah-terima “kunci kota”.

Hari ini tentu berbeda sebab Palestina berada dalam jajahan Israel. Sebagaimana yang Sultan Shalahuddin lakukan ketika melawan tentara salib yang menduduki Yerusalem yaitu dengan penaklukan. Perlawanan yang dilakukan umat muslim harus dengan kekuatan militer dan politik. Ketika melakukan penaklukan tentu Sultan Shalahuddin mempersiapkan strategi yang matang dan terencana. Tujuan pembebasan adalah melepaskan Palestina dari pendudukan Israel, bukan semata solusi dua negara. 

Solusi tuntas untuk membebaskan Palestina dari penjajahan hari ini adalah melepaskan pengaruh AS terhadap negeri-negeri muslim dan beralih pada persatuan umat muslim di bawah kekuasaan Islam. Di bawah kekuasaan Islam, negeri-negeri muslim dapat bersatu menjadi negara adidaya yang memiliki kekuatan militer, politik, ekonomi sehingga mewujudkan misi menebarkan Islam dan membebaskan muslim dari penjajahan. Bukan hanya muslim Palestina tetapi muslim seluruh dunia. 

Muslim dalam pandangan Islam layaknya seperti satu tubuh, jika salah satu bagian tubuhnya sakit, maka seluruhnya akan merasakan sakit. Sepatutnya apa yang menimpa muslim menjadi penderitaan muslim lainnya, sebab ikatan yang menyatukan adalah ikatan akidah.

 

Wallahualam

Ikuti tulisan menarik musdalifah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler