x

Suasana kuliah tatap muka di masa pandemi 2021 di Jakarta. Tempo/M Taufan Rengganis

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Kamis, 21 Juli 2022 06:09 WIB

Pembelajaran Online; Mengurai Rapor Merah Pendidikan Tinggi dalam Pusaran Pandemi

Rendahnya ketertarikan pada sistem belajar online membuat seseorang tidak produktif dan memilih absen. Padahal, kehadiran (presence) merupakan salah satu tolok ukur proses internalisasi pendidikan dalam kegiatan belajar. Dari sharing banyak mahasiswa, kebanyakan telah memilih pulang kampung dan berlibur. Kuliah memberatkan karena memerlukan data dan harus mencari tempat baik agar terkoneksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara tentang perkuliahan online bukanlah sebuah sistem baru dalam dunia pendidikan, melainkan suatu sistem yang telah ada dengan beriringnya perkembangan dunia teknologi. Dunia boleh saja berbicara bahwa semua lini kehidupan telah diwarnai dan harus beradaptasi dengan teknologi. Akan tetapi, fakta di lapangan berbicara lain. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang dianjurkan dan diharapkan dengan media digital atau daring masih sangat minimalis di Indonesia. Perkuliahan daring tidak hanya memvirtualkan bahan pengajaran, tetapi juga soal fasilitas dan penetrasi jaringan internet.

Perkuliahan online atau daring menjadi alternatif yang kian membias di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Pandemi ini menuntut semua lembaga, tanpa pengecualian untuk menggunakan sarana media digital dalam kegiatan belajarnya semaksimal mungkin. Berbagai universitas berlomba-lomba menelisik cara-cara yang efektif dalam mentransmisikan sistem pengajarannya. Perkembangan teknologi yang kian canggih mengakomodasi dan memobilisasi sistem perkuliahan ini.

Akan tetapi, ada saja kerentanan dalam penerapan sistem perkuliahan darurat yang ada. Penetrasi jaringan internet yang belum merata ke semua daerah. Menurut survei dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di indonesia pada kuartal II 2020 mencapai 196,7 juta, meskipun mendekati 200 juta pengguna internet, namun ketimpangan akses masih besar dan sebagian besar pengguna internet hanya berada didaerah Jawa. Hal ini menunjukkan kualitas jaringan yang rendah dan berdampak pada proses perkuliahan yang “lola” (loading lambat). Efektivitas dan mutu perkuliahan menjadi rendah dan sukar untuk dipahami dengan cepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sistem pembelajaran jarak jauh (online), tentunya media atau sarana menjadi penentu. Jika masih sangat kurang, bahkan tidak ada akan tidak tercapainya sistem daring. Media bisa menjadi tolok ukur sejauh mana perkuliahan online dinyatakan masih minim atau telah maksimal. Selain itu, kegagapan para dosen dan mahasiswa dalam mengakses daring. Bisa saja jaringan dan fasilitas lengkap, tetapi kurangnya kemampuan tanggap perkuliahan online kedua belah-pihak  sangat berpengaruh dalam penerapan sistem daring. Kegagapan dari keduanya atau salah satu dari keduanya akan membuat kecanduan minimalis daring tak terobati. Kerentanan-kerentanan ini yang menghadirkan berbagai potretan ketidakpuasaan dan ketidakefektivan dari sistem daring darurat selama pandemi Covid-19.

Lapor Merah Perkuliahan Online Pendidikan Tinggi  

Institusi pendidikan dinilai sebagai salah satu sektor yang cepat menanggapi gelombang penyebaran Pandemi Covid-19. Institusi pendidikan membuat reaksi cepat karena dinilai potensial meningkatkan penyebaran. Sekolah-sekolah dengan basis jumlah murid yangcukup banyak sangat berpengaruh terhadap proses penyebaran Pandemi Covid-19. Selain sekolah-sekolah, universitas-universitas pun ditutup untuk sementara. Perkuliahan dialihkan kerumah. Semuanya pun berlangsung dari rumah. Proses belajar-mengajar akhirnya tersendat mengingat metode distribusi pengetahuan dirasa kurang optimal dan memadai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun menerapkan kebijakan sistem belajar dari rumah.

Belajar dari rumah membuat slogan "merdeka belajar" semakin kelihatan. Apa maksud merdeka dalam konteks belajar dari rumah? Dari fenomena dan kesan umum yang terlihat, proses belajar justru di luar kendali. Belajar dari rumah untuk konteks pelajar SD-SMA adalah liburan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa efektivitas kegiatan belajar dengan pantuan jarak jauh oleh para pendidik dan bimbingan langsung dari orangtua hanya berlangsung dipekan awal. Berada di rumah selama pandemi diharapkan tetap produkif dalam belajar.

Akan tetapi, kadang-kadang orang justru merasa bebas-merdeka untuk belajar. Dalam hal ini, ia menerapkan prinsip “semau gue.” Belajar dari rumah adalah sebuah tameng yang dipakai untuk menahan tuduhan bahwa selama Covid-19 sistem pendidikan vakum.

Pada jenjang yang lebih tinggi, seperti Perguruan Tinggi (PT), kebijakan belajar dari rumah ditopang kuat dengan optimalisasi penggunaan sarana teknologi komunikasi. Dari sini, kemudian kita mengenal istilah “belajar online.” Sistem belajar ini diperkuat lagi dengan istilah “e-learning.” Mekanismenya pun sepenuhnya diberikan kepada teknologi. Kuliah online dengan aplikasi “video-conference,” penilaian dan pengiriman tugas dengan sistem online, hingga absensi kehadiran juga dilakukan dengan sistem virtual-online. Dalam sistem belajar berbasis online ini mengandaikan bahwa semua peserta didik dan pendidik paham tentang teknologi dan fitur-fitur yang dioperasikan. Jika tidak, masalah baru muncul karena ignorance dalam proses belajar.

Selama pandemi, pendidikan terasa adanya leap terhitung sejak awal akhir Februari 2020. Pasca instruksi pemerintah untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ataupun beribadah dari rumah dan lain sebagainya membuat situasi di Indonesia menjadi beda. Hal ini juga berdampak dalam proses pendidikan. Bagaimana tidak, hampir 100% aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari (di) rumah. Dengan fenomena ini teknologi menjadi penguasa yang  membius mata masyarakat. Serba-serbi kehidupan diwarnai oleh dunia online. Absensi, materi pembelajaran, tugas, kuis, ulangan harian, dan berbagai ujian dilakukan dari (di) rumah via beragam aplikasi yang ada dalam jasa daring. Dengan adanya sistem ini seolah semua orang telah pandai dengan sistem daring.

Akan tetapi, fenomena di lapangan mengafirmasi adanya kendala yang tak terelakkan. Hal ini disebabkan oleh "dosa" masa lalu proses pendidikan Indonesia, masih menjadi momok mematikan bagi proses pembelajaran daring. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua  mahasiswa berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Tidak semua mahasiswa dan pengajar di Indonesia menikmati proses "milenial" ini. Tidak semua mereka memiliki gawai dan leptop. Ada yang punya tetapi susah untuk mendapatkan akses internet. Bahkan di daerah tertentu tidak ditemukan jaringan internet. Ada yang tidak memiliki dua-duanya.

Selain itu, kapabilitas dan kreativitas para dosen adalah salah satu tuntutan terbesar dalam sistem perkuliahan daring atau jarak jauh di satu sisi. Di lain sisi, ketekunan, keseriusan mahasiswa menjadi tuntutan lain. Akan tetapi keduanya tidak terlepas dari jaringan atau koneksi. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penentu dalam pelaksaan perkuliahan online. Sistem ini sebenarnya sebuah peralihan metode face to face (jarak dekat) ke metode screen to screen (jarak jauh). Dasarnya adalah ketersediaan semua informasi yang relevan secara real time melalui jaringan dengan menghubungkan orang, benda dan sistem dioptimalkan, terorganisir secara mandiri dan penciptaan nilai lintas jaringan yang dapat sesuai dengan berbagai kriteria, seperti biaya, ketersediaan dan sumber daya. Tentunya sistem ini mempunyai visi yang sangat membantu mahasiswa dan pengajar dalam keadaan apa pun dan di mana pun tetap bisa melaksanakan perkuliahan.

Lalu, seberapa efektif model pembelajaran online ini berpengaruh bagi proses belajar para peserta didik atau mahasiswa? Dari fenomena yang terlihat, intensitas ketertarikan peserta didik dalam mengikuti kuliah online sangat kecil. Bahkan, kebanyakan menciptakan kejenuhan dalam proses belajar. Beberapa mahasiswa merasa kehilangan momen perjumpaan langsung dengan dosen-dosen favorit. Seperti tak ada yang dipelajari selama semester ini. Ini reaksi-reaksi spontan yang disampaikan mahasiswa terkait sistem belajar virtual-online.

Intensitas ketertarikan pada sistem belajar online tentunya membuat seseorang tidak produktif dan memilih absen. Padahal, kehadiran (presence) merupakan salah satu tolok ukur dalam membantu proses internalisasi pendidikan dalam kegiatan belajar. Dari sharing banyak mahasiswa, kebanyakan telah memilih pulang kampung dan berlibur. Tak ada kuliah. Kuliah memberatkan karena memerlukan data dan harus mencari tempat baik agar terkoneksi. Kuliah online dengan kata lain menambah beban perkuliahan karena harus membeli data agar bisa masuk dalam kelas video-conference dan mendownload-upload tugas perkuliahan.

Penutup

Perkuliahan daring di tengah pandemi Covid-19 sering dikatakan sebagai kurikulum darurat. Kurikulum ini bisa dikatakan sebagai babak baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ketersediaan software (piranti lunak), website, akses internet, listrik, gadget, dan komputer menjadi ciri khas implementasi model ini. Karakteristik proses pendidikan abad ke-21 selalu menemui tantangan dan juga sekaligus mendatangkan peluang baru. Gejala ini hadir sebagai konsekuensi dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Reformasi pendidikan yang berasal dari pengembangan model kurikulum virtual akan berdampak pada terciptanya sistem pendidikan gaya baru. Lyn Haas menegaskan bahwa pendidikan itu harus bersifat demokratis, yakni; pendidikan untuk semua. Hal ini senada dengan spirit pasal 31 ayat (1) UUD 1945, “semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, maka semua mahasiswa dan pengajar seharusnya memperoleh perlakuan yang sama, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, kemampuan komunikasi global.

Semoga wabah Pandemi Covid-19 ini tidak hanya membawa kepanikan di ruang publik, tetapi ini menjadi salah satu titik pacu bagi bangsa Indonesia, khususnya pemerintah dan kementerian terkait untuk berkonsentrasi penuh mengerahkan seluruh anggaran pendidikan tahun ini untuk menciptakan kurikulum virtual; proses belajar mengajar via teknologi daring, sambil menyiapkan sarana prasarana pendukung, ketersediaan jejaring internet, manajerial demokratis yang berdaya saing, sampai pada keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan. Pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia menjadi kewajiban yang mesti diprioritaskan, sesuai amanat sila ke-5 Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang adil; sama rasa–satu rasa, proses pendidikan wajib memberi kenyamanan bagi seluruh peserta didik dan pendidik se-Indonesia Raya.

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB